Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PART 6

Pagi-pagi buta sebelum matahari terbit, Diego benar-benar meninggalkan villa bersama Pedro. Sedih? Tentu saja. Ini pertama kalinya kehadiran Diego ditolak mentah-mentah oleh seorang gadis. Tapi bukan itu yang membuat Diego bersedih. Ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, yang membuat Diego merasa berat meninggalkan villa megah itu.

Diego dan Pedro melanjutkan perjalanannya menuju puncak bukit. Setelah berjalan menyusuri jalan setapak serta sesekali menyibak semak-semak, mereka sampai di tujuan. Jalanan yang mendaki membuat Diego kelelahan. Kondisi kesehatannya belum begitu fit, bahkan darah segar mulai merembes di kain kassa yang membalut luka di kaki dan perutnya.

Pedro dengan sigap mengobati luka tuannya dan menggantinya dengan kain kassa yang baru. Diego duduk bersandar di batang pohon sembari meringis menahan sakit.

"Anda terlalu memaksakan diri, Tuan Muda. Sudah aku peringatkan bahwa jalanan yang mendaki akan membuat luka Anda kembali terbuka," ujar Pedro.

"Sejak usiaku 8 tahun, aku sudah terbiasa menikmati rasa sakit. Saking dalamnya luka yang membekas di hatiku, aku hampir mati rasa dengan hal-hal menyakitkan."

"17 tahun sudah berlalu. Sudah saatnya Anda melupakan masa lalu dan menatap masa depan."

"Setiap aku terbangun dari tidur, 17 tahun itu seolah baru terjadi kemarin. Ingatan itu masih membekas dengan jelas di benakku. Seperti film di bioskop yang terus diputar berulang-ulang tanpa henti."

Pedro menepuk pundak Diego perlahan. "Aku memahami yang Anda rasakan. Sampai detik ini, kepergian Tuan dan Nyonya masih seperti mimpi. Mereka orang-orang baik, tetapi hidupnya harus berakhir dengan cara seperti itu."

"Kalau saja aku tahu kepada siapa aku harus membalas kematian mereka."

"Tidak, Tuan Muda." Pedro menggeleng tegas. "Semua sudah berakhir. Anda tidak boleh menoleh ke belakang."

"Tidak semudah itu, Pedro. Rasa sakit dibalas rasa sakit, dan nyawa dibalas dengan nyawa." Diego beranjak dari tempat duduknya.

Diego berdiri tegak, matanya bersorot tajam pada sebuah batu besar yang tergeletak di dekatnya. Sewaktu kecil, dia sering berdiri di atas batu itu ditemani ayahnya, mengawasi pemandangan hijau di sepanjang bukit. Di kejauhan, nampak persawahan dengan padinya yang menguning, serupa permadani yang membentang luas.

Pemandangan yang tidak jauh berbeda dengan 17 tahun yang lalu. Diego bahkan masih ingat ketika terakhir kali ia menginjakkan kakinya di tempat ini bersama ayahnya. Seketika, memory itu kembali berputar di kepalanya.

"Berdirilah di atas batu itu, Diego. Papa akan mengambil foto untuk kenang-kenangan." Begitu kata ayahnya saat itu.

"Oke, Pa." Diego kecil dengan patuh berpose dengan berbagai gaya di atas lempengan batu besar, sementara ayahnya mengambil gambar dengan kamera ponsel.

"Lihat hasilnya, Pa. Bagus, kan?" Diego mengambil ponsel dari tangan ayahnya dan melihat foto dengan background pemandangan alam. Ia menggeser slide layar, melihat foto satu per satu. Lalu, dia terdiam ketika melihat sebuah foto yang menurutnya aneh.

Foto ayahnya yang sedang merangkul wanita berpakaian seksi. Diego menahan napas dan menatap ayahnya sembari bertanya. "Ini siapa, Pa?"

Saat itu, ayah Diego terlihat panik dan mengambil ponselnya dari tangan Diego. Lelaki itu mencoba menutupinya dengan tawa lebar. "Dia teman Papa sewaktu sekolah. Kebetulan kami tidak sengaja bertemu."

Usia Diego baru 8 tahun, tetapi bukan berarti Diego sepolos itu sehingga bisa dengan mudah percaya kata-kata ayahnya. Sejak detik itu, ia menyimpan ketakutan terbesar dalam hidupnya. Ia tahu, kehidupan keluarganya tidak sedang baik-baik saja.

Sampai sekarang, ia masih ingat dengan jelas wajah wanita di foto itu. Wanita yang pada akhirnya menjadi penyebab hancurnya kehidupan keluarga Diego, dan ... ah! Diego benci mengingat semua itu! Diego ingin mencoba melupakannya, tetapi kematian tragis kedua orang tuanya menjadi puncak dari sebuah kehancuran yang membuat Diego tidak akan pernah memaafkan wanita itu.

Kehilangan itu terasa sangat menyakitkan!

Diego menyugar rambutnya. Mendadak ia kembali teringat pada Vanilla. Diego beruntung masih memiliki kakek yang selalu menguatkannya. Sedangkan Vanilla, dia harus hancur sendirian, bahkan ibu tirinya dengan tega mengasingkannya di daerah terisolir. Villa megah itu serupa sangkar emas yang memenjarakan Vanilla.

Semalam, Diego sudah memutuskan untuk melupakan gadis itu. Akan tetapi, entah kenapa sekarang ia berubah pikiran. Ia ingin menjadi seseorang yang bisa mengubah kehidupan Vanilla. Meski ia tidak bisa membawa Vanilla keluar dari sana, setidaknya ia ingin melakukan banyak hal yang bisa membuat gadis itu tersenyum.

Diego menghamparkan jaket hitamnya di atas permukaan tanah, kemudian membaringkan diri di sana. "Aku akan tidur sebentar. Beberapa jam lagi kita akan turun dan singgah kembali ke villa."

"Nona Vanilla sudah mengusir Anda. Kita tidak mungkin kembali ke sana."

"Kau tidak tahu? Semasa di Chicago, tidak ada seorang gadis pun yang menolakku."

"Tapi Nona Vanilla berbeda, Tuan Muda. Dengan keterbatasannya, dia tidak bisa melihat pesona yang Anda miliki."

"Kata siapa? Dia bisa melihatnya dengan mata hati."

"Pengawal pasti akan mengusir kita sebelum kau bertemu dengan Nona Vanilla."

"Tidak akan. Aku sudah memiliki rencana lagi."

Pedro membelalakkan matanya. "Kali ini Anda akan berkelahi dengan apa lagi? Macan tutul? Atau ular berbisa? C'mon, jangan membahayakan nyawa Anda, Tuan Muda. Kakek Anda akan membunuhku jika terjadi hal-hal buruk pada Anda."

"Tenang saja. Semuanya akan baik-baik saja."

🎻🎻🎻

"Ruangan medis sudah selesai aku rapikan, Nona," ucap Andesta sembari memasukkan sprei kotor ke dalam keranjang.

"Terima kasih."

"Sama-sama, Nona. Ada lagi yang bisa aku bantu? Jika tidak, aku akan membawa sprei kotor ini ke tempat cuci."

"Tidak ada." Vanilla menggeleng, tetapi ia buru-buru melanjutkan kalimatnya. "Ehm ... apa tidak ada barang-barang milik lelaki itu yang tertinggal di sini?"

"Sepertinya tidak ada, Nona."

"Baguslah."

"Kau ... mengharapkan lelaki itu datang kembali meski hanya untuk mengambil barangnya yang tertinggal?"

"Tentu saja tidak," tukas Vanilla cepat.

"Oh, sayang sekali. Padahal lelaki itu terlihat tulus padamu. Aku melihatnya ketika sedang mengawasimu bermain biola di bawah pohon sakura. Matanya sangat tajam, tetapi tatapannya padamu sangat lembut. Dia persis seperti pangeran-pangeran di dalam dunia dongeng. Tampan, gagah, dan baik hati."

"Kau terpesona padanya?" tanya Vanilla ketus.

"Eh, tentu saja tidak. Maaf, aku hanya berpikir dia adalah pangeran yang akan menyelamatkanmu. Aku akan membawa sprei kotor ini ke tempat cuci, Nona. Jika nanti kau butuh bantuan, panggil saja aku." Terdengar langkah kaki yang menjauh, artinya Andesta sudah meninggalkan ruangan itu.

Vanilla menghela napas kasar. Sejak ia terbangun dari tidur dan mendapatkan informasi bahwa orang asing itu sudah pergi, entah kenapa Vanilla merasa kesepian. Berkali-kali ia masuk ke ruangan medis dan berharap ada barang yang tertinggal, dan lelaki itu kembali untuk mengambilnya.

Vanilla menganggap lelaki itu sebagai pengganggu. Jahat, bukan? Andesta saja menilai jika lelaki itu adalah orang baik. Seharusnya Vanilla menerima kehadirannya, dan menyetujui ide gila lelaki itu untuk kabur dari sangkar emasnya.

Dan sekarang Vanilla hanya bisa terpekur di ruangan tempat lelaki itu tidur semalam. Lelaki itu meninggalkan aroma khasnya yang mengganggu indra penciuman Vanilla. Gadis berambut panjang itu menarik napas panjang, menghirup aroma musk dan mencoba membayangkan seperti apa rupa lelaki itu.

Bertubuh tinggi tegap, berhidung mancung, mata yang tajam, serta bulu-bulu halus yang tercukur rapi di rahang tegasnya. Bahkan sejak semalam, suara berat lelaki itu selalu terngiang di telinga Vanilla.

Tentu saja, bagaimana Vanilla bisa melupakannya, sedangkan lelaki itu satu-satunya orang yang pernah menawarkan sebuah persahabatan. Saling bertukar cerita, membagi kesedihan, atau jika memungkinkan saling menyembuhkan. Vanilla tidak pernah mempercayai siapa pun, tetapi setiap kata yang keluar dari mulut lelaki itu sangat meyakinkan.

Lelaki itu bahkan nekat berkelahi dengan babi hutan hanya agar ia terluka dan memiliki alasan untuk datang ke tempat ini. Jika memang benar, bukankah itu pengorbanan yang luar biasa? Ah, bodoh kau, Vanilla! Seharusnya kau tidak pernah mengusir lelaki itu! kau bahkan tidak ingin tahu siapa nama lelaki itu. Sekarang menyesal, kan? Baiklah, Vanilla hanya bisa pasrah. Mungkin dia memang ditakdirkan untuk selalu hidup sendiri.

Vanilla menajamkan indra pendengarnya. Ia mendengar suara keributan seperti kemarin malam dari arah pintu gerbang. Apa lelaki itu datang lagi? Jika memang benar, kegilaan apa yang dibuat oleh lelaki itu agar bisa masuk ke villa ini? Bertarung dengan babi hutan lagi, atau macan tutul? Atau bagaimana jika digigit ular berbisa?

Ah, sial! Untuk pertama kali dalam hidupnya, Vanilla mencemaskan seseorang. Gadis itu buru-buru keluar dari ruangan medis dan berjalan cepat menuju pintu gerbang, berharap lelaki itu baik-baik saja. Jika lukanya parah, maka ia harus segera diselamatkan.

🎻🎻🎻

To be Continued
5 Februari 2023

Di KaryaKarsa udah sampai Part 10 ya..

Jangan lupa vote & komen 😘😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro