Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PART 5

"Aku akan membantumu keluar dari sangkar emas ini, Nona. Aku yakin kau juga ingin merasakan seperti apa dunia luar."

Vanilla mundur dua langkah, lalu dengan hati-hati ia mulai duduk di sebuah bangku panjang. Gadis itu meletakkan biola di atas pangkuannya. Tunggu sebentar, Vanilla ingin menenangkan diri sebelum menanggapi ucapan orang gila di hadapannya.

Vanilla menarik napas dalam-dalam, mengisi paru-parunya dengan udara segar. "Merasakan dunia luar? Apa bedanya bagi gadis buta sepertiku? Entah di sini ataupun di luar sana, aku hanya bisa melihat kegelapan."

"Kebebasan. Setidaknya kau akan mendapatkan kebebasan."

"Lalu apa yang bisa aku lakukan di luar sana? Mengemis di jalanan? Tidur di kolong jembatan?" Vanilla tertawa miris. "Dulu, aku sering menginginkan kebebasan. Tapi setelah kau menawarkannya padaku, aku berubah pikiran. Sepertinya berada di dalam sangkar emas ini jauh lebih baik dibanding aku harus menjadi gelandangan."

"Ada banyak cara untuk memulai kehidupan baru asalkan ada kemauan, Nona. Permainan biolamu bagus, aku yakin kau bisa menjadi seniman kelas dunia jika kau menunjukkan kemampuanmu."

Vanilla menggeleng. "Aku tidak ingin bermimpi terlalu tinggi. Lagipula aku tidak semudah itu mempercayai orang asing. Tidak menutup kemungkinan kau mendekatiku karena memiliki niat jahat. Kau memanfaatkan kelemahanku untuk menipuku."

"Berapa kali harus kukatakan, aku orang baik."

"Bagaimana aku bisa menilaimu orang baik atau bukan, sementara aku saja tidak bisa melihatmu." Vanilla menyentuh kepalanya, membersihkan kelopak bunga sakura yang menempel di rambutnya. "Tinggalkan aku sekarang. Kau terlalu banyak menyita waktuku."

"Nona-"

"Perlu aku tegaskan sekali lagi? Tidak ada yang berani mendekat padaku ketika aku sedang bermain biola." Nada suara Vanilla terdengar dingin.

Vanilla menegakkan punggungnya. Ia mulai meletakkan chinrest-bagian bawah biola-pada tulang bahu hingga menempel di lehernya. Gadis itu tidak langsung memainkan biolanya, tetapi menunggu Diego pergi terlebih dulu.

Diego mengalah. Ia tidak mungkin membantah Vanilla lagi. Jika tidak, Vanilla pasti akan berteriak memanggil pengawal untuk mengusir Diego. Oke, lebih baik Diego mundur saat ini. Setidaknya ia masih memiliki waktu sampai esok pagi untuk berada di villa ini. Memandangi wajah sayu Vanilla, dan mengawasi bagaimana gadis itu begitu menikmati kelopak-kelopak sakura yang menghujaninya.

Diego pergi menjauh, berdiri di bawah pohon palem dan mengawasi Vanilla dari kejauhan. Gadis itu adalah keindahan yang nyata. Serupa bidadari di antara kelopak-kelopak sakura yang bertebaran serupa permadani di atas permukaan tanah. Angin lembut menerpa rambut panjangnya, dan suara biola itu kembali mengalun merdu. Menyebar ke seluruh sudut hutan, seolah gadis itu sedang menghibur seluruh penghuni alam semesta. Tidak. Gadis itu sedang menghibur dirinya sendiri.

"Tuan, Nona Vanilla tidak suka diganggu ketika sedang bermain biola."

Diego menoleh, entah sejak kapan Andesta berdiri di belakangnya. "Apa dia memang seperti itu? Dia memiliki dunianya sendiri dan tidak ingin orang lain masuk ke dalamnya?"

"Nona Vanilla tidak senang berinteraksi dengan orang lain. Hanya berbicara dengan kami jika ada sesuatu yang penting. Selebihnya, dia hanya menghabiskan waktu untuk membaca buku, mendengarkan musik, bermain biola, dan mendengarkan film kartun favoritnya."

"Film kartun?"

"Princess Disney. Film favoritnya sejak kecil. Lagipula memang hanya film itu yang bisa ditonton di sini. Nyonya Kenanga membatasi tontonan Nona Vanilla. Jadi, jangan pernah berharap bisa menonton drama korea atau semacamnya di sini. Jaringan TV saja tidak ada. Bahkan Nona Vanilla tidak memiliki ponsel."

"Sejahat itukah orang tuanya?"

"Ibu tiri. Dulu, sebuah kecelakaan tragis menewaskan kedua orang tuanya, hanya Nona Vanilla yang selamat. Meski dia ... tidak bisa melihat lagi."

Diego menghela napas, mata hitamnya semakin tajam mengawasi punggung gadis rapuh ini. Ternyata, sepahit itu kisah hidup Vanilla. Diego tahu benar bagaimana rasanya kehilangan kedua orang tua dalam waktu yang bersamaan. Sekarang Diego mengerti kenapa alunan musik yang diciptakan Vanilla begitu menyentuh hatinya. Mereka memiliki rasa sakit yang sama.

"Lalu kenapa dia diasingkan ke tempat ini?"

"Entahlah, aku baru setahun bekerja di sini. Para pengawal dan maid yang lain terlalu menutup informasi, jadi aku tidak tahu apa yang terjadi di masa lalu. Hanya saja, setelah ibunya meninggal, Nona Vanilla tinggal di sini. Katanya, usianya baru 5 tahun saat itu. Ah, kasihan sekali." Andesta mengusap cairan bening yang mengambang di sudut mata.

"Gadis itu menyimpan banyak luka dan tidak ingin membaginya pada siapa pun."

"Mungkinkah ia akan terus seperti ini sampai akhir hidupnya? Oh, Tuhan. Benar kata Nona Vanilla, dunia nyata tidak seindah dunia dongeng. Kisah pangeran yang menyelamatkan sang putri tidak akan mungkin terjadi padanya."

🎻🎻🎻

Diego melangkah pelan menuju ke perpustakaan. Menurut Andesta, setiap jam 7 malam Vanilla sering menghabiskan waktu di perpustakaan, entah itu untuk membaca, ataupun menonton film Princess Disney favoritnya. Gadis itu benar-benar polos. Usia 22 tahun, para gadis lain mencari hiburan dengan drama-drama Korea, sedangkan Vanilla masih terjebak dalam kenangan masa kecilnya.

Pintu perpustakaan dalam keadaan setengah terbuka. Diego melongokkan kepalanya ke dalam, nampak Vanilla sedang duduk di kursi sembari berbicara sendiri, menirukan dialog yang terdengar dari laptop di hadapannya. Vanilla pasti sudah menontonnya ratusan kali sehingga sudah hafal dialog dalam film Snow White itu.

Diego memberanikan diri masuk ke ruangan dan berdiri tepat di hadapan Vanilla. "Menonton di bioskop jauh lebih seru dibandingkan di laptop. Mau coba?"

"Kau lagi?" Vanilla berdecak kesal. "Kenapa kau selalu saja menggangguku?"

"Aku tidak mengganggumu. Hanya ingin berteman denganmu. Apa itu salah?"

"Aku tidak tertarik berteman denganmu."

"Sampai kapan kau mau menutup diri? Jangan terlalu menenggelamkan diri dalam kesedihan. Kau bisa membagi rasa sakit di hatimu dengan orang lain, dengan begitu bebanmu akan berkurang dan kau akan merasa lebih lega."

"Kau tidak tahu apa-apa tentangku, jadi lebih baik kau diam. Pergilah, berhenti menggangguku."

Bukannya pergi, Diego justru menarik sebuah kursi dan meletakkan di hadapan Vanilla. Lelaki itu duduk di sana, mata hitamnya bersorot tajam pada wajah sayu gadis itu. Gadis keras kepala. Rupanya, luka itu sudah menggores terlalu dalam di hatinya yang rapuh.

"Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan kedua orang tua. Tapi 1 hal yang harus kau ingat, Nona. Waktu akan terus berputar. Jika kau tidak bangkit, maka untuk selamanya kau akan tertinggal di belakang. Bangunlah dari keterpurukanmu. Jika kau membutuhkan seseorang untuk membantumu bangkit, aku akan dengan senang hati mengulurkan tangan. Kita memiliki masa lalu yang sama, kita merasakan rasa sakit yang sama. Aku yakin akan bisa memahami perasaanmu dibanding siapa pun."

Gadis itu terdiam. Ruangan itu kembali dipenuhi oleh suara-suara Putri Salju yang sedang berdialog dengan seorang nenek tua.

"Beri aku 1 alasan kenapa aku harus mempercayaimu," lirih Vanilla.

Diego menyugar rambut hitamnya. "Kau tahu kenapa semalam aku terluka?"

"Diserang babi hutan. Itu yang kau katakan."

"Aku mengatakan yang sebaliknya. Bukan babi hutan yang menyerangku, tetapi aku yang menyerang babi hutan."

"Aku tidak mengerti apa maksudmu."

"Aku mencari cara agar bisa masuk ke villa ini untuk menemuimu."

"Alasan yang tidak masuk akal. Untuk apa kau melakukan hal gila hanya demi menemuiku? Kau memiliki maksud tersembunyi?"

"Aku ... tertarik padamu, Nona." Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Diego. "Maksudku bukan tertarik dalam artian lelaki dewasa yang menyukai seorang gadis. Hanya saja, alunan biola yang kau mainkan seolah menyeretku kembali ke masa lalu yang menyakitkan. Karena itu aku ingin bertemu dengan gadis hebat yang menciptakan nada-nada penuh kesedihan."

"Kau pikir aku akan dengan semudah itu mempercayaimu?" Vanilla tersenyum sinis. "Segera kemasi barang-barang kalian. Besok sebelum matahari terbit kau harus sudah pergi dari tempat ini."

"Aku tulus ingin berteman denganmu, Nona. Kita bisa saling bertukar cerita, membagi kesedihan, atau jika memungkinkan saling menyembuhkan."

"Sayangnya aku merasa terganggu dengan kehadiranmu. Apa kalimat itu tidak cukup untuk membuatmu pergi dari hadapanku? Atau perlu aku lempar laptop ini ke wajahmu?" Suara Vanilla semakin terdengar dingin.

Benteng yang dibangun oleh Vanilla terlalu kokoh, dan sepertinya Diego memang tidak mampu menembusnya. Baiklah, Diego menyerah. Sudah saatnya ia melupakan gadis itu dan kembali pada kehidupannya.

"Oke, jika memang kau menolak kehadiranku. Besok pagi saat kau terbangun, aku pastikan kau tidak akan menemukanku lagi. Kau akan hidup damai tanpa ada seorang pun yang lancang mendekatimu. Selamat tinggal, Nona."

Diego melangkah pergi. Sesampai di depan pintu, ia berbalik untuk menatap wajah dingin Vanilla dan berucap, "Tetaplah bermain biola seperti biasanya. Di satu waktu, pasti ada kalanya aku sedang memanjat pohon yang tinggi untuk menikmati pertunjukan itu. Nada-nada yang kau mainkan selalu mampu memperlihatkan luka masa lalu, tetapi sialnya aku justru menyukai itu."

Hening sesaat, kemudian Diego menutup pintu rapat-rapat. Menyisakan Vanilla yang termenung di tempat duduknya. Memikirkan lelaki yang baru saja mengucapkan salam perpisahan padanya.

🎻🎻🎻

To be Continued
2 Februari 2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro