PART 44
"Aku ... mencintaimu." Suara gadis itu terdengar gemetar. "Kau puas menyiksaku dengan kerinduan?"
Butiran-butiran bening mengalir deras di pipi kemerahan milik gadis itu. Gadis itu mengungkapkan perasaannya dan melampiaskan kekecewaannya. Kedua tangan Diego mengepal. Sedalam itukah dia menggoreskan luka di hati gadis itu? Tentu saja Diego juga menyimpan cinta dan kerinduan yang sama. Bedanya, Diego terlalu pengecut untuk mengakui perasaannya di hadapan gadis yang dicintainya.
"Kau puas meninggalkanku tanpa kata perpisahan? Kau puas membiarkanku menunggu di bawah pohon sakura tanpa kepastian?"
Sudah, cukup! Diego tidak sanggup lagi mendengarkan sederet kalimat penuh luka yang dilontarkan oleh gadis yang dicintainya. Pada akhirnya, kekuatan cinta mampu sedikit menurunkan ego di dalam dirinya. Dengan sekali sentak, lelaki itu merengkuh Vanilla ke dalam pelukannya.
"Seandainya lelaki itu berada di depanmu, pasti dia akan memelukmu seperti ini. Dia pasti juga memiliki kerinduan yang sama sepertimu. Aku bisa merasakan kisah cinta yang begitu kuat dari apa yang sudah kau ceritakan. Dia pasti menyimpan perasaan yang sama besar sepertimu."
"Sebelumnya kau berkata dia pergi karena tidak mencintaiku." Suara Vanilla terdengar serak.
"Aku berubah pikiran. Dia pergi bukan karena tidak mencintaimu, tetapi memiliki alasan lain yang membuatnya terpaksa meninggalkanmu."
Jemari Diego membelai kepala Vanilla dengan lembut. Akhirnya, dia bisa kembali menghirup aroma citrus kesukaannya. Aroma yang selalu membuat Diego merasa nyaman.
Gadis itu mencengkeram jaket Diego kuat-kuat. Begitu sakitnya memendam kerinduan? Kalau saja Diego bisa lebih gentle untuk mengakui bahwa dirinya adalah lelaki yang dirindukan Vanilla. Tapi, kenyataannya Diego tidak ingin mengungkap kebenarannya.
Diego mendekap erat Vanilla, membiarkan gadis itu merasa nyaman. Setelah dirasa gadis itu cukup tenang dan tangisnya mereda, Diego melepaskan pelukannya. Dia menangkup wajah Vanilla dan mengusap sisa-sisa air mata di wajah gadis itu dengan ibu jarinya.
"Tarik napas dalam-dalam, lalu hembuskan pelan-pelan. Kau akan merasa lebih rileks," ucap Diego.
Sekali lagi, Vanilla patuh pada instruksi Diego. Gadis itu menarik napas, menghirup oksigen bercampur aroma musk yang menguar dari tubuh lelaki di hadapannya. Aroma yang membuatnya merasa lebih tenang. Ia mendongak, menatap mata hitam pekat yang sedang memandangnya dengan lembut.
"Sudah lebih tenang?" tanya Diego.
"Kenapa hari ini kau sangat berbeda dengan biasanya?" Vanilla memberanikan diri bertanya tentang keanehan lelaki itu.
Diego menarik tangannya dari wajah Vanilla, ia mengambil jagung bakar dan menyodorkannya pada gadis itu. "Bukankah hanya dengan cara ini aku bisa membawamu ke tempat ini? Aku hanya ingin kau menjauh dari Nyonya Mawar, karena dia sangat berbahaya untukmu. Anggaplah aku sedang berbaik hati pada seorang gadis polos yang hampir saja tertipu oleh lelaki brengsek seperti Ariel."
"Sejak awal kau selalu memintaku menjauh dari semua orang. Apa sebegitu kerasnya kehidupan di kota besar?"
"Satu hal yang harus kau ingat. Ketika kau berada di tempat yang asing, kau tidak akan pernah bisa membedakan yang mana kawan dan mana lawan. Kau tidak akan pernah tahu siapa yang benar-benar tulus, dan mana yang kebaikannya hanya sekadar topeng. Karena tidak jarang, orang yang berjanji ingin melindungimu, ternyata dia hanya sedang menunggumu lengah dan pada akhirnya menusukmu dari belakang."
"Dari semua yang sudah kau sebutkan tadi, kau termasuk yang bagian mana?"
Hening sejenak. "Anggaplah aku seperti sebuah bayangan yang akan selalu mengikuti ke manapun kau pergi."
Vanilla mengerutkan dahi. "Bayangan?"
"Makanlah, selagi masih hangat." Diego meletakkan jagung di tangan Vanilla, enggan membahas kalimat yang baru saja ia ucapkan. "Setelah dingin rasanya tidak enak. Kau bisa melupakan semuanya untuk sesaat. Rileks, dan coba untuk menikmati malam pertamamu di alam terbuka. Tidak perlu mencemaskan apa pun. Aku sudah terbiasa mengatasi situasi genting di tempat seperti ini."
Vanilla menggigit jagung di tangannya. Aroma khasnya mengingatkannya pada kenangan 3 tahun yang lalu, ketika Diego membawanya ke taman kota dan lelaki itu membelikannya jagung bakar. Ah, kenangan yang tidak pernah bisa Vanilla lupakan.
Sesekali mata Vanilla mencuri pandang pada lelaki yang sedang sibuk menyantap jagung bakarnya. Anggaplah aku seperti sebuah bayangan yang akan selalu mengikuti ke manapun kau pergi.
Tuan Wilson benar. Lelaki itu seperti bayangan yang selalu ada di manapun Vanilla membutuhkan bantuan. Seolah takdir berbaik hati mengirimkan seorang pelindung bagi Vanilla yang belum terbiasa hidup di antara kerasnya dunia luar.
"Langit mulai mendung. Aku harap malam ini tidak turun hujan." Diego mendongak, mengawasi awan hitam yang berarak menutupi rembulan.
"Bagaimana jika hujan turun? Kita basah kuyup?"
"Tenang saja, semua peralatan yang aku bawa waterproof. Termasuk tenda."
"Syukurlah."
"Kau kedinginan? Jika iya, aku akan mengambilkan selimut untukmu."
"Tidak. Api unggun itu sudah cukup membuatku hangat."
Hening lagi. Mereka sibuk menikmati manisnya jagung bakar. Ah tidak. Mereka sedang sibuk dengan pikiran masing-masing. Bahkan ketika mereka sudah selesai makan pun, mereka seolah kesulitan untuk memulai pembicaraan. Duduk bersisian dengan suasana yang canggung.
"Lelaki itu berjanji untuk mengajakmu ke tempat ini?" tanya Diego, mencoba mencari topik pembicaraan.
"Heemmm ...."
"Kalau begitu anggap saja aku sebagai lelaki itu yang sedang menepati janjinya."
"Tidak. Aku tidak ingin mengingatnya lagi."
"Jangan pernah membencinya. Kau tidak tahu alasan apa yang membuatnya pergi. Dan jangan mengingkari perasaanmu. Kau masih mencintainya." Diego menepuk pundak kanannya. "Sandarkan kepalamu di bahuku. Ayo kita buat skenario seolah-olah kita adalah sepasang kekasih yang sedang melepas kerinduan."
Vanilla tersenyum tipis. Tanpa menunggu perintah dua kali, gadis itu menyandarkan kepalanya di bahu Diego. Skenario terindah. Kedua wajah itu sama-sama menengadah, menatap bintang-bintang yang semakin lama semakin berkurang. Gulungan awan hitam itu semakin meluas, mengubah langit yang semula cerah menjadi gelap.
Vanilla mencoba memejamkan mata. Ia ingin kembali ke masa 3 tahun yang lalu. Saat ia sering duduk bersisian dengan lelaki yang dicintainya. Di bangku taman villa, sembari merasakan kelopak sakura yang berguguran. Rupanya, detak jantungnya kala itu memang serupa. Debaran di dadanya juga tidak berbeda. Tuan Wilson benar-benar sesosok lelaki yang berhasil menyeret Vanilla ke dalam masa lalu. Sialnya, Vanilla begitu menikmati kedekatan ini.
Cukup lama mereka bersanding di antara keheningan, sampai akhirnya rintik-rintik kecil gerimis mulai turun. Angin berembus semakin kencang, daun-daun berguguran dan api unggun mulai bergerak seiring arah angin.
"Masuklah ke tenda, di luar dingin," ucap Diego.
"Lalu bagaimana denganmu?"
"Aku akan menyusulmu kalau hujannya sudah deras."
"Oke, aku masuk duluan."
"Pakai sleeping bag yang aku letakkan di dekat tas."
Vanilla masuk ke dalam tenda dan menutup pintunya, lalu mengambil sleeping bag berwarna merah milik Diego. Gadis itu memposisikan diri, membiarkan sleeping bag membungkus tubuhnya. Hangat. Bukan hanya tubuhnya yang terasa hangat, tetapi juga hatinya yang menghangat. Tuan Wilson telah membuat hari mereka semakin berkesan.
Jemari gadis itu menyentuh dadanya. Ah, debaran lembut itu bahkan masih terasa hingga saat ini. Vanilla memejamkan mata, mencoba kembali merasakan begitu nyamannya ketika kedua lengan kekar itu mendekap tubuhnya. Oh, Tuhan. Apa yang sebenarnya Vanilla rasakan? Ini tidak mungkin cinta yang sama seperti cintanya pada Diego.
Ya, anggaplah ini sebagai sebuah skenario di mana Tuan Wilson berperan sebagai Diego. Jadi, debaran lembut di dada Vanilla itu pasti sebenarnya untuk Diego, bukan untuk Tuan Wilson.
***
Vanilla membuka mata. Gadis itu mengerjap, berusaha mendapatkan kesadarannya. Ia terbangun bukan tanpa alasan. Suara notifikasi di ponsel mengganggu tidurnya. Ia bergegas meraih ponsel yang diletakkan di sudut tenda dan memeriksanya. Sebuah pesan singkat dari nomor tidak dikenal. Seperti yang dikatakan Diego, sebuah keberuntungan karena ponsel Vanilla mendapatkan sinyal meski hanya beberapa detik.
Vanilla, ini Nyonya Mawar. Kau sedang bersama Tuan Wilson? Segera pergi dan menjauh darinya! Tuan Wilson tidak tulus mendekatimu. Kau ingin tahu kenapa dia bersikeras mempertahankanmu agar tidak ada seorang pun yang dekat denganmu? Biar aku beritahu. Tuan Wilson memiliki dendam pribadi padamu, karena dulu Catherine pernah menjadi wanita simpanan ayahnya. Karena perselingkuhan itu, ibu Tuan Wilson membunuh suaminya, disusul ia juga mengakhiri hidupnya sendiri. Pergilah dari Tuan Wilson dan datang padaku, Vanilla! Saat ini Tuan Wilson pasti sedang berencana untuk membunuhmu sebagai balas dendam atas kematian orang tuanya.
Tubuh Vanilla menegang. Apa maksud Nyonya Mawar mengatakan itu? Tuan Wilson akan membunuhnya di tempat ini? Tidak mungkin! Tuan Wilson bahkan bersikap lembut dan penuh perhatian. Kalau tidak percaya, biar Vanilla lihat sekarang. Lelaki itu pasti sedang duduk di depan api unggun untuk menjaga Vanilla.
Vanilla duduk di balik pintu tenda. Ia mengintip Diego dari celah kecil yang terbuka. Dan seketika tubuh Vanilla membeku di tempatnya. Diego memang sedang duduk di depan api unggun yang mulai padam. Rintik hujan semakin deras. Dari sisa-sisa cahaya yang tersisa, Vanilla melihat sebuah pistol berwarna hitam di tangan Diego. Lelaki itu sedang mengisi senjata apinya dengan peluru.
Oh, apa yang harus Vanilla lakukan sekarang?
***
To be Continued
12 November 2023
Yang mau baca duluan part selanjutnya bisa ke KaryaKarsa ya 🥰🥰🥰
Btw di KaryaKarsa aku juga ada cerita baru, My Little Butterfly (Spin-off Edelweiss untuk Anna)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro