PART 43
Suara nyanyian serangga mengisi kesunyian malam di puncak bukit. Cahaya purnama menerobos pucuk-pucuk dedaunan, menerangi kegelapan. Angin mendesau perlahan, membelai setiap makhluk yang berada di sekitarnya.
Vanilla merapatkan hodie di kepalanya. Udara malam di puncak bukit sangat dingin. Beruntung, Diego sudah menyalakan api unggun untuk menghangatkan badan mereka.
Mereka duduk bersisian di depan api unggun. Gadis itu memperhatikan Diego yang sedang sibuk membakar jagung dan kentang. Meski mereka sudah menyantap mie instan untuk makan malam, tetapi Diego bilang camping tidak akan lengkap tanpa jagung bakar.
"Kau terlihat menikmati suasana ini," ucap Vanilla.
"Kau tidak menikmatinya?"
"Tentu saja menikmati, suasana malam di sini mengingatkanku pada villa. Aku terbiasa mendengar suara serangga malam, tetapi aku perlu beradaptasi dengan suasana asing di tempat terbuka seperti ini, di mana sewaktu-waktu ada bahaya yang mungkin saja sedang mengincar keselamatan kita. Tapi kau berbeda. Kau sama sekali tidak menampakkan rasa takutmu, seolah kau memang sudah bersahabat dengan dunia luar."
"Sejak kecil ayahku mengajariku bersahabat dengan alam."
"Oh, pantas saja. Tidak heran jika kau tidak memiliki rasa takut berada di tempat ini."
"Aku menyukai kesunyian, di mana aku bisa berlari sejenak dari kenyataan, dan mengenang masa kecilku bersama kedua orang tuaku." Diego memeriksa ponsel, membaca sebuah chat yang masuk.
"Aku pikir di sini tidak ada sinyal. Tapi notifikasi itu bisa masuk ke ponselmu."
"Sangat sulit mendapatkan jaringan di tempat ini. Tapi jika sedang beruntung, akan ada sinyal lemah yang bisa membuat ponsel menerima pesan di Whatsapp." Diego kembali memasukkan ponsel ke saku jaketnya, kemudian mengeluarkan kentang yang sudah matang dari bara api. "Makanlah. Apa pun akan terasa enak ketika kau memakannya di alam terbuka."
"Terima kasih." Vanilla mengambil kentang bakar, tetapi ia melemparkan kentang itu dan menarik tangannya. "Ah, panas."
Mendengar teriakan Vanilla, refleks Diego meraih telapak tangan gadis itu dan menggenggamnya. "Sakit?"
"Sedikit. Aku tidak tahu kalau akan sepanas itu."
"It's okay." Diego mengusap-usap telapak tangan Vanilla dengan lembut.
Vanilla menahan napas. Sentuhan lelaki itu membuatnya merasakan desiran halus di dalam darahnya. Jantungnya berdetak cepat. Rasa perih di tangannya mendadak lenyap begitu saja, berganti dengan sebuah perasaan aneh. Sebelumnya Vanilla pernah merasakan ini, ketika dulu Diego menggenggam jemarinya.
Oh, bagaimana ini? Vanilla tidak mungkin jatuh cinta dengan Tuan Wilson kan? Ah, bagaimana mungkin Vanilla bisa mengabaikannya, sedangkan Tuan Wilson sudah mulai memberikan serentetan perhatian dan sikap lembutnya.
Menggendong Vanilla sampai ke puncak bukit. Menyuruh Vanilla tidur siang di tenda dan lelaki itu berjaga di luar. Membuatkan mie instan untuk makan malam. Menyeduhkan teh hangat untuk menghangatkan badan. Membakar kentang dan jagung untuknya. Dan ketika tangan Vanilla sakit karena kentang panas, lelaki itu terlihat cemas lalu menggenggam serta mengusapnya untuk mengurangi rasa sakitnya.
Di mana Tuan Wilson yang selama ini bersikap angkuh di depan Vanilla? Di mana bos yang selama ini selalu menyakiti Vanilla dengan kata-katanya? Di mana lelaki yang selama ini menatap Vanilla dengan tatapan tajam? Seperti lenyap ditelan bumi.
Ketika Vanilla mendongak, ia menemukan Tuan Wilson sedang menatapnya dengan lembut. Tidak ada lagi kebencian yang terpancar di matanya yang hitam pekat. Sungguh, tatapan itu semakin membuat debaran kencang di dada Vanilla.
Diego memalingkan pandangan sembari melepaskan genggaman tangannya. Terdengar helaan napas berat, sebelum akhirnya jemari lelaki itu mengambil kentang yang tergeletak, lalu mengupasnya.
"Hati-hati. Butuh waktu sampai kentang menghangat." Diego memberikan kentang yang sudah dikupas pada Vanilla.
Vanilla tersenyum canggung. "Terima kasih."
Oh, jantung sialan! Kenapa harus berdetak secepat ini? Vanilla berusaha mengusir perasaan aneh di hatinya. Dadanya berdebar untuk orang yang salah. Tidak, Vanilla tidak ingin jatuh cinta lagi, karena baginya cinta hanya akan membawa luka. Ia takut kecewa untuk yang kedua kalinya, ketika ia harus mencintai lelaki yang tidak semestinya. Sungguh, ditinggalkan tanpa kalimat perpisahan itu sangat menyakitkan, di mana selama ratusan hari dia harus membunuh kerinduan yang menyapa dirinya.
Ratusan hari yang sangat menyiksa. Apa kabar lelaki yang telah pergi? Mungkin dia sudah bahagia dengan wanita lain. Sedangkan Vanilla, masih terpuruk di tempat yang sama. Ah, Vanilla membenci kerinduan. Sudah sepatutnya dia mengusir perasaan itu sebelum jauh berkembang dan tumbuh lalu mekar dengan indahnya. Tuan Wilson terlalu jauh untuk digapai. Lelaki itu bagaikan langit dan Vanilla ibarat bumi, tidak akan pernah bisa bersatu.
"Ngomong-ngomong, apa kekasihmu tidak cemburu kalau dia tahu kau pergi bersamaku? Apalagi di tempat ini hanya ada kita berdua." Vanilla menggigit kentang bakar yang sudah menghangat.
"Aku tidak punya kekasih."
Vanilla tertawa. "Tidak mungkin. Pasti ada banyak wanita yang mengejarmu, dan salah satu di antara mereka pasti bisa membuatmu terpikat padanya."
"Bagaimana aku bisa terpikat pada mereka sedangkan ada seseorang lain yang meninggalkan sebagian hatinya di dalam diriku?"
Vanilla urung menggigit kentangnya lagi, ia menoleh pada Diego tepat ketika lelaki itu juga sedang menoleh padanya. "Mantan kekasihmu?"
Diego menggeleng. "Aku mengakhiri kisah itu bahkan sebelum kami memulainya."
"Jika memang mencintainya, kenapa kau mengakhirinya?"
"Karena kami terhubung oleh seutas benang merah dari masa lalu. Aku tidak bisa membiarkan gadis itu berada di dekatku."
"Kenapa?"
"Aku takut menyakitinya."
"Aku bisa mengerti perasaanmu. Berusaha melupakan ketika dia meninggalkan sebagian hatinya, itu sangat menyakitkan. Aku tahu bagaimana sulitnya membunuh kerinduan sedangkan kita sedang berusaha melupakan." Vanilla menghela napas. "Aku tidak tahu apa masa lalu kalian, tapi karena hari ini kau sudah berbaik hati membawaku ke tempat ini, aku akan berdoa untukmu. Semoga takdir kembali mempersatukan kalian dalam sebuah kisah cinta yang abadi."
"Sampai kapan kau akan mencintainya? Lelaki yang kau sebut namanya ketika mabuk."
"Diego? Lelaki yang katamu tidak balas mencintaiku?" Vanilla terdiam sejenak. Wajahnya tertunduk, menyembunyikan matanya yang memanas. "Jika bisa, mulai detik ini aku akan berhenti mencintainya."
"Bagaimana jika pendapatku salah? Mungkin saja sebenarnya lelaki itu mencintaimu, hanya saja dia terlalu pengecut untuk mengakui perasaannya di depanmu."
"Tidak mungkin. Jika dia mencintaiku, dia tidak mungkin pergi tanpa mengatakan apa pun. Aku saja yang terlalu bodoh memiliki perasaan ini. Memangnya aku siapa? Aku hanya gadis bodoh yang terpenjara dalam sebuah lorong gelap, lalu berharap seorang pangeran akan datang menyelamatkanku. Dan sekarang aku sadar, kisah indah itu hanya ada di dalam dongeng."
Diego meletakkan jagung bakar yang sudah matang di atas piring, lalu pandangannya kembali terarah pada gadis yang sedang tertunduk lesu. "Jika kau diberi kesempatan satu kali lagi untuk bertemu dengan lelaki itu, apa yang ingin kau katakan padanya?"
"Entahlah, aku tidak tahu."
Jemari Diego terulur, menyentuh rambut yang menjuntai menutupi sebagian wajah Vanilla, lalu menyelipkannya di balik telinga. "Aku sedang bicara denganmu, Nona. Selama ini kau selalu menyimpan perasaanmu sendirian. Terlalu lama memendam rasa akan sangat menyakitkan. Jangan menyiksa diri sendiri, kau butuh seseorang untuk berbagi. Tatap aku, dan anggap aku adalah lelaki itu. Katakan apa pun yang ingin kau katakan padanya. Mungkin dengan begitu kau akan merasa lebih lega."
Kalimat Diego serupa sihir yang membuat Vanilla menurut padanya. Gadis itu mendongak, mata cokelatnya berkaca-kaca. Cahaya rembulan menyorot wajah dengan rona merah di kedua pipinya. Selalu cantik.
"Katakan apa pun yang ingin kau katakan padanya."
"Kau jahat. Kenapa pergi meninggalkanku setelah kita bersama-sama merajut kenangan manis itu? Kenapa memberiku harapan kosong? Kenapa kau mengingkari janji yang pernah kau ucapkan? Katanya ingin selalu melindungiku, tetapi kenapa malah pergi dan meninggalkan sebagian hatimu di sini?" Vanilla terdiam sesaat, menahan rasa sesak di dadanya. "Kau tahu bahwa kau adalah orang pertama yang ingin aku lihat ketika aku membuka mata, tapi kenapa kau tidak hadir untuk mengabulkan keinginan terbesar di dalam hidupku?"
"Katakan semuanya."
"Tidak tahukah kau, setiap hari aku selalu berdiri di bawah pohon sakura, berharap seorang lelaki akan kembali membuat kekacauan di depan pintu gerbang. Seorang lelaki dengan tubuh penuh luka dan baju yang berlumur darah. Seorang lelaki yang datang dengan segenggam buah gooseberry. Seorang lelaki yang dengan berani membawaku kabur dari villa untuk mengenalkanku pada dunia luar. Tapi ternyata, keindahan yang kau tawarkan hanyalah fatamorgana. Selebihnya, kau membunuhku dengan kerinduan."
"Masih ada lagi?"
"Aku ... mencintaimu."
Hening. Nyanyian serangga malam seolah mengiringi keheningan yang mereka ciptakan. Dua orang yang saling mencintai bertatapan dengan penuh makna. Dua orang yang sama-sama pernah terbunuh oleh kerinduan, kini melebur dalam sebuah harmoni malam yang diciptakan oleh alam. Ternyata, cinta tidak selamanya memberikan keindahan. Dan dua orang di sana yang sama-sama terluka oleh cinta yang hadir di antara mereka.
***
To be Continued
07 November 2023
Di KaryaKarsa udah tamat ya. Yang mau baca duluan boleh ke sana
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro