PART 42
Bolehkah Vanilla berharap lebih? Setelah syal yang disimpan Tuan Wilson, lalu kenapa lelaki itu bisa tahu tentang puncak bukit, villa, dan buah gooseberry? Mungkinkah lelaki itu adalah orang yang sama dengan Diego?
Vanilla mendongak, menatap lelaki yang berdiri radius tiga meter di depannya. Lelaki itu membalas tatapan Vanilla, mengingatkan Vanilla pada seseorang yang pertama kali dia lihat ketika membuka matanya. Mungkinkah lelaki di rumah sakit saat itu benar-benar Diego yang ingin menepati janjinya untuk menjadi orang pertama yang Vanilla lihat?
Namun, harapan Vanilla pupus ketika lelaki itu berucap, "Kau mengatakannya ketika mabuk. Tentang masa lalumu, dan lelaki itu."
Vanilla memejamkan matanya, setetes cairan bening terjatuh ke pipinya. Apa yang kau pikirkan, Vanilla? Jangan berharap terlalu banyak, akan lebih menyakitkan ketika kau mendapatkan harapan kosong. Cintamu tidak berbalas, lalu kenapa masih mengingatnya? Bahkan mungkin saat ini lelaki itu sudah berbahagia dengan wanita lain. Sedangkan kau masih sibuk berharap bisa kembali bertemu dengannya?
"Aku akan mengantarmu pulang. Setelah lukamu sembuh, aku akan membawamu ke puncak bukit. Jangan pernah bertemu dengan Ariel lagi, dia cukup berbahaya untukmu."
***
Diego menepati janjinya. Seminggu sejak pertemuan dengan Nyonya Mawar dan luka di lengan Vanilla sudah membaik, mereka pergi ke puncak bukit. Hanya berdua, tanpa orang lain yang menemaninya.
Setelah menitipkan mobil di perkampungan penduduk, Diego mengajak Vanilla berjalan kaki melewati jalan setapak di dalam hutan. Sesekali mereka harus menyibak semak belukar dan tak jarang duri menggores jaket tebal yang mereka kenakan.
Sebuah ransel besar tergantung di punggung Diego, sedangkan Vanilla hanya membawa sebuah tas kecil berisi ponsel yang ia sampirkan di pundaknya. Napas gadis itu terengah-engah, tidak menyangka jika perjalanan yang mereka lalui akan serumit ini.
"Tiga puluh menit lagi kita akan sampai. Masih kuat?" Diego menoleh ke belakang. Ia mengambil botol air mineral dari ransel dan memberikannya pada Vanilla.
Vanilla duduk di sebuah batang pohon yang tumbang dan menenggak cairan bening di dalam botol. Sangat menyegarkan.
"Track yang akan kita lalui setelah ini cukup sulit," ujar Diego lagi. "Jalanan menanjak mungkin akan menyulitkanmu."
"Aku masih kuat." Vanilla menyeka keringat yang membanjiri dahinya. "Aku pikir kita akan ke puncak bukit bersama salah satu warga. Tapi ternyata kita bisa melakukan perjalanan tanpa seorang pemandu dan tidak tersesat, seolah kau memang sudah terbiasa melewati jalan ini."
"Seminggu yang lalu aku melakukan survey bersama Pedro dan beberapa orang warga. Ini hanya sebuah bukit. Track di sini tidak sesulit mendaki gunung. Dan daya ingatku sangat tajam, sehingga cukup mudah untuk mengenali tempat ini."
"Maaf merepotkanmu. Terima kasih karena sudah mewujudkan impianku untuk bisa naik ke puncak bukit."
"Terlalu cepat untuk mengucapkan terima kasih. Ini baru setengah perjalanan. Aku harap kau masih kuat berjalan sampai ke puncak."
"Kalau aku tidak kuat, bagaimana? Kita gagal sampai ke puncak?"
"Aku akan menggendongmu."
Vanilla tersenyum tipis. Sejak pertengkaran malam itu, Diego sedikit berubah. Tidak lagi memaksakan kehendaknya, sikapnya juga tidak sedingin ketika pertama kali mereka bertemu. Bukan berarti sikap Diego berubah hangat, tetapi lebih tepatnya dia lebih menghargai Vanilla dibanding sebelumnya.
Sejak pulang dari rumah sakit, Diego menyediakan seorang bodyguard khusus untuk berjaga di kamar Vanilla. Meski lelaki itu tidak pernah mengunjunginya selama seminggu, tetapi setiap jam makan Diego selalu mengirimkan menu makanan sehat yang dimasak oleh koki sewaannya. Perhatian kecil yang membuat gadis manapun akan meleleh dibuatnya.
Mereka melanjutkan perjalanan, melangkah di antara pepohonan yang menjulang tinggi. Jalanan semakin menanjak. Diego meminta Vanilla berjalan di depannya, bersiaga kalau-kalau gadis itu kelelahan dan tertinggal di belakang.
Semakin lama, napas Vanilla semakin terengah-engah. Jalanan yang mendaki membuatnya lelah, tetapi ia tidak ingin menyerah. Ia ingin segera tiba di puncak bukit dan menikmati pemandangan di sana, dan membayangkan dia berdiri bersisian dengan seseorang yang pernah berjanji akan menjadi mata kedua untuknya.
"Ah ...!!!" Vanilla terpeleset dan jatuh terduduk. Ia meringis, menahan pinggangnya yang terasa nyeri.
"Sudah tidak kuat?" Diego mengulurkan tangan, membantu gadis itu berdiri.
"I'm okay. Sepertinya aku tidak sengaja menginjak batu kerikil dan membuatku terpeleset." Vanilla menepuk-nepuk celana jeans yang ia kenakan, membersihkan kotoran yang menempel di sana. Ketika ia mendongak, Diego sudah berlutut dan memindahkan tas ranselnya ke depan.
"Naik ke punggungku."
Vanilla melebarkan mata. "Eh?"
"Jangan memaksakan diri, kau sudah kelelahan. Kalau pingsan di jalan akan lebih repot nantinya."
"Tapi—"
"Naik ke punggungku dan kita akan lebih cepat sampai ke puncak. Langkahmu terlalu lambat seperti siput."
"Tapi—"
"Jangan membantah. Mau kutinggal sendirian di tempat ini?"
Vanilla tidak memiliki pilihan lain. Meski merasa tidak enak, ia terpaksa mengikuti instruksi bosnya. Naik ke punggung Diego, dan membiarkan lelaki itu menggendongnya.
Vanilla meletakkan tangannya di pundak Diego. Lelaki itu melangkah tanpa kesulitan meski membawa beban di punggungnya. Tentu saja, lelaki bertubuh kekar itu pasti sudah terbiasa mengangkat beban yang lebih berat ketika melakukan workout.
Vanilla mengembuskan napas. Jujur, berinteraksi sedekat ini dengan Tuan Wilson membuatnya tidak nyaman. Aroma musk dari tubuh lelaki itu perlahan membuat jantungnya berdetak cepat. Oh, ia sudah tidak sabar sampai di puncak bukit dan cepat-cepat menjaga jarak dengan lelaki itu.
"Jalanan mendaki, kau akan terjungkal ke belakang jika tidak berpegangan dengan benar. Lingkarkan lenganmu di leherku, itu akan memudahkanku berjalan sambil menggendongmu."
Meski ragu, Vanilla tidak membantah. Ia merapatkan tubuhnya, kedua tangannya melingkar di leher Diego. Dengan hati-hati, Vanilla menyandarkan dagu di pundak kokoh milik lelaki itu. Nyaman, itu yang pertama kali ia rasakan. Ah, semoga saja Tuan Wilson tidak mendengar detak jantung Vanilla yang begitu kencang.
Ya, Vanilla tidak bisa mengontrol detak jantungnya. Dan entah kenapa dia tidak merasa asing dengan perasaan aneh itu. Detak jantung yang ia rasakan kali ini, sama persis dengan detak jantung ketika ia berdekatan dengan ... Diego. Setelah sekian lama tidak pernah merasakan perasaan aneh itu, tiba-tiba kini debaran itu hadir lagi. Serupa hati yang telah lama hilang lalu kembali bertemu dengan pemiliknya. Sayangnya, lelaki di dalam dekapannya kali ini bukanlah pemilik hati yang sebenarnya. Tentu saja Vanilla tidak berani berharap lebih. Setidaknya Tuan Wilson bersedia menggantikan Diego untuk menepati janjinya naik ke puncak bukit.
***
"Wow! Indahnya! Aku belum pernah melihat pemandangan indah seperti ini!" Vanilla menatap perbukitan di kejauhan. Dari tempatnya berdiri, dia bisa melihat perkampungan penduduk di antara hamparan sawah yang menghijau.
Gadis itu memejamkan mata, merentangkan kedua tangannya dan membiarkan angin menerpa wajahnya. Udara bersih yang sangat menyegarkan, mengingatkannya pada masa-masa ketika dia tinggal di villa. Rambut panjangnya tergerai di punggung bergerak seirama dengan arah angin.
"Kalau kau sudah lapar, makan saja roti di dalam tas. Aku akan mendirikan tenda," ucap Diego. Dia sibuk membongkar tenda dan bersiap memasangnya.
"Apa tenda itu milikmu?"
"Kemarin aku meminta Pedro membawa barang-barang terlebih dahulu ke sini. Aku pikir kita membutuhkan tenda untuk bermalam."
"Kita tidur di tempat ini? Apa tidak berbahaya? Tempat kalau malam pasti menyeramkan. Bagaimana jika ada orang jahat? Aku seorang gadis dan terlalu berbahaya berada di tempat sunyi seperti ini."
"Tenang saja, aku akan melindungimu." Diego menyingkap ujung bawah kaosnya, memperlihatkan benda tajam yang dibawanya. "Aku selalu menyelipkan pisau belati di pinggangku untuk berjaga-jaga jika sesuatu yang buruk terjadi."
"Kau selalu membawa pisau itu ke mana pun pergi?"
"Ya, untuk melindungi diri."
Vanilla terdiam. Ia seperti merasa de javu dengan dialog mereka. Dulu, Vanilla memang tidak bisa melihat, tetapi ingatannya cukup tajam untuk merekam setiap kalimat yang didengarnya. Dan saat itu Vanilla mendengar kalimat yang sama. Tentang pisau yang diselipkan di pinggang untuk melindungi diri. Ah, kenapa Vanilla menemukan banyak kesamaan antara Tuan Wilson dengan Diego?
Vanilla cepat-cepat menggeleng, berusaha mengenyahkan isi kepalanya. Tuan Wilson dan Diego jelas orang yang berbeda. Diego seorang lelaki yang penuh kasih sayang, sangat berbanding terbalik dengan Tuan Wilson yang angkuh dan selalu membuat Vanilla tersakiti.
"Bagaimana jika ada babi hutan yang tiba-tiba menyerang kita?" Vanilla kembali bertanya, berusaha mengusir kegelisahannya.
Diego yang sedang sibuk mendirikan tenda refleks menjawab, "Kenapa harus takut? Aku pernah berkelahi dengan babi hutan sampai tubuhku penuh luka dan pakaianku berlumuran darah. Jika saat itu tidak diselamatkan, mungkin aku sudah kehilangan nyawa. Tidak perlu ada yang kau takutkan, aku akan melindungimu."
"Berkelahi dengan babi hutan?" Tubuh Vanilla menegang. Lagi? Apa itu sebuah kebetulan?
"Ya, kalau tidak percaya, besok kau bisa tanyakan pada Pedro. Dia yang membawaku ke villa di—" Gerakan tangan Diego terhenti tiba-tiba, bersamaan dengan ucapannya yang terjeda. Lelaki itu menatap gadis yang berdiri tidak jauh darinya.
Kedua pasang mata itu saling bertemu. Mulut Diego setengah terbuka, ingin mengucapkan sesuatu tetapi sepertinya dia tidak mampu mengungkapkannya. Sedangkan Vanilla, sorot matanya tajam seperti tengah menyelam jauh di kedalaman mata hitam lelaki di hadapannya. Adakah rahasia yang disembunyikan di sana?
"Pos penjagaan. Pedro membawaku ke pos penjagaan hutan. Di gunung Rinjani, bukan tempat ini." Diego meralat ucapannya yang terjeda. "Aku baru 2 kali ke puncak bukit ini. Seminggu yang lalu bersama Pedro untuk melakukan survey, dan sekarang bersamamu."
Diego buru-buru membuang pandangan dan kembali menyibukkan diri memasang tenda. Vanilla menghela napas kasar. Pikirannya mulai kacau. Mungkinkah ada banyak kesamaan dari dua pribadi yang berbeda? Vanilla tidak ingin berharap, tetapi sialnya perasaan aneh itu justru kembali menyelinap ke dalam hatinya. Setiap kali melihat Tuan Wilson di hadapannya, dia merindukan sosok Diego. Sosok yang sudah menghilang, tetapi meninggalkan separuh hatinya di dada Vanilla.
***
To be Continued
03 November 2023
Btw cerita spin off Edelweiss untuk Anna sudah publish di KaryaKarsa ya. Yang mau baca boleh cek langsung di sana
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro