PART 41
Kecewa dan terluka. Setidaknya dua hal itu yang kini dirasakan oleh Vanilla. Lelaki angkuh itu telah berhasil mematahkan hatinya. Ah, ralat. Bukan mematahkan, tetapi meluluhlantakkan hatinya dengan deretan kalimatnya yang menyakitkan.
Pelacur. Tuan Wilson orang pertama yang berani menyebut Vanilla dengan sebutan itu. Hanya karena Vanilla ingin meminta bantuan pada Nyonya Mawar. Vanilla memang terlahir dari sebuah kesalahan, tetapi sedikit pun tidak pernah terbersit dalam benaknya untuk melakukan hal kotor itu.
Kalimat menyakitkan itu yang pada akhirnya membuat Vanilla memutuskan untuk menyingkir dari kehidupan Diego. Dimulai dari ketika ia turun dari mobil Diego, kemudian lelaki itu meninggalkannya sendirian. Sialnya, Vanilla mengambil keputusan yang tidak tepat. Kemarahannya pada Diego membuat Vanilla tidak menyadari situasi yang sedang terjadi di sana.
Hanya dalam hitungan detik setelah mobil Diego melaju, tubuh Vanilla terhuyung dan hampir saja terjatuh. Semua berlalu begitu cepat. Vanilla terjebak di antara perkelahian dua kelompok pemuda. Tubuh Vanilla gemetar, teriakan-teriakan penuh amarah di sekitarnya sangatlah menakutkan. Mereka saling memukul dan menendang. Vanilla bahkan beberapa kali terkena pukulan salah sasaran. Yang lebih mengerikan, kilatan benda tajam yang berseliweran dan melukai tubuh para pemuda.
"Ahhhh ...!" Vanilla berteriak ketika sebuah belati menggores lengannya, menciptakan luka yang tidak terlalu dalam.
Vanilla yang tidak pernah berada dalam kekacauan seperti itu semakin ketakutan. Ingin mencoba melarikan diri, tetapi kerumunan perkelahian di sekitarnya justru membuatnya terjatuh. Gadis itu akhirnya hanya bisa pasrah, kedua tangannya diletakkan di atas kepala, berusaha melindungi diri dari pukulan salah sasaran lagi.
Ketika ia berpikir hidupnya akan segera berakhir, ia merasakan seseorang menarik tubuhnya. Lelaki itu merangkul pinggang Vanilla, sebisa mungkin mencari celah untuk bisa keluar dari kerumunan. Tubuh kekarnya menjadi tameng agar Vanilla terhindar dari pukulan-pukulan yang tidak terkendali, dengan gesit membawa mereka dari kericuhan yang di sana.
"Kau terluka!" seru lelaki itu.
Napas Vanilla terengah-engah, wajahnya mendongak untuk memastikan bahwa suara yang baru saja didengarnya adalah suara Diego. Ya, entah apa yang membuat lelaki itu kembali dan menyelamatkan Vanilla.
Dengan hati-hati, Diego mendudukkan Vanilla di kursi mobil. Kemudian, ia duduk di belakang kemudi dan membawa mobil mereka menjauh dari arena pertarungan.
Vanilla menggigit bibir bawahnya, menahan rasa nyeri di lengan kanannya. Darah menetes dan mengotori kaos putih yang dikenakannya.
"Perdarahan di tanganmu harus segera dihentikan." Diego menepikan mobilnya di bahu jalan. Setelah mobil berhenti, tangannya terulur ingin membuka laci dashboard mobil, namun urung ketika Vanilla berkata dengan dingin.
"Kau menyelamatkanku. Lagi."
Diego menatap Vanilla tajam. "Kau sudah bosan hidup?"
"Bukankah bagi kalangan bangsawan seperti kalian, wanita rendahan sepertiku tidak pantas berada di muka bumi?"
"Aku akan mengembalikanmu ke sana jika kau ingin mendapatkan lebih banyak luka dari senjata tajam yang dihunjamkan ke tubuhmu." Diego membuka laci dashboard dan mengambil sebuah syal rajut berwarna putih. "Aku tahu kau tidak akan mengucapkan terima kasih. Tapi setidaknya kau cukup diam dan membiarkan lelaki di sampingmu bertanggung jawab karena sudah meninggalkanmu di tempat itu."
Vanilla tidak bisa menahan cairan bening yang menetes di kedua pipinya. Entahlah, kalimat Diego tiba-tiba membuat hatinya merasa kacau. Ada apa dengan lelaki di hadapannya? Jika lelaki itu memang benar-benar membenci Vanilla, kenapa dia justru selalu menjadi seseorang yang menyelamatkannya? Seolah lelaki itu memang ditakdirkan untuk melindungi Vanilla dalam situasi apa pun.
Dan jika memang Vanilla membenci lelaki itu, kenapa dia justru merasa nyaman setiap kali lelaki angkuh itu berada di sisinya? Seolah Tuan Wilson adalah seseorang yang paling dekat dalam hidup Vanilla. Kenapa Vanilla justru merasa familiar dengan setiap sentuhan lelaki itu? Orang asing yang tidak terasa asing. Mungkinkah Vanilla pernah bertemu dengan lelaki itu di kehidupan sebelumnya?
Vanilla meringis kesakitan ketika Diego membersihkan darah di lengan Vanilla menggunakan tisu, kemudian membalut luka itu dengan sebuah syal berwarna putih dengan bunga sakura di bagian tengahnya. Tubuh Vanilla menegang ketika matanya menangkap huruf 'D' yang terajut di ujung syal.
"Darimana kau mendapatkan syal ini?" tanya Vanilla cepat.
"Aku sedang membantu agar kau tidak kehilangan banyak darah. Jadi bisakah jangan bertanya apa pun?"
"Syal ini sama dengan milikku. Aku yang merajutnya, yang satu kusimpan dan satu lagi kuberikan pada seseorang. Kau—"
"Ada banyak orang menjual syal bermotif bunga sakura. Jadi jelas ini bukan hasil rajutanmu."
"Huruf D ... for Diego."
Gerakan tangan Diego terhenti, matanya bertemu dengan mata cokelat Vanilla. Kemudian ia tersenyum sinis. "Dia lelaki yang kau sebut ketika kau mabuk. Jelas itu bukan aku."
"Darimana kau mendapatkannya?" tegas Vanilla sekali lagi.
"Aku menemukannya di lift hotel. Seseorang tidak sengaja menjatuhkannya." Diego mengikat ujung syal di lengan Vanilla. "Sebegitu pentingnya lelaki itu bagimu? Dia pergi tanpa mengucapkan kata perpisahan. Jika aku menjadi kau, aku sudah melupakannya karena ketika dia pergi dan tidak pernah kembali, artinya cintamu tidak berbalas. Mengingatnya hanya akan membuatmu tersakiti."
"Lelaki dingin sepertimu tidak akan pernah tahu arti ketulusan cinta yang sebenarnya."
"Seolah kau tahu segalanya?" Diego menyentuh dagu Vanilla dan sedikit menariknya. "Hei, Nona. Kau hanya gadis polos yang bahkan tidak pandai berciuman. Jangan pernah menganggap cinta sebagai sesuatu yang indah. Kau tidak tahu apa-apa soal cinta. Atau bahkan mungkin yang kau rasakan pada lelaki itu bukanlah cinta, tetapi obsesi. Sebuah rasa ketergantungan karena kau terlalu bergantung padanya dan takut kehilangannya."
"Aku percaya pada hatiku. Aku memang terlihat bodoh, tetapi instingku sudah terlatih untuk peka pada semua yang berada di sekitarku."
"Ya, kau terlalu peka, Nona," desis Diego sembari mendekatkan bibirnya ke telinga Vanilla. "Saking pekanya, tubuhmu gemetar ketika seorang lelaki berbisik di telingamu. Kau harus belajar lagi, Nona. Apakah yang kau rasakan itu benar cinta, atau hanya sekadar hawa nafsu."
Vanilla menahan napas. Ia kehilangan kata-kata. Bisikan di telinganya benar-benar membuat tubuhnya gemetar, bahkan sesaat ia melupakan rasa sakit di lengannya. Bahkan ketika Diego sudah menjauhkan tubuhnya dan kembali duduk di belakang kemudi, Vanilla masih belum bisa menetralkan detak jantungnya.
"Aku akan membawamu ke rumah sakit terdekat. Jangan membantah. Ingat, kesabaranku ada batasnya."
***
"Sudah selesai, Tuan. Semoga Nona Vanilla lekas sembuh." Suster membereskan peralatan medis, ia baru saja menjahit luka di lengan Vanilla dan membalutnya dengan kain kasa.
"Terima kasih, Sus," ucap Vanilla.
"Sama-sama." Suster keluar dari ruangan.
Vanilla turun dari ranjang, mengambil syal yang tergeletak di atas nakas. Meski sudah kotor oleh bercak darah, tetapi Vanilla berniat untuk menyimpannya, meski sang pemilik mungkin sudah membuangnya dan menganggap itu sebagai benda yang tidak berharga. Bagi Vanilla, benda itu menjadi saksi atas kisah indah yang terajut di antara mereka. Cinta yang tidak terbalas? Vanilla tidak mengharapkan balasan cinta. Ia cukup bersyukur, lelaki itu telah memberikan semangat hidup hingga Vanilla bisa bertahan hingga di detik ini.
Tanpa menoleh pada Diego yang berdiri di dekat sofa, Vanilla bersiap membuka pintu untuk meninggalkan ruangan. Namun, langkahnya terhenti saat Diego menahan pergelangan tangannya.
"Kita perlu bicara," kata Diego. Suaranya melembut, tidak sedingin ketika pertengkaran di antara mereka terjadi.
Vanilla mendongak, menatap malas Diego. "Kita sudah berakhir. Aku tidak ingin bekerja di bawah tekanan. Ah ya, mungkin pelacur seperti yang kau katakan, itu jauh lebih baik daripada aku harus gila karena menghadapi orang sepertimu."
"Baiklah, aku minta maaf. Tapi tolong jangan pernah datangi Nyonya Mawar. Masa depanmu akan hancur di tangannya."
"Apa aku punya pilihan? Sejak ibuku melahirkanku, aku bahkan sudah tidak memiliki masa depan. Jadi apa yang harus kutakutkan?"
"Jangan terlalu cepat mengambil keputusan. Kau sedang emosi. Tenangkan dirimu, aku akan mengantarmu pulang. Beristirahatlah selama satu minggu ke depan."
"Kau akan tetap mengurungku dan aku tidak menyukainya."
"Kau sedang terluka."
"Apa pedulimu?"
"Masih bertanya? Jika aku tidak peduli kenapa aku harus repot-repot menyelamatkanmu dan mempertaruhkan nyawaku." Diego menunjuk wajahnya yang memar karena pukulan salah sasaran.
"Aku tidak pernah memintamu menyelamatkanku." Vanilla menepis tangan Diego dan pergi meninggalkan lelaki itu.
"Kau memiliki list tempat yang ingin kau kunjungi bersama Ariel? Katakan padaku, aku akan membawamu ke tempat itu."
Langkah Vanilla kembali terhenti. Ia menoleh ke belakang. "Maaf, tidak bisa. Aku terlalu lelah. Berada di dekatmu sangat menguras energiku."
"One more chance. Last chance." Tatapan Diego melembut. "Jika aku menyakitimu lagi, maka aku akan membebaskanmu. Kalau perlu kita akan membuat perjanjian hitam di atas putih."
"Aku tidak tertarik pada tawaranmu. Aku akan menentukan jalan hidupku sendiri." Vanilla menggeleng dan melanjutkan langkahnya yang tertunda.
"Puncak bukit di dekat villa tempat asalmu." Kalimat Diego berhasil membuat tubuh Vanilla berdiri kaku di tempatnya. "Mau coba rasanya buah gooseberry langsung dari pohonnya?"
Vanilla mengerjap. Matanya berkaca-kaca. Ia menatap syal di tangannya. Bagaimana lelaki itu bisa tahu semuanya?
***
To be Continued
29 Oktober 2023
Yang mau baca duluan bisa ke KaryaKarsa ya 🥰🥰🥰
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro