PART 40
"Tuan Wilson! Lepas!" Vanilla memberontak, mencoba melepaskan diri, tetapi cengkeraman tangan Diego terlalu kuat.
Diego tidak menanggapi ucapan Vanilla, langkahnya semakin cepat hingga gadis itu terseok-seok mengikutinya. Tidak ada seorang pun yang berani menghentikannya.
"Masuk!" Diego mendorong tubuh Vanilla ke dalam mobil. "Tunggu aku di sini, aku akan berbicara dengan mereka. Jangan coba-coba pergi dari sini, ada bodyguard yang mengawasimu!"
Pintu mobil tertutup rapat, dua orang bodyguard memposisikan diri di samping kanan dan kiri mobil. Sementara Diego kembali melangkah cepat menuju ruangan VIP tempat Nyonya Mawar menunggu. Tentu saja Diego marah melihat Ariel membawa Diego ke hadapan Nyonya Mawar.
Mengaku sebagai teman lama ibu Vanilla? Omong kosong! Diego tahu benar siapa Nyonya Mawar. Pemilik rumah bordil. Jadi sudah jelas bukan, apa tujuan Vanilla dibawa ke sana.
Diego melayangkan tinjunya ke wajah Ariel hingga tubuh Ariel terjatuh ke lantai. "Beraninya kau membawa Vanilla pada wanita itu! Kau menjualnya, huh?"
Ariel menyeka darah di sudut bibirnya. Ia menyeringai. "Aku belum pernah melihatmu sepossesive ini pada seorang gadis, Diego! Kau mencintainya?"
"Bukan urusanmu!" Diego menarik kerah kemeja Ariel, bersiap menghajarnya lagi.
"Stop, Tuan Wilson. Bukankah kau ingin bicara denganku?" Nyonya Mawar menuang wine ke dalam sebuah gelas. "Pergilah, Ariel. Ini urusanku dengan Tuan Wilson."
Ariel menepis tangan Diego dengan kasar, kemudian pergi meninggalkan ruangan.
"Aku peringatkan padamu, Nyonya. Jauhi Vanilla. Berani menyentuhnya sedikit saja, aku akan menghabisimu," ucap Diego tegas.
"Duduklah, Tuan Wilson. Kita bisa berbicara baik-baik." Wanita berambut ikal itu menyesap cairan merah pekat di dalam gelasnya.
"Aku tidak berminat berdiskusi denganmu. Aku hanya ingin memberitahumu bahwa Vanilla sudah menandatangani kontrak kerja denganku. Dan selama itu, tidak ada seorang pun yang bisa mengusik hidupnya. Apalagi melibatkannya ke dalam bisnis kotor seperti milikmu."
Nyonya Mawar tertawa. Ia meletakkan gelas ke atas meja, kemudian menyilangkan sebelah kakinya. Mata sipitnya mengarah pada Diego. "Tuan Wilson. Kebetulan aku bisa berbicara empat mata denganmu. Bagaimana jika kita bercerita tentang masa lalu? Tentu saja, aku saksi hidup kejadian tragis itu. Dua puluh tahun yang lalu. Ketika ayahmu menjalin hubungan gelap dengan salah satu pelacur di rumah bordilku."
Diego menelan salivanya, ia benci berbicara tentang masa lalu. "Itu hanya masa lalu dan aku sudah menutup lembaran itu."
"Ah ya, masa lalu. Jika kau tidak peduli pada masa lalumu, apa kau juga tidak ingin tahu masa lalu gadis yang selalu kau lindungi itu?"
"Ketika aku membuka lembaran baru, maka tidak ada lagi yang namanya masa lalu. Entah itu tentangku, atau tentang siapa pun yang terhubung denganku."
"Jawaban yang cukup bagus, Tuan Wilson. Jadi kau memang benar-benar tidak tahu, atau kau memang menutup mata dan berpura-pura tidak tahu?"
"Kau tidak berhak ikut campur urusanku."
"Kau tahu tentang benang merah yang menjadi penghubung masa lalu kalian. Hanya karena ingin memiliki gadis itu, kau mengabaikan kematian tragis kedua orang tuamu? Kau pikir ibumu akan bahagia melihat putra tunggalnya mencintai seorang gadis putri dari wanita jalang yang sudah merebut suaminya?"
Diego mengepalkan kedua tangan. Tanpa sadar, cairan bening menetes dari matanya. Tolonglah, Diego tidak ingin mendengar apa pun! Ia sudah berusaha melenyapkan kebenciannya terhadap Vanilla, tetapi kenapa kini orang lain justru berusaha mencungkil ingatan Diego dan membuat dendamnya kembali membara?
"Aku masih mengingat dengan jelas ketika ayahmu datang padaku dan berkata dia menginginkan Nona Catherine. Dia berkata bahwa rumah tangganya sudah terasa hambar dan membosankan. Ayahmu sangat tampan, wanita mana yang tidak terpikat oleh kharismanya? Terlebih seorang wanita yang tidak memiliki harga diri seperti Nona Catherine. Jalang itu tidak hanya membutuhkan uang ayahmu, tetapi juga menginginkan tubuhnya."
Rahang Diego mengatup rapat, emosinya semakin memuncak. Diego tidak ingin mengingat pertengkaran kedua orang tuanya. Sedikit pun Diego tidak ingin mengingat bayangan Mama yang sedang menangis, tetapi wanita itu selalu tersenyum ketika Diego menghampirinya. Mama selalu menyembunyikan air mata, Mama tidak pernah ingin putranya tahu bahwa dia sedang terluka.
"Kau tentu tahu bagaimana Vanilla bisa terlahir ke dunia ini? Bayi yang terlahir tanpa seorang ayah, karena perbuatan lelaki tidak bertanggung jawab. Tapi belakangan ini aku baru tahu, ternyata sebelum meninggal lelaki itu meminta istri sahnya untuk merawat Vanilla. Dan istri sahnya menyembunyikan Vanilla karena wanita bodoh itu tahu, Tuan Gavin, kakekmu ingin membunuhnya. Ironis sekali, ternyata cucunya justru melindungi musuh keluarganya sendiri."
"Kau tidak berhak mengomentari kehidupan keluargaku," desis Diego. Matanya nyalang menghunjamkan amarah pada lawan bicaranya.
"Kau ingat pepatah buah jatuh tidak jauh dari pohonnya? Dia putri seorang pelacur, Tuan Wilson. Jika pernah terbersit dalam benakmu ingin menikahi gadis itu, maka kau harus ingat dua hal ini. Kakekmu ingin membunuhnya. Dan bagaimana seandainya publik tahu, seorang pengusaha ternama menikahi putri seorang pelacur."
"Shut up!" Diego melayangkan tinju ke wajah Nyonya Mawar, tetapi kepalan tangannya hanya mampu mengambang di udara. Setidaknya ia masih bisa menahan diri untuk tidak memukul seorang wanita.
"Kenapa berhenti?" Nyonya Mawar tersenyum sinis. "Pukul aku, Tuan Wilson. Aku hanya berbicara fakta tentang benang merah yang terhubung di antara kalian."
"Aku akan menganggap tidak mendengar apa pun, Nyonya," desis Diego. "Tetapi jika kau sampai berani mengatakan hal yang sama pada gadis itu, aku pastikan kau akan hancur di tanganku."
Diego melemparkan tatapan tajam pada Nyonya Mawar, kemudian lelaki itu membalikkan tubuh dan pergi meninggalkan ruangan itu.
"Dia putri seorang pelacur, Tuan Wilson!" seru Nyonya Mawar lagi. "Pelacur yang sudah membuat ibumu membunuh ayahmu dan membuat ibumu memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri!"
***
"Dia teman ibuku! Tidak seharusnya kau melarangku bertemu dengannya!" seru Vanilla begitu Diego masuk ke mobil dan duduk di belakang kemudi.
"Tutup mulutmu dan jangan bicara sepatah kata pun," desis Diego.
Vanilla tersenyum sinis. Ia menatap wajah Diego yang sudah memerah. "Kau marah? Seharusnya aku yang marah karena kau terlalu mencampuri urusan pribadiku."
Diego menginjak pedal gas, terburu-buru meninggalkan tempat parkir. Tentu saja Vanilla merasa kesal. Kenapa Diego bisa semarah itu, sedangkan seandainya terjadi hal buruk pada Vanilla pun, itu tidak akan merugikan Diego.
Oke, seharusnya kemarahan Diego saat ini sudah mereda karena Vanilla sudah berada di sampingnya. Tapi kenyataannya, Diego justru mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi. Vanilla sampai harus mencengkeram kursi mobil karena panik. Tangan Diego dengan lihai menggerakkan stir mobil, menyalip ke kanan dan ke kiri, bahkan menerobos lampu merah.
"Tuan Wilson! Berhenti!" seru Vanilla.
"Diam!"
"Kau ingin kita mati bersama di mobil ini?"
Mobil Diego berbelok ke sebuah arena lapang, melakukan manuver sebentar, kemudian berhenti tepat di tengah arena. Hening. Hanya terdengar napas yang memburu di antara keduanya.
"Kenapa kau selalu menyiksaku dengan caramu?" Vanilla menoleh pada Diego.
Diego mencengkeram kemudi mobil erat-erat. Mata elangnya memperlihatkan sorot kemarahan. "Karena aku membencimu." Suara Diego lirih tetapi penuh dengan penekanan.
Vanilla tertegun mendengar jawaban Diego. "Kenapa membenciku?"
"Aku tidak membutuhkan alasan untuk membenci seseorang."
Hening lagi. Diego mengalihkan tatapannya dari wajah sayu Vanilla. Matanya menatap ke depan, di mana segerombolan pemuda sedang berkumpul dengan botol-botol minuman keras di dekatnya. Daerah itu terkenal daerah rawan, seringkali terjadi tindak kriminal, termasuk tawuran antar kelompok pemuda.
Dari kaca spion, Diego melihat sekelompok pemuda di sisi yang lain. Tangan mereka memegang berbagai macam benda tajam. Sepertinya dua kelompok di sisi yang berlawanan tersebut merupakan rival yang sedang bentrok dan bersiap melakukan perkelahian. Ah, tidak seharusnya Diego menghentikan mobilnya di daerah itu.
"Membenciku tanpa alasan?" Vanilla tersenyum miris. "Lalu kenapa kau selalu menyelamatkanku? Kau juga melindungiku tanpa alasan?"
"Aku tidak pernah melindungimu!"
"Kalau begitu kenapa kau tidak memberikanku kebebasan? Apa hakmu melarangku bertemu dengan seseorang dari masa lalu ibuku? Kau takut aku memiliki orang lain yang akan melindungiku? Kau takut aku pergi dan kau tidak memiliki orang yang bisa kau permainkan seenaknya?"
"Jangan menguji kesabaranku, Nona!" Rahang Diego gemetar. "Diam atau aku akan menurunkanmu di tempat ini."
"Turunkan aku di sini! Aku akan kembali menemui Nyonya Mawar dan kau tidak bisa menghalangiku lagi!"
"Kau ingin menjadi seorang pelacur?"
Untuk kedua kalinya, Vanilla tertegun dengan ucapan Diego. "Apa aku memang sehina itu di matamu?"
Tatapan keduanya kembali bertemu. Dua pasang mata yang berkilat penuh amarah, seolah mereka sedang sama-sama menghunuskan pisau tajam yang akan mereka gunakan untuk menyakiti satu sama lain. Ya, mereka sama-sama terluka.
"Pergilah, dan jadilah seorang pelacur yang menghancurkan rumah tangga orang lain."
Cairan bening meleleh membasahi kedua pipi Vanilla. Gadis itu mengusap pipinya yang basah dengan kasar. "Sekalipun aku menjadi seorang pelacur, apa itu merugikanmu?"
"Turun! Aku tidak ingin melihat gadis rendahan sepertimu!"
"Terima kasih untuk malam ini, Tuan Wilson! Ini menyadarkanku seharusnya aku tidak pernah bekerja pada seseorang yang senang merendahkan orang lain! Aku sangat membencimu, dan aku harap setelah ini kita tidak akan pernah bertemu lagi!"
Setelah Vanilla turun dari mobil, Diego menginjak pedal gas. Mobil melaju kencang meninggalkan Vanilla yang tidak sadar bahwa dirinya telah terjebak di antara dua kelompok pemuda yang sedang berseteru. Dan Diego tidak peduli! Sekalipun Diego tahu kedua kelompok itu membawa senjata tajam, Diego akan berpura-pura tidak melihatnya.
Ah ya! Nyonya Mawar berhasil membuat kemarahan Diego berada di puncaknya. Dan Vanilla yang terus saja berbicara pada Diego membuat lelaki itu kehilangan akal sehatnya. Bara api yang dipercikkan Nyonya Mawar berhasil menyalakan api dendam yang selama ini berusaha Diego padamkan. Nyatanya, memang sudah saatnya di antara mereka saling menyakiti. Terluka oleh benang merah yang terlalu kencang mengikat keduanya.
Jika Vanilla menjadi korban atas perkelahian kedua kelompok di arena itu, maka Diego menjadi orang pertama yang akan tertawa mendengar berita kematiannya. Dendamnya terbalaskan, dan Diego akan terlepas dari beban.
Bukankah seharusnya begitu?
***
To be Continued
25 Oktober 2023
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro