Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PART 37

"Kau ingin tahu bagaimana rasanya berciuman? Aku akan menunjukkannya padamu dan kau tidak perlu berlari pada si Brengsek itu."

Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Diego. Tapi kenapa? Apa karena dia cemburu melihat kedekatan Vanilla dan Ariel sehingga dia ingin membuktikan tidak ada yang boleh menyentuh Vanilla kecuali Diego sendiri? Atau karena kerinduan yang selama ini dia rasakan sudah berada di puncaknya hingga ia tidak bisa menahannya lagi?

Tidak, Diego menganggap kedua pendapat tadi salah. Ia berkata seperti itu hanya untuk mengancam Vanilla agar gadis itu tidak kembali pada pelukan lelaki brengsek seperti Ariel. Ariel sangat berbahaya bagi Vanilla. Diego tidak ingin Vanilla dirusak lebih jauh lagi. Lihatlah bagaimana Ariel memaksa Vanilla untuk mencicipi alkohol. C'mon! Dulu Diego saja harus berpikir seribu kali ketika harus berjanji pada Vanilla untuk mengajaknya ke club.

Baiklah, kembali ke kedua alasan tadi. Diego sama sekali tidak memiliki rencana untuk mencium Vanilla. Tapi, ternyata semua berlalu begitu cepat. Begitu kedua tangan Diego menangkup wajah Vanilla, jantung lelaki itu berdetak kencang. Kedua pipi dengan rona merah itu entah kenapa selalu memiliki daya tarik yang luar biasa. Dan aroma alkohol yang diembuskan oleh bibir yang begitu ranum, diam-diam membangkitkan hasrat dalam diri Diego.

Diego yang sejak dulu selalu ingin mencecap manisnya bibir itu, tetapi Diego pula yang selalu bisa menahan diri untuk tetap menjaga kesucian gadis yang dicintainya. Tapi, malam ini terasa begitu berbeda. Bukankah Vanilla telah menunjukkan sisi liarnya? Gadis itu sendiri yang menginginkan sebuah ciuman. Lalu, untuk apa Diego harus menahan diri untuk kesekian kali?

Bukan Diego yang menginginkan, tetapi Vanilla yang meminta. Ya, anggap saja demikian. Hanya dalam hitungan detik, Diego merunduk dan mengecup bibir Vanilla. Sesaat gadis itu tersentak, selebihnya terdiam. Membiarkan Diego menyesap bibir ranumnya dan mencoba menikmati sensasi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Argh! Bibir yang begitu lembut itu terasa sangat manis dan menggairahkan. Diego hampir saja kehilangan kontrol, tetapi dengan sedikit kesadarannya, lelaki itu mengakhiri ciumannya yang hanya berlangsung selama beberapa detik.

Diego menjauhkan wajahnya dari Vanilla, kemudian mengusap bibir basah gadis itu dengan ibu jarinya. Tubuh Vanilla terlihat gemetar, dadanya naik turun seiring napasnya yang memburu.

"Itu yang sebut dengan ciuman? Jika iya, ciumanmu ... mengingatkanku pada seseorang," lirih Vanilla. "Tiga tahun yang lalu."

"Kau mabuk, Nona. Jangan berpikir yang aneh-aneh."

Mata sayu Vanilla menatap Diego. "Dia menciumku untuk menyelamatkanku. Tapi ... akhirnya dia justru pergi meninggalkanku."

"Jangan bicara apa pun, aku sama sekali tidak tertarik pada masa lalumu." Diego membuka pintu mobil dan mendorong Vanilla masuk ke dalamnya.

"Dia pergi tanpa mengucapkan perpisahan padaku. Berhari-hari aku menunggunya tapi dia tidak pernah datang."

Diego menahan napas, penantian itu pasti sangat menyakitkan Vanilla. "Hentikan ocehanmu, aku tidak ingin mendengarnya lagi."

Diego menutup pintu dan setengah berlari mengitari bagian depan mobil, kemudian duduk di balik kemudi. Ia menyempatkan diri memasang sabuk pengaman di tubuh Vanilla. Dan Vanilla masih tidak berhenti meracau.

"Dia jahat. Jika dia pergi karena ingin menikah dengan wanita lain, setidaknya katakanlah padaku. Apa semua lelaki memang sejahat itu?"

"Tidak semua. Tapi setidaknya kau mendapatkan sebuah pelajaran agar jangan mudah mempercayai orang lain. Karena tidak menutup kemungkinan jika orang yang kau percayai adalah seseorang yang akan menusukmu dari belakang."

"Menurutmu begitu? Ah, kepalaku sangat pusing. Hei! Kau lihat bintang-bintang di jalanan itu? Bisakah kau ambilkan satu untukku?" Telunjuk Vanilla mengarah pada deretan mobil yang terparkir dengan rapi.

"Tidurlah, aku akan mengantarmu pulang ke apartemen."

Vanilla mengerucutkan bibirnya. "Ya, tapi bisakah kau menciumku lagi? Rasanya menyenangkan sekali karena dia kembali hadir ke dalam hidupku. Yaaa ... sepertinya kelopak mataku terasa sangat ... berat ...."

Hening. Kepala Vanilla terkulai lemah, pertanda jika dia sudah tertidur. Diego mengatur posisi sandaran kursi mobil, sehingga Vanilla bisa berbaring dengan nyaman di tempatnya. Sekilas, Diego melirik wajah cantik yang kini sudah terlelap.

Diego menghela napas. Jika menginginkannya, ia bisa saja mencium gadis itu lagi sesuai permintaannya. Tapi tidak, Diego tidak ingin terlibat terlalu jauh lagi dengan Vanilla. Meski gadis itu sedang mabuk dan kemungkinan besar besok pagi dia tidak akan mengingat apa pun yang sudah Diego lakukan. Tidak. Diego tidak ingin mengambil resiko. Awalnya memang hanya berciuman, tetapi ia jelas seorang lelaki yang akan dengan mudah terpancing gairahnya ketika berciuman dengan seorang gadis.

Akhirnya, Diego mengalihkan fokus pandangannya ke depan. Anggaplah tidak ada siapa pun di sisinya. Diego akan mengantarkan Vanilla pulang ke apartemen, dan besok dia akan memarahi gadis itu karena sudah berani keluar tanpa izin, terlebih ke tempat yang berbahaya baginya.

***

Ariel duduk di meja bar, mengompres wajahnya yang membiru dengan kain berisi batu es. Pukulan Diego sangat keras, dan sialnya saat itu Ariel sedang tidak ingin terlibat perkelahian di hadapan Vanilla. Ia terpaksa mengalah. Ariel tidak ingin mengambil resiko jika berduel dengan Diego, ia takut Vanilla yang sudah hampir kehilangan kesadarannya terpisah di antara kerumunan pengunjung yang lain.

"Aku melihatnya, Tuan Ariel." Seorang wanita setengah baya menghampirinya, mengembuskan kepulan asap rokok di hadapan Ariel. Orang-orang terbiasa memanggilnya Nyonya Mawar, seorang pemilik rumah bordil di ibu kota. "Gadis yang datang bersamamu sangat muda dan cantik. Pantas saja kau mengabaikan anak-anakku."

"Dia?" Ariel tertawa. "Dia salah satu karyawan hotel. Dan kami hanya berteman."

"Aku mendengar kau menyebut namanya. Vanilla. Nama yang cantik."

Ariel mengerutkan dahi. "Jangan katakan kau tertarik padanya, Nyonya. Dia gadis baik-baik yang tidak mungkin berminat bekerja di tempatmu."

"Akan ada banyak lelaki yang tertarik kepadanya. Tapi tenang saja, aku tidak mungkin menjadikannya anak buahku. Hanya saja ..." Nyonya Mawar kembali mengembuskan asap rokok, "Aku tertarik pada latar belakang kehidupannya."

"Why?"

"Dia mirip dengan seseorang yang aku kenal di masa lalu."

"Demi Tuhan aku tidak akan mengizinkanmu menyentuhnya, Nyonya. Dia gadis baik-baik. Dan kau lihat siapa backingan-nya? Berani macam-macam dengannya, kau akan berhadapan dengan cucu Tuan Gavin."

"Cari tahu siapa nama ibu kandungnya. Sebagai imbalannya, kau boleh memilih wanita manapun yang kau sukai di tempatku. For free."

Ariel menggigit bibirnya, tatapannya mengarah pada wanita berambut ikal di hadapannya. Tawaran Nyonya Mawar sangat menggiurkan. "Hanya nama ibu kandungnya?"

"Tawaranku tidak akan kuulang dua kali, Tuan. Nama ibu kandungnya, atau foto masa kecilnya bersama ibu kandungnya."

"Deal!" Ariel mengulurkan tangannya, berjabat tangan dengan Nyonya Mawar sebagai tanda mereka saling sepakat.

***

Diego menggendong Vanilla ala bridal style, membawa gadis itu ke dalam kamarnya. Sejak turun dari mobil tadi, gadis itu terus saja meracau. Ia benar-benar sudah berada di bawah pengaruh alkohol. Terkadang matanya terbuka, dan sesekali kembali mengoceh dengan mata terpejam.

Dengan hati-hati, Diego membaringkan tubuh Vanilla di atas ranjang. Ia melepaskan sepatu kets yang terpasang di kaki Vanilla. Ketika tangannya ingin menarik selimut, Vanilla sudah terlebih dulu membuka mata dan menahan tangan Diego.

"Tuan Wilson, kau tahu kenapa aku pergi ke club?"

"Aku tidak mau tahu alasanmu."

"Dia pernah mengajakku ke sana, tapi dia mengingkari janjinya." Vanilla menatap Diego dengan mata sayunya.

Diego berdecak. "Sejak tadi kau tidak pernah berhenti membicarakannya. Apa tidak ada topik pembicaraan lain?"

"Dia juga berjanji akan mengajakku ke puncak bukit. Tapi dia pergi sebelum menepati janjinya."

Diego menyugar rambutnya kesal. Vanilla terus saja mengingatkan kenangan manis mereka. "Berhenti meracau, Vanilla. Berapa kali harus kukatakan, aku tidak tertarik mendengarnya!"

"Satu hal yang paling membuatku kecewa. Aku ingin dia menjadi orang pertama yang aku lihat dengan kedua mataku. Tapi hari itu, dia tidak untuk datang menepati janjinya. Dia jahat, ya?"

Cukup! Diego tidak ingin mendengar apa pun lagi. Ia memutuskan untuk pergi dari kamar ini. Namun, baru selangkah berjalan, kalimat Vanilla kembali menahan gerakannya.

"Tuan Wilson, aku merindukan lelaki itu. Aku ... mencintainya."

Diego membalikkan tubuhnya. Mata hitamnya beradu pandang dengan mata cokelat milik Vanilla. Mata gadis itu sudah berkaca-kaca, cairan bening menetes membasahi wajahnya.

Aku juga merindukanmu, Vanilla! Sangat merindukanmu!

Diego bergerak cepat menghampiri Vanilla. Tubuh tinggi tegapnya merunduk dan kembali mencium bibir ranum Vanilla. Menyalurkan kerinduan yang selama ini tertahan jauh di lubuk hatinya.

***
To be Continued
08 Oktober 2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro