Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PART 35

Anniversary perusahaan diselenggarakan di ballroom hotel. Acara cukup mewah dengan black and white yang dipadukan dengan tatanan buket-buket bunga di segala penjuru. Puluhan tamu undangan datang dengan mengenakan warna pakaian sesuai konsep.

Setelah Tuan Gavin memberikan sambutan dilanjutkan dengan acara potong kue, lampu di ballroom disetting redup. Seorang lelaki bersiap duduk di depan meja piano, sementara seorang gadis muda berdiri di tengah panggung dengan sebuah biola di tangannya.

Diego mengambil posisi agak jauh dari panggung, tetapi dengan jangkauan pandang yang cukup untuk mengawasi gadis pemain biola di depan sana. Yah, bagaimanapun juga Diego merindukan masa-masa ia bisa memandang berlian di dalam kotak kaca yang sedang memainkan melodi sendunya. Dan berlian yang selama ini tersembunyi di dalam gua itu pada akhirnya muncul ke permukaan. Bersinar dengan indahnya dengan puluhan pasang mata yang mengaguminya.

Lampu sorot mengarah pada pemain piano, lalu lelaki itu mulai memainkan intro. Diego tidak tahu instrument apa yang sedang dimainkan, tetapi ia yakin dentingan dari piano itu akan berkolaborasi apik dengan melodi yang akan dimainkan Vanilla.

Kali ini lampu sorot berpindah pada Vanilla, tepat ketika ia mulai menggesekkan bow pada senar biola. Tepuk tangan gemuruh mengiringi instrument biola merdu yang berkolaborasi dengan dentingan piano. Seluruh mata tertuju pada gadis cantik serupa bidadari. Gaun putih yang melekat di tubuhnya sangat serasi dengan rambut panjang yang tergerai di punggungnya

Gadis itu istimewa. Ya, Diego sudah mengakui hal itu sejak pertama kali melihat Vanilla dari kejauhan. Dan untuk kesekian kali, irama merdu itu serupa pisau yang mancabik-cabik hatinya. Menyakitkan? Tentu saja. Alunan melodi itu selalu mengingatkan Diego pada pertemuan pertamanya dengan Vanilla, termasuk dengan masa lalu mereka yang saling terhubung.

Rupanya, Vanilla menyadari kehadiran Diego di tempat itu. Ketika matanya sibuk berkeliling untuk berinteraksi dengan para tamu undangan, pada akhirnya mata Vanilla terpaku pada sosok lelaki yang sedang menatapnya dengan tajam. Tatapan yang tiba-tiba jantung Vanilla berdetak kencang.

Oh, astaga! Perasaan macam apa ini? Setelah sikap manis Diego beberapa hari yang lalu, apa itu membuat Vanilla mulai terpikat padanya? Tidak bisa! Jangan sampai Vanilla jatuh cinta pada lelaki angkuh seperti Tuan Wilson! Lagipula sikap manis lelaki itu hanya untuk sesaat. Karena keesokan harinya, Diego kembali bersikap dingin pada Vanilla.

Vanilla berusaha menghalau perasaan aneh yang menyapa hatinya. Ia berusaha mengalihkannya pada tamu undangan yang lain, tetapi entah kenapa malam ini Tuan Wilson serupa magnet yang membuat Vanilla ingin terus membalas tatapan mata elang lelaki itu.

Ah, sejak awal Vanilla juga merasa aneh dengan tatapan lelaki itu. Seperti ada kebencian yang tersirat dalam tatapannya, tetapi di detik yang lain berubah menjadi tatapan lembut yang menenangkan. Seolah Tuan Wilson memiliki 2 kepribadian yang berbeda.

Vanilla berusaha menenangkan diri. Ia tidak ingin pertunjukannya buruk hanya karena tatapan aneh lelaki itu. Ia memejamkan mata dan fokus pada gerakan tangannya. Sialnya, ia justru terbawa pada masa-masa 3 tahun yang lalu. Ketika ia selalu memainkan biola untuk seseorang yang mengajarkannya banyak hal. Tentang kebebasan, tentang keindahan, dan tentang ... cinta. Lalu, lelaki itu pula yang membuatnya mengerti bagaimana sakitnya ditinggalkan tanpa kata perpisahan.

Vanilla semakin semangat memainkan biolanya. Mengekspresikan kekecewaan, kemarahan, dan kebencian. Semuanya berpadu menjadi satu. Yang pada akhirnya membuat ia tersadar, hidup tidak selalu berbicara tentang keindahan.

Gerakan tangan Vanilla melemah, seiring dengan instrument yang selesai ia mainkan. Tepuk tangan gemuruh kembali terdengar. Vanilla membuka matanya, dan ia kembali beradu pandang dengan Diego. Di detik itulah sebuah bayangan melintas di dalam benaknya. Tuan Wilson ... adalah orang pertama yang Vanilla lihat ketika suster baru saja membuka perban di matanya. Di rumah sakit. Tatapan tajam yang sama seperti kali ini.

Vanilla tersentak dari lamunannya ketika seseorang menyentuh pundaknya. Pemain piano yang berkolaborasi dengannya mengajak membungkuk hormat pada tamu undangan. Lalu, mereka pun turun dari panggung.

"Pertunjukan yang bagus, Nona Vanilla. Terima kasih sudah bersedia menjadi salah satu bintang tamu di acara ini." Tuan Gavin dan Ariel menghampirinya.

"Saya yang seharusnya berterima kasih atas undangannya. Sebuah kebanggaan tersendiri bisa hadir di antara orang-orang hebat di tempat ini." Vanilla tersenyum lembut.

"Nah, silakan nikmati jamuan yang kami sediakan. Aku harus menemui tamu-tamuku yang lain."

"Baik, Tuan Gavin. Sekali lagi terima kasih."

Sepeninggal Tuan Gavin, Ariel menyodorkan segelas minuman pada Vanilla. "Orange juice."

"Thanks." Vanilla menerima gelas dari tangan Ariel.

Kali ini Vanilla tidak perlu takut lagi untuk berinteraksi dengan orang lain, karena ia sudah membicarakannya dengan Tuan Gavin dan Tuan Wilson. Vanilla sempat terkejut ketika mengetahui ternyata Tuan Gavin adalah kakek Tuan Wilson. Cucu kurang ajar, bisa-bisanya dulu Tuan Wilson berkata pada Vanilla bahwa Tuan Gavin adalah lelaki tua yang senang berkencan dengan para gadis.

"Bagaimana? Kau mulai nyaman tinggal di kota?" tanya Ariel.

"Ya, orang-orang baik seperti kalian membuatku merasa nyaman di kota. Meski kadang aku merindukan udara bersih di tempat asalku. Tetapi it's okay. Aku bisa beradaptasi dengan cepat."

"Kau baru kali ini tinggal di kota besar?"

"Menetap dalam waktu yang lama, ya. Baru kali ini. Tetapi dulu aku memiliki seorang teman yang beberapa kali mengajakku berjalan-jalan di kota ini."

"Oh ya? Sekarang kau juga masih sering bertemu dengannya."

Vanilla menggeleng. "Aku bahkan tidak tahu keberadaannya saat ini. Sudah 3 tahun kami tidak pernah bertemu lagi."

"Wah, sayang sekali."

"Ya, padahal masih ada beberapa list tempat yang akan kita kunjungi. Tapi dia malah pergi dan tidak pernah memberi kabar lagi."

"Aku punya ide. Bagaimana jika aku yang menggantikan temanmu? Maksudku, aku akan menemani ke tempat yang ada di dalam list itu."

"Serius?" Mata Vanilla nampak berbinar indah.

"Tentu. Dengan senang hati aku akan menemanimu. Jadi, tempat mana yang dulu ingin kalian kunjungi."

"Club. Dia pernah berjanji ingin mengajakku ke club. Tapi dia sudah terlebih dulu menghilang sebelum kami sempat ke sana."

"Kebetulan malam Minggu besok aku tidak ada acara. Aku bisa menemanimu ke sana."

"Sungguh?" Vanilla tersenyum lebar.

"Aku akan meneleponmu besok. Sepertinya sekarang aku harus menjaga jarak denganmu. Ada singa liar yang sejak tadi ingin menerkamku karena berani mendekatimu."

"Singa liar?"

"Tuan Wilson mengawasi kita."

Vanilla menoleh ke arah Diego. Lelaki itu masih berdiri tegak di tempatnya. Padahal kemarin Tuan Gavin sudah memperingatkan Diego untuk memberikan kebebasan pada Vanilla. Tapi rupanya lelaki itu enggan melepaskan tali kekang yang mengikat Vanilla. Oh, astaga! Menyebalkan.

"Baiklah. Sampai jumpa nanti malam Minggu. Terima kasih sebelumnya, Tuan Ariel."

"You are welcome."

Vanilla menyesap orange juice di gelasnya. Perpaduan rasa manis dan sedikit asam menyegarkan tenggorokannya. Penampilannya malam ini agak berbeda dari biasanya, di mana dia harus tampil apik di hadapan orang-orang hebat. Menegangkan, terlebih dengan tatapan tajam dari Diego. Tatapan aneh yang sulit untuk dimengerti.

"Merencanakan sesuatu dengan Ariel?"

Vanilla berjengit mendengar suara Diego yang tiba-tiba saja berdiri di sampingnya. "Tidak ada rencana apa pun. Kami hanya mengobrol biasa."

"Jangan berbuat macam-macam. Ingat, aku mengawasimu."

"Oh ya, sebenarnya ada yang ingin aku tanyakan. Apa sebelumnya kita pernah bertemu di rumah sakit?"

"Kita pertama kali bertemu di live music hotel. Lagipula belakangan ini aku tidak pernah pergi ke rumah sakit. Mana mungkin aku bertemu denganmu di tempat itu."

"Bukan belakangan ini, tetapi tiga tahun yang lalu. Tentu saja aku mengingatnya dengan jelas. Kau orang pertama yang aku lihat. Saat itu kau berdiri di luar kamar rawat inap dan berdiri mengawasiku."

"Apa untungnya aku mengawasi orang asing sepertimu?" Diego menyugar rambutnya. "Jadi jangan mengada-ada. Kalaupun benar aku ada di rumah sakit yang sama denganmu, maka aku lebih memilih untuk mengawasi pasien-pasien yang cantik dibanding harus sibuk berdiri di depan kamarmu."

"Oh, syukurlah kalau itu bukan dirimu. Karena memang bukan kau orang pertama yang ingin aku lihat ketika pertama kali membuka mata. Aku mengharapkan orang lain yang berada di hadapanku saat itu."

"Orang lain? Kekasihmu?"

"Bukan. Seseorang yang istimewa di dalam hidupku."

"Kau mencintainya?"

Vanilla mengerutkan dahi, ia mendongak dan menatap wajah lelaki di sampingnya. "Maaf, itu privasi yang tidak seharusnya aku ceritakan pada orang asing."

"Kalau begitu jangan pernah melibatkanku ke dalam kisah hidupmu. Apalagi sampai berpikir aku orang yang berada di depan kamar rawat inapmu saat itu," dengus Diego.

"Oke, aku pastikan saat itu aku sedang berhalusinasi dan melihat orang yang kebetulan mirip denganmu."

"Nah, begitu lebih baik. Aku orang sibuk yang tidak akan mungkin melakukan pekerjaan sia-sia seperti mengawasi pasien rumah sakit."

"Ya, lagipula pasien rumah sakit mana yang mengharapkan kedatanganmu. Bukannya sembuh, kehadiranmu justru akan memperparah sakit mereka." Vanilla mencebikkan bibir.

Sebelum perdebatan itu berlanjut, Vanilla lebih memilih mengalah dan pergi menjauh dari Diego. Sekali lagi ditatapnya Diego dari kejauhan. Mata mereka bertemu. Terkunci dalam sebuah pandangan yang membuat Vanilla semakin merasa yakin jika Tuan Wilson adalah orang yang sama dengan lelaki di rumah sakit saat itu. Entahlah, kehidupan memang memiliki banyak sekali rahasia.

🎻🎻🎻

To be Continued
28 September 2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro