PART 34
"Tuan Muda, Nona Vanilla menangis." Pedro melaporkan keadaan Vanilla melalui ponsel.
"Dia menangis karena tadi aku memarahinya?"
"Bukan. Nona Vanilla bertengkar dengan ibu tirinya."
"Shit!" Diego mematikan ujung rokok di dalam asbak. "Di mana dia sekarang?"
"Saya sudah mengantarnya ke apartemen. Saya merekam pertengkaran mereka, jika Anda berminat saya bisa mengirim file rekamannya pada Anda."
"Kirim file itu sekarang."
"Baik, Tuan Muda. Anda butuh bantuan lain? Apa perlu saya menyusul Nona Vanilla ke atas untuk memastikan dia baik-baik saja?"
"Tidak usah. Kau bisa pulang sekarang."
"Oke, terima kasih Tuan Muda. Saya hanya ingin sedikit berpesan pada Anda. Jangan terlalu keras pada Nona Vanilla, mungkin saja saat ini dia sedang berada di titik terbawah dalam hidupnya."
"Jangan mengajariku. Cepat kirim file-nya sekarang."
Diego mematikan sambungan telepon. Hanya membutuhkan waktu beberapa detik, file berisi rekaman pertengkaran Vanilla dengan Nyonya Kenanga masuk ke ponselnya. Diego mengepalkan tangan. Ada luka yang tersirat dalam suara Vanilla.
Tentu saja. Masa lalu itu memang akan selalu menyakitkan bagi mereka. Dan wanita jalang itu adalah tokoh antagonis yang menghancurkan banyak kehidupan. Lalu putrinya yang tidak bersalah, menjadi pelampiasan dendam orang-orang yang merasa tersakiti. Termasuk Diego yang ingin menuntut balas atas kematian kedua orang tuanya.
Seharusnya Diego senang mendengar Vanilla menangis dan hancur malam ini! Tapi, lagi-lagi ada sisi lain dalam dirinya yang mencemaskan keadaan gadis itu. Diego bergegas menyambar jas hitam yang tersampir di punggung kursi, kemudian setengah berlari meninggalkan kamar hotel. Pergi ke apartemen Vanilla untuk memastikan gadis itu baik-baik saja.
🎻🎻🎻
Masih beranikah Diego menyangkal perasaan cinta di hatinya? Lihat bagaimana lelaki itu selalu mencemaskan keadaan Vanilla. Apa dia masih ingin membalaskan dendamnya? Sekalipun dia gagal melupakan masa lalunya yang menyakitkan, tetapi tidak bisa dipungkiri jika cinta telah mengalahkan dendamnya. Meski Diego butuh waktu untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa Vanilla tidak sepantasnya mendapatkan hukuman atas kesalahan ibunya.
Oke, lupakan semua tentang masa lalu untuk sesaat. Diego sudah berada di depan pintu apartemen Vanilla dan tidak tahu harus memberikan jawaban apa seandainya Vanilla mempertanyakan alasan yang membuat Diego berkunjung selarut ini.
Diego harus menekan bel berkali-kali sampai akhirnya pintu terbuka. Vanilla muncul dengan tubuh yang terbalut piyama panjang bermotif teddy bear. Hidungnya memerah, dan matanya yang sembab enggan menatap Diego.
"Pergilah, aku sedang tidak ingin menemui siapa pun," ucap Vanilla lirih.
"Kau menangis?"
"Aish, kenapa Tuan Pedro melapor padamu?" Vanilla mendengus. "Aku baik-baik saja, jadi kau tidak perlu mencemaskanku."
"Mencemaskanmu? Kau terlalu percaya diri. Aku sama sekali tidak mencemaskanmu, tetapi lebih mencemaskan reputasiku. Membiarkanmu sendirian dalam kondisi seperti itu, aku tidak ingin mengambil resiko jika besok pagi muncul berita tentang seorang gadis meloncat dari balkon apartemen, diduga karena depresi. Jika itu sampai terjadi, maka aku akan menjadi orang pertama yang diinterogasi polisi. Kondisi terburuknya aku dijadikan tersangka dan reputasiku akan hancur saat itu juga."
"Tolonglah, Tuan Wilson. Aku sedang tidak ingin berdebat denganmu. Aku sedang lelah dan ingin beristirahat." Vanilla bergerak menutup pintu, tetapi Diego cepat-cepat menyelinap masuk.
"Aku tidak butuh izinmu untuk masuk ke apartemenku sendiri." Diego meletakkan sebuah paper bag di atas meja, lalu duduk dengan angkuh di sofa. "Kata orang, makan cokelat bisa sedikit mengurangi stress. Aku membawakannya untukmu. Makanlah."
"Aku tidak nafsu makan."
"Keras kepala." Diego menghampiri Vanilla dan menarik tubuh gadis itu agar duduk di sampingnya. "Dengar, Nona! Pada dasarnya manusia tidak bisa hidup sendiri. Ada satu titik di mana dia membutuhkan orang lain untuk berbagi kesedihan. Saat ini hanya ada aku yang ada di dekatmu, maka jika kau ingin meluapkan rasa sakitmu, kau boleh menangis dan aku akan meminjamkan pundakku."
Vanilla menoleh pada Diego, tepat ketika lelaki itu juga sedang menatapnya. Vanilla hampir tidak mempercayai ini. Lelaki angkuh tiba-tiba melembutkan suaranya. Bahkan meminjamkan pundaknya untuk Vanilla bersandar.
"Menangislah, itu akan membuatmu merasa lega." Diego menepuk pundak kanannya, memberikan isyarat agar Vanilla bersandar di sana.
Vanilla tidak mempunyai pilihan lain. Sejujurnya, dia memang membutuhkan seseorang untuk membagi kesedihannya.
"Hidup memang tidak seindah dalam dunia dongeng, Nona. Yang mana pangeran akan datang untuk menyelamatkan sang putri dan mereka akan bahagia selamanya. Kau memiliki dua pilihan. Menanggung bebanmu seorang diri, atau membaginya dengan orang lain."
Vanilla menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan tangis. Tapi deretan kalimat Diego justru membuat kesedihannya semakin memuncak. Akhirnya tangisnya pecah lagi. Diego dengan hati-hati menyentuh kepala Vanilla dan membuat gadis itu bersandar di bahunya.
Diego tidak mengatakan apa pun lagi. Lelaki itu terdiam, mendengarkan tangisan pilu dari gadis yang sedang terluka oleh orang-orang di sekitarnya. Dan itu mengingatkan Diego pada malam saat mereka terakhir kali bersama. Rasa sakit yang sama, tetapi situasi yang berbeda.
Dulu, Diego yang memeluk Vanilla erat-erat dan menenangkan gadis itu. Tapi kini, Diego haru bisa mematung di tempatnya. Ah, ternyata rasanya begitu menyesakkan dada. Bagaimana rasanya ketika kau dipertemukan dengan orang yang kau cintai, tetapi dia tidak lagi mengenalimu? Seseorang yang dulu begitu dekat denganmu, kini beralih menjadi orang asing. Tapi, bukankah situasi itu yang sengaja diciptakan Diego?
Argh! Sialan! Kenapa Diego harus datang ke tempat ini dan menawarkan pundaknya untuk bersandar? Sekarang dia terjebak pada rasa masa lalu. Diego yang ingin selalu mendekap tubuh Vanilla dan mengatakan padanya bahwa semua akan baik-baik saja. Kenyataannya Diego seperti pecundang yang mengingkari janjinya pada gadis yang pernah menggantungkan harapan padanya.
Diego mengepalkan kedua tangan, berusaha menahan diri agar tidak lepas kendali. Sebisa mungkin meyakinkan dirinya bahwa dia tidak ingin mencintai Vanilla, dan dia tidak akan pernah lagi memeluk gadis itu. Diego membencinya! Diego membencinya!
Gadis itu menangis cukup lama, dan Diego sama sekali tidak mengucapkan kalimat-kalimat untuk menenangkannya. Sampai gadis itu berhenti menangis, Diego masih juga terdiam. Membiarkan Vanilla tetap bersandar di pundaknya tanpa berniat meminta gadis itu menyingkir dari dekatnya.
Sampai di satu waktu, tubuh Vanilla terasa rileks. Napasnya menderu teratur. Diego melirik dengan ujung matanya dan mendapati gadis itu sudah tertidur. Menangis cukup melelahkan, bukan?
Baiklah, Diego tidak bisa lagi berpura-pura untuk tetap membenci Vanilla. Melihatnya terlelap, ada rasa tidak tega dan akhirnya dengan hati-hati Diego mengangkat tubuh Vanilla dan membawanya ke kamar. Dibaringkannya gadis itu di atas ranjang.
Sesaat Diego bergeming di sisi ranjang, ditatapnya mata Vanilla yang sedang terpejam. Ia menghela napas berat, kemudian menarik selimut untuk menutupi tubuh gadis itu hingga sebatas dada.
"Berkelahi dengan masa lalu memang tidak mudah, bukan? Kau lelah? Beristirahatlah. Kau perlu memulihkan tenaga untuk kembali berjuang melawan kerasnya dunia." Hening sesaat, sebelum akhirnya terdengar langkah kaki dan suara pintu yang tertutup rapat. Diego sudah meninggalkan kamar.
Vanilla membuka mata. Ia tidak sepenuhnya terlelap. Ia terbangun ketika merasakan kakinya terayun dan merasakan lengan kekar mendekap tubuhnya, menggendongnya untuk kemudian membaringkan di atas ranjang. Rupanya, Tuan Wilson tidak sejahat yang Vanilla pikirkan.
Tidak. Ketika batinnya sibuk berkecamuk mengenang masa lalu, Vanilla juga terkenang pada hal lain. Ketika Tuan Wilson bersikap lembut, itu mengingatkan Vanilla pada seseorang. Tiga tahun yang lalu. Seorang lelaki yang hadir dalam kehidupan Vanilla.
Lelaki pertama yang mendekap tubuh Vanilla dan selalu berjanji akan melindunginya. Lelaki yang selalu menghapus air mata Vanilla. Lelaki yang selalu membuat Vanilla tersenyum bahagia dan melupakan rasa sedihnya. Lelaki yang selalu meyakinkan Vanilla bahwa semua akan baik-baik saja. Lelaki yang membuat jantung Vanilla berdetak kencang saat berdekatan dengannya. Dan lelaki yang pada akhirnya meninggalkannya tanpa kalimat perpisahan.
Di saat Vanilla perlahan bisa melupakan sosok lelaki itu, malam ini Tuan Wilson seolah mengembalikan memory tentang Diego. Kelembutannya. Perhatiannya. Suaranya yang menenangkan meski masih ada kesan dingin dalam deretan kalimat yang diucapkannya.
Vanilla menarik napas panjang. Kerinduan yang tidak pernah berujung itu akhirnya datang lagi. Rindu yang akan menyiksanya sepanjang malam. Ah, betapa menyakitkannya cinta tak terbalas. Dan betapa menyedihkannya ditinggalkan tanpa kata perpisahan.
🎻🎻🎻
To be Continued
22 September 2023
Di KaryaKarsa sudah mau tamat ya.. Yang mau baca duluan bisa cek ke sana
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro