Part 23
Instrumen biola mengalun merdu ke segala penjuru. Nada-nada sendu itu mewakili kerinduan seorang gadis pada satu-satunya lelaki yang mampu membuat debaran aneh dan sensasi asing ketika mereka saling berdekatan.
Vanilla menghentikan gerakan tangannya. Ia menghela napas kasar, lalu duduk di bangku taman. Hampir setiap pagi dan sore hari Vanilla memainkan biola, berharap alunan merdu itu mampu memanggil Diego agar datang seperti waktu mereka pertama kali bertemu.
Namun, sepertinya semua sia-sia. Hampir sebulan sejak Diego mengajaknya ke pantai, lelaki itu tidak pernah datang lagi. Pergi tanpa kalimat perpisahan. Diego bagai menghilang ditelan bumi. Bahkan ketika Vanilla menyuruh Tuan Ramon mencarinya, Tuan Ramon tidak menemukannya. Apartemennya kosong, begitu pula dengan studio photo milik Diego. Tidak ada seorang pun yang tahu ke mana Diego pergi.
"Nona Vanilla," panggil Tuan Ramon yang sejak tadi mengawasi Vanilla, menunggu gadis itu selesai memainkan melodinya.
"Ya." Vanilla meletakkan biola di atas pangkuannya.
"Nyonya Kenanga akan pergi ke luar negeri selama 2 minggu. Kita bisa memanfaatkan kesempatan ini untuk ke rumah sakit dan melakukan operasi."
"Tidak bisa, aku harus menunggu Diego. Aku ingin dia berada di sampingku ketika aku membuka mata nanti."
"Kita bahkan tidak pernah tahu apakah Tuan Diego akan datang ke sini lagi atau tidak. Mungkin saja dia sudah kembali ke Chicago. Kita tidak bisa mengharapkan apa pun."
"Diego tidak pernah mengucapkan perpisahan. Aku yakin dia pasti akan datang ke sini lagi."
"Tapi kita tidak bisa menunggu lama. Ini satu-satunya kesempatan kau bisa melakukan operasi dengan aman."
"Aku harus menunggu Diego, Tuan Ramon!" tegas Vanilla. Suaranya mulai terdengar serak, pertanda sedang menahan sesak di dadanya.
"Terakhir kali Tuan Diego mengantarmu ke sini, dia berpesan agar operasi dilakukan secepatnya. Dan dia juga memintaku agar memastikan operasinya berjalan lancar sampai kau bisa melihat dengan kedua matamu."
"Pergilah, aku ingin sendiri."
"Baik, Nona. Tolong dipikirkan lagi. Ada ataupun tidak ada Tuan Diego, operasi itu harus tetap dilakukan, setidaknya itu pesan yang saya tangkap dari kalimat Tuan Diego. Aku pergi sekarang."
Terdengar suara langkah kaki dan ranting-ranting kecil yang terinjak, pertanda Tuan Ramon sudah pergi. Meninggalkan Vanilla yang kembali termenung seorang diri.
Kenapa lelaki itu harus datang jika pada akhirnya pergi? Vanilla tahu, ada pertemuan, maka akan ada pula perpisahan. Tapi Vanilla tidak menyangka jika perpisahan akan terjadi secepat ini. Ah, tidak. Vanilla menggeleng. Ini bukan perpisahan, karena Diego tidak pernah mengucapkan kata 'selamat tinggal'. Mungkin saja Diego sedang pergi ke suatu tempat dan tidak sempat mengabari Vanilla, dan pastinya nanti akan kembali.
Atau mungkin ... lelaki itu sudah menikah dengan wanita lain, karena itu Vanilla dicampakkan begitu saja? Tidak mungkin! Selama ini Diego tidak pernah bercerita tentang wanita lain. Dia hanya bercerita tentang masa kecilnya. Lagipula, jika dia benar memiliki wanita lain, mana mungkin Diego bisa selalu bersikap manis pada Vanilla. Memperlakukan Vanilla dengan istimewa sampai-sampai Vanilla merasa jika dirinya telah berubah menjadi seorang wanita yang seutuhnya. Wanita yang jatuh cinta pada lelaki dewasa?
Ah, Vanilla bahkan tidak sepenuhnya mengerti apa itu cinta. Dia hanya merasa nyaman ketika berada di dekat Diego, dan seringkali jantungnya berdetak kencang seperti hampir melompat dari tempatnya. Lalu, ia juga merasakan desiran aneh ketika Diego memeluk tubuhnya, seperti pagi terakhir kali mereka bersama.
Pagi itu, Vanilla merasakan sesuatu yang berbeda. Kehangatan yang membuat Vanilla tertidur pulas semalaman. Vanilla memikirkan apa yang membuatnya merasa senyaman ini, dia akhirnya dia mendapat jawaban. Aroma musk khas Diego begitu menyengat hidung, dan Vanilla menemukan kedua lengan kekar itu sedang mendekapnya.
"Diego ...," lirih Vanilla sembari menyentuh lengan Diego, memastikan bahwa Diego lah yang sedang benar-benar memeluknya.
"Hem ...." Lelaki itu bergumam, enggan beranjak dari posisinya. Barangkali masih mengantuk, atau mungkin ... Diego merasakan kenyamanan yang sama seperti Vanilla?
"Apa ini sudah pagi?"
"Tepatnya jam 7 pagi. Tidurlah, kita masih ada waktu 2 jam sebelum kembali ke villa. Kau sudah merasa lebih baik?"
Kali ini Vanilla merasakan Diego menyentuh leher dan dahinya, mungkin ingin memeriksa suhu tubuh Vanilla. Tapi, sentuhan Diego justru membuat Vanilla menahan napas karena jemari Diego serupa arus listrik tegangan tinggi. Vanilla merasakan desiran aneh mengalir deras di dalam pembuluh darahnya. Oh, perasaan macam apa ini?
"Masih sedikit pusing, tapi tidak apa-apa. Sebentar lagi juga sembuh."
"Oke." Bukannya melepaskan, Diego justru semakin erat memeluk tubuh Vanilla. "Biarkan tetap seperti ini, sebentar saja. Aku masih mengantuk."
Vanilla tidak berkutik, membiarkan Diego menyurukkan wajah di leher gadis itu. Lagi-lagi perasaan asing kembali menggodanya. Desah napas Diego yang menerpa leher Vanilla membuat tubuh gadis itu menegang. Vanilla menggigit bibirnya, mencoba menenangkan jantungnya yang berdegup sangat kencang. Apa yang salah dengan perasaan ini?
Akhirnya, Vanilla memejamkan mata. Menikmati sensasi asing yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dekapan erat yang ia sendiri tidak ingin menyudahinya. Jadi, biarkan tetap seperti ini, seperti yang dikatakan Diego.
Vanilla merekam setiap detik yang berlalu. Embusan napas hangat Diego yang menerpa lehernya. Kedua lengan berotot yang memeluknya dengan possessive. Ah, pertemuan ini terlalu indah untuk dikenang. Kalau saja Vanilla memiliki kemampuan untuk menghentikan waktu, dia ingin berhenti di titik ini saja. Sungguh, di sinilah puncak kebahagiaan Vanilla yang sesungguhnya. Ia merasa disayangi dengan tulus.
Bagaimana tidak, Diego telah memperkenalkannya pada hal-hal baru. Sesuatu yang tidak pernah ia dapatkan dari orang lain. Terlebih, ketika kemarin Diego memberikan napasnya untuk Vanilla. Dengan setengah kesadarannya, Vanilla bisa merasakan lembutnya bibir Diego ketika bibir mereka saling bersentuhan. Bolehkah Vanilla menganggap itu sebagai ciuman pertamanya? Terlalu berlebihan? Tak apa, yang jelas sentuhan bibir itu sangat berkesan bagi Vanilla.
"Terima kasih sudah menyelamatkanku," ucap Vanilla setelah mereka larut dalam keheningan untuk waktu yang cukup lama.
"Aku hanya ingin menepati janjiku untuk selalu menjagamu."
"Aku tahu. Kau seorang lelaki sejati yang tidak akan pernah mengingkari janji. Maaf, aku selalu merepotkanmu."
"Jangan katakan itu. Aku tidak merasa direpotkan. Aku justru menikmati apa yang aku lakukan untukmu."
"Aku akan terus mengingat semua kebaikanmu. Jika nanti aku sudah bisa melihat dengan kedua mataku, aku berjanji akan membalas semua kebaikanmu semampuku. Saat ini, aku hanya bisa membuatkan syal untukmu. Aku merajut syal itu sendiri, anggap saja sebagai tanda persahabatan kita. Ambillah, syal itu ada di dalam tasku."
"Aku akan mengambilnya nanti. Sekarang, bisakah kau diam untuk sesaat? Aku sedang tidak ingin membicarakan apa pun." Suara Diego mulai terdengar serak.
Vanilla pikir, mungkin Diego terkena flu karena kemarin harus berenang dan hampir tenggelam di lautan. Tapi, seorang gadis tuna netra memiliki kepekaan terhadap hal-hal di sekitarnya. Vanilla memiringkan tubuhnya menghadap Diego, tidak peduli sekalipun lengan kekar lelaki itu masih mendekapnya dengan erat.
Jemari lentik gadis itu mencari-cari wajah Diego. Begitu menemukannya, ia merabanya dengan hati-hati. Membelai rahang yang kokoh dengan rambut-rambut tipis yang tercukur rapi, lalu gerakannya terhenti ketika ia menemukan pipi lelaki itu sudah basah oleh air mata.
"Kau ... menangis?" tanya Vanilla lirih.
"Tidak."
"Kau tidak bisa berbohong." Vanilla menggeleng lesu. "Apa yang kau tangisi? Kau teringat masa kecilmu lagi? Atau karena kau mengasihani kehidupanku yang terlihat menyedihkan?"
Hening sesaat. Diego terdengar menghela napas kasar. "Mungkin karena aku ... takut kehilanganmu."
"Kenapa harus takut? Kau berhasil menyelamatkanku, dan sekarang aku baik-baik saja."
"Jangan katakan apa pun lagi. Saat ini aku hanya ingin memelukmu."
Vanilla merasakan belaian lembut di pipinya, lantas Diego membenamkan wajah gadis itu di dada bidangnya. Tidak mengizinkan Vanilla membantah meski hanya untuk satu kata. Dan Vanilla tidak kuasa untuk menolaknya. Meski tidak mengerti apa arti pelukan Diego, tetapi diam-diam sebuah ketakutan besar hadir di dalam diri Vanilla.
Rasa takut kehilangan seperti yang dirasakan Diego? Ya, mungkin saja. Yang tidak Vanilla tahu, ternyata pada akhirnya rasa takutnya menjadi sebuah kenyataan. Diego pergi tanpa pesan. Pergi begitu saja, meninggalkan sebuah kenangan manis yang tidak mungkin bisa Vanilla lupakan. Kenapa pertemuan selalu saja diakhiri dengan perpisahan?
***
To be Continued
20 Juli 2023
Di KaryaKarsa udah sampai Part 34 ya
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro