Part 22
Hai.. Di KaryaKarsa sudah update part terbaru Part 33 & 34 ya
🎻🎻🎻
Semudah itukah dendam mengalahkan cinta? Ternyata tidak. Lihatlah burung-burung camar yang terbang berputar-putar di titik yang sama, menyaksikan lelaki bertubuh tinggi tegap berlari kencang di atas pasir pantai, lantas menerjang ombak, berusaha mendekati gadis yang kini hanya terlihat telapak tangannya di permukaan air.
Lelaki itu berenang sekuat tenaga dengan hati yang terluka. Bagaimana mungkin ia tega meninggalkan gadis rapuhnya tenggelam di lautan, sedangkan dia masih bisa merasakan debaran di dadanya? Jika itu terjadi, maka Diego akan dihantui perasaan bersalah seumur hidupnya. Sama seperti kedua orang tuanya yang tergeletak bersimbah darah, gadis yang tenggelam di lautan pun akan selalu terbayang di dalam benaknya. Jadi, abaikan saja dendam itu untuk sesaat. Lelaki itu hanya ingin mendapatkan gadis itu kembali dan memeluknya erat-erat.
Setelah sekian detik menyelam di lautan, mata tajam Diego menangkap sesosok gadis yang terkulai lemah, tidak berdaya di antara birunya air di lautan. Diego berenang ke arahnya dan bergegas membawa gadis itu ke tepi pantai.
Diego meraih Vanilla ke dalam gendongannya. Tubuh atletisnya nampak gemetar. Berkali-kali diliriknya Vanilla yang sudah tidak sadarkan diri.
Bertahanlah, Vanilla-ku!
Ah, ya! Diego mulai panik. Sama paniknya seperti ketika dulu ia berada di dalam ambulans bersama Mama. Bagaimana jika Vanilla tidak bisa bertahan seperti Mama?
Diego membaringkan tubuh Vanilla di atas pasir pantai. Dress biru gadis itu basah kuyup, begitu pula dengan rambut panjangnya yang terurai dan kini ternoda oleh pasir. Wajahnya pucat dengan mata terpejam rapat serta bibir yang mulai membiru.
Diego tidak memeriksa denyut nadi di leher Vanilla. Denyut nadi masih terasa meskipun sangat pelan. Ketika Diego meletakkan jarinya di hidung Vanilla, tidak ada tanda-tanda gadis itu masih bernapas. Diego tidak bisa membiarkan gadis itu terlalu lama. Ia melakukan CPR, menekan dada Vanilla dengan kedua tangannya. Ia melakukannya berulang kali, tetapi Vanilla masih tetap tidak sadarkan diri dan tidak ada napas yang berembus dari lubang hidungnya.
Jalan terakhir, Diego harus memberikan napas buatan. Diego menjepit hidung Vanilla dengan jarinya, kemudian ia membungkuk dan mendekatkan wajahnya. Ia menarik napas panjang dan membuka mulut Vanilla, kemudian meniupkan udara ke rongga mulut gadis itu.
Usaha Diego berhasil. Usai mendapatkan bantuan napas, Vanilla terbatuk dan memuntahkan air. Diego cepat-cepat memiringkan tubuh Vanilla ke arahnya, membiarkan gadis itu mengeluarkan air laut yang sudah masuk ke dalam tubuhnya.
"Diego ...," lirih Vanilla. Tubuhnya gemetar, perpaduan antara rasa takut dan dingin yang menusuk pori-pori kulitnya.
"Aku di sini." Diego membantu Vanilla duduk, lalu mendekap tubuh gadis itu erat-erat.
"Aku tahu ... kau akan ... menyelamatkanku."
Diego tidak bisa berkata-kata lagi. Ia hanya semakin mengeratkan pelukannya, seolah takut kehilangan Vanilla-nya lagi. Bahkan setelah apa yang Diego lakukan, Vanilla masih mempercayai Diego sepenuhnya. Vanilla berpikir positif, bahwa apa yang terjadi beberapa saat lalu murni kecelakaan. Lalu, sekarang Diego harus bagaimana? Kenyataannya ia tidak bisa membunuh Vanilla dalam keadaan apa pun.
Kenapa dada Diego terasa sesak ketika ia mendapati Vanilla tidak bernapas? Sesakit itu rasanya kehilangan seseorang yang dicintainya. Jika diibaratkan dendam adalah api, maka rasa cinta adalah air yang akan memadamkannya. Ya, seharusnya begitu. Tapi, lagi-lagi bayangan kematian kedua orang tuanya membuat bara api itu kembali memercik dan memberikan kebencian yang begitu dahsyat.
Diego tidak ingin mengkhianati orang tuanya dengan mencintai gadis yang sudah seharusnya menebus kesalahan wanita jalang itu. Dan pada akhirnya, Diego pun kembali terlempar ke dalam sebuah dilema. Cinta dan kebencian itu akan selalu bertarung di dalam hatinya. Ah, kalau saja Diego tidak pernah menjalin kedekatan dengan Vanilla, semua pasti tidak akan serumit ini.
***
"Malam ini Vanilla tidak bisa pulang ke villa," ucap Diego ketika menelepon Tuan Ramon. "Angin di pantai terlalu dingin, dia demam."
"Di mana Nona Vanilla sekarang?"
"Aku membawanya ke apartemen. Dokter sudah memberikan obat, sekarang dia sedang beristirahat. Tenang saja, aku tidak akan berbuat macam-macam padanya."
"Jaga dia baik-baik. Ingat, jika kau berani berbuat macam-macam padanya, aku tidak akan mengampunimu."
"Aku mengerti. Aku akan memperlakukannya seperti sebuah porselen di dalam kotak kaca. Aku tidak berhak menyentuhnya, apalagi menggoresnya."
"Aku pegang kata-katamu. Dan besok kau harus mengantarkan Nona Vanilla pulang. Aku tidak ingin mengambil resiko Nyonya Kenanga tiba-tiba datang dan tidak menemukan Nona Vanilla di sini."
"Oke. Selamat malam, Tuan Ramon."
Diego memutuskan sambungan telepon. Tatapannya melayang ke arah ranjang, di mana Vanilla sedang tertidur pulas dengan selimut yang membungkus tubuhnya. Beberapa saat lalu, dokter dan suster baru saja pulang setelah memastikan kondisi Vanilla sudah membaik. Suster sudah memandikan Vanilla dengan air hangat dan menggantikan pakaiannya yang sudah kotor oleh pasir pantai.
Kejadian sore tadi membuat Vanilla shock. Tubuhnya panas tinggi, dan berkali-kali mengigau, berteriak takut tenggelam. Seperti kali ini. Mulut gadis itu setengah terbuka, kemudian napasnya tersengal, seperti sedang gelagapan di dalam air.
Diego menggenggam tangan Vanilla dan berucap, "It's okay. Kau sudah aman sekarang."
Mata Vanilla masih terpejam, ia mencengkeram tangan Diego erat-erat. "Airnya sangat dingin. Tolong ... aku tidak bisa ... berenang. Aku ... aku ... tenggelam ...."
Diego menggigit bibir bawahnya, sekuat tenaga menahan air mata yang hampir meluncur. Apa yang kau tangisi, Diego? Gadis malang itu? Atau kematian kedua orang tuamu di masa lalu? Percayalah, Diego. Apa pun yang kau lakukan, itu tidak akan pernah mengubah bahwa kenyataannya kalian memang terhubung oleh sebuah benang merah yang begitu rumit.
Lelaki itu menghela napas kasar, kemudian menyibak selimut yang membungkus tubuh Vanilla. Dengan kedua tangan kekarnya, Diego meraih tubuh Vanilla ke dalam pelukannya. Berusaha mengabaikan berbagai macam rasa yang melanda hatinya. Cinta. Dendam. Kebencian. Ah, lupakan semua itu. Saat ini Diego hanya ingin memberikan kehangatan pada gadis yang diam-diam dicintainya.
"Kau aman sekarang," bisik Diego sembari mengecupi puncak kepala Vanilla.
Diego mendekap tubuh Vanilla erat-erat. Matanya yang biasa bersorot tajam, kini meredup. Perlahan ia memejamkan mata, dan sebuah butiran bening membasahi pipinya. Bagaimana mungkin ia tega melukai gadis tidak bersalah ini?
Diego bahkan masih bisa merasakan bagaimana paniknya dia saat melihat tubuh Vanilla tergulung ombak di lautan. Diego begitu ketakutan ketika mendapati Vanilla tidak bernapas lagi. Dia bahkan masih bisa merasakan dinginnya bibir Vanilla yang mulai membiru. Bibir lembut yang biasanya selalu tersenyum manis. Dan pada akhirnya Diego lah yang menjadi lelaki pertama yang menyentuh bibir indah itu. Ciuman pertama. Ah, tidak. Mungkin itu tidak pantas disebut sebagai ciuman. Yang jelas, Diego lelaki pertama yang merasakan lembutnya bibir itu meski hanya dengan sentuhan dan bantuan pernapasan.
"Maaf telah mengkhianatimu. Kau tidak seharusnya mempercayaiku." Diego berucap lirih. Butiran-butiran bening semakin mengalir deras dari matanya yang terpejam.
"Jangan lepaskan tanganku ... Aku tidak ingin tenggelam." Gadis itu kembali mengigau.
"Okay, aku memelukmu. Dan akan kupastikan besok kejadian seperti itu tidak akan pernah terulang lagi."
Diego mengusap punggung Vanilla dengan lembut, mencoba menenangkannya. Mungkin sudah saatnya Diego mengambil keputusan. Ia tidak bisa lagi berada di dekat Vanilla yang selalu mengingatkannya pada Nona Catherine. Itu sangat menyakitkan bagi Diego ketika ia harus mencintai putri dari wanita yang menjadi penyebab kematian orang tuanya.
Abaikan jantungnya yang berdetak cepat serupa seorang lelaki yang sedang jatuh cinta. Diego hanya ingin membenci Vanilla, titik. Tapi, Diego tidak sanggup jika harus melukai apalagi membunuh gadis malang itu. Mungkin, akan lebih baik jika Diego pergi dari kehidupan Vanilla dan menganggap tidak akan pernah ada pertemuan di antara keduanya.
Diego akan mencoba memutus benang merah yang menjadi penghubung masa lalu mereka yang menyakitkan. Lalu, semuanya selesai. Ya, kisah di antara mereka selesai bahkan sebelum mereka sempat memulainya. Tidak akan ada lagi cinta. Yang ada hanyalah sisa-sisa kebencian yang akan menghantui Diego seumur hidup. Dan Diego akan mengubur semuanya dalam-dalam. Rasa dendamnya, dan ... kenangan indahnya dengan gadis yang selalu membuat jantungnya berdetak kencang.
🎻🎻🎻
To be Continued
10 Juli 2023
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro