Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 19

Hai.. Di KaryaKarsa udah sampai Part 30 ya 🥰🥰🥰

🎻🎻🎻

JAKARTA, 3 FEBRUARI 2005

Gadis berusia 5 tahun itu berdiri tegak di tempatnya. Dengan indra penglihat yang tidak berfungsi sejak kecelakaan sebulan yang lalu, dia tidak tahu ke mana Nyonya Kenanga membawanya. Yang dia tahu, dia dibawa ke tempat yang sangat jauh, terbukti dari begitu lamanya mereka menaiki mobil.

Gadis kecil itu, Vanilla. Setelah kematian ibu kandungnya akibat peristiwa kecelakaan itu, membuat Vanilla terpaksa tinggal dengan seorang wanita asing yang ia sebut dengan panggilan Mama. Ya, Mama, seperti permintaan Tuan Albert—lelaki yang mengaku sebagai ayahnya—suami Nyonya Kenanga.

Mama? Tentu saja Vanilla sangat membenci panggilan yang seharusnya hanya ia tujukan pada ibu kandungnya. Tapi, sejak kecil dia didoktrin menjadi seorang gadis penurut dan tidak perlu banyak bertanya. Terlebih saat sekarang Mama Catherine sudah meninggal, dan Vanilla tidak memiliki siapa-siapa lagi kecuali Nyonya Kenanga. Bukankah sudah sepatutnya Vanilla tidak perlu mengajukan pertanyaan apa pun asalkan dia masih bisa tetap hidup?

Awalnya, Vanilla bersyukur karena di saat ia tidak punya siapa-siapa lagi, ada seorang wanita yang mau menampungnya dan bersedia memberikan kehidupan padanya. Namun, pada akhirnya ia harus kecewa karena suatu hari Nyonya Kenanga mengurungnya di kamar seharian. Yang lebih menyakitkan, karena ternyata pada hari itu Nyonya Kenanga mengadakan upacara pemakaman. Nyonya Kenanga menyebarkan berita palsu tentang kematian seorang gadis kecil bernama Vanilla.

Vanilla mengerti. Karena sejak Tuan Albert mengenalkan Vanilla pada Nyonya Kenanga, wanita itu tidak pernah menunjukkan wajah yang ramah. Vanilla memang masih kecil, tetapi ia sudah cukup mengerti bahwa Nyonya Kenanga sangat membencinya, tanpa Vanilla tahu apa alasannya.

"Mama, kita di mana?" tanya Vanilla begitu turun dari mobil.

"Sudah berapa kali kukatakan, kau tidak berhak menanyakan apa pun," sahut Nyonya Kenanga dingin.

Vanilla terdiam. Ia mendengar suara heels Nyonya Kenanga berjalan menjauhinya. Lalu, sayup-sayup terdengar percakapan antara wanita itu dengan seorang lelaki dewasa.

"Anak perempuan itu akan tinggal di sini. Jangan biarkan dia kabur, awasi dia selama 24 jam. Dan jangan izinkan siapa pun masuk ke villa ini, apa pun alasannya."

"Baik, Nyonya. Apa sebelumnya Anda ingin memeriksa villa di tengah hutan ini? Sekeliling villa sedang dibangun pagar tembok tinggi sesuai permintaan Anda, sehingga nantinya villa hanya memiliki satu akses masuk yaitu pintu gerbang di bagian depan."

Tubuh Vanilla gemetar. Villa di tengah hutan? Pagar yang tinggi? Kenapa terdengar mengerikan? Seolah-olah villa ini dibangun serupa tempat untuk memenjarakan Vanilla. Nyonya Kenanga membuang Vanilla ke tempat ini karena tidak ingin merawat Vanilla? Jadi, saat ini Vanilla benar-benar sendiri dan tidak memiliki siapa pun lagi?

Dada Vanilla terasa sesak. Ia telah kehilangan semuanya. Ibu kandungnya, indra penglihatnya, dan masa depannya. Apa yang bisa ia lakukan sekarang dengan keterbatasannya? Bahkan untuk melihat apa yang ada di hadapannya pun ia tidak mampu. Ia hanya bisa menghirup aroma manis dari kelopak-kelopak bunga yang berguguran, tertiup angin dan membelai wajah Vanilla, untuk kemudian berjatuhan ke permukaan tanah.

Vanilla menengadahkan kedua tangannya, membiarkan kelopak-kelopak beraroma manis itu mendarat di telapak tangannya yang gemetar. Kelopak-kelopak bunga itu menjadi saksi atas rasa sakit seorang anak perempuan yang terbuang. Ah, luka di tubuhnya akibat kecelakaan sebulan lalu saja belum sepenuhnya mengering. Dan kini ia harus kembali menerima luka yang lain. Takdirnya yang lain.

Dunia ini keras, Sayang. Kau akan hancur berkeping-keping jika tidak mampu bertahan.

Vanilla masih terlalu kecil untuk bisa memahami apa yang terjadi pada dirinya. Sekarang ia tidak memiliki apa-apa di dunia ini, kecuali kelopak bunga di dalam genggaman tangannya.

"Anak perempuan itu ada di bawah pohon sakura. Cepat bawa dia masuk ke dalam villa!" Sayup-sayup terdengar teriakan Nyonya Kenanga dari kejauhan.

Sekarang Vanilla tahu bunga apa itu. Sakura. Bunga yang selama ini hanya ia lihat di dalam film. Vanilla mendekatkan telapak tangannya ke hidung, mencoba menghirup aroma dari kelopak-kelopak sakura. Manis dan segar.

"Nona Vanilla, mari masuk ke dalam Villa. Kau pasti lelah setelah melakukan perjalanan jauh." Seorang wanita tua berkata dengan lemah lembut.

"Mama akan meninggalkanku di tempat ini?"

"Ya, tapi kau tidak usah cemas, Nona. Akan ada beberapa orang maid dan pengawal yang akan menjagamu."

Vanilla kehilangan kata-kata. Ia masih belum bisa berdamai dengan kenyataan. Kenapa jalan hidup yang harus ia lalui sesulit ini? Usianya baru 5 tahun. Ketika anak-anak lain yang seusianya sedang asyik bermain dengan teman-temannya, Vanilla harus berdiri di tempat ini untuk tetap bertahan hidup tanpa tahu apa yang akan terjadi ke depannya.

"Ayo, Nona. Kita masuk sekarang."

Kedua tangan Vanilla mengepal, menyembunyikan kelopak-kelopak sakura di dalam genggamannya. Lalu, ia merasakan wanita tua itu menggandeng pergelangan tangannya dan mengajaknya berjalan bersama-sama.

Itulah titik kehidupan baru bagi Vanilla, di mana dia hanya memiliki segenggam kelopak sakura di tangannya.

🎻🎻🎻

Diego menatap pisau belati di genggaman tangannya. Ujungnya runcing, dengan kedua sisi mata pisau yang nampak berkilat tajam tertimpa cahaya matahari pagi. Detik selanjutnya, pandangannya beralih pada gadis yang sedang berdiri di bawah pohon sakura. Angin berembus cukup kencang, menerbangkan kelopak-kelopak bunga berwarna pink yang mulai berguguran.

Vanilla. Gadis itu menengadahkan kedua tangannya, membiarkan kelopak bunga sakura mendarat di telapak tangannya. Bibir berwarna pink alami itu menyunggingkan sebuah senyuman.

Napas Diego tertahan. Dadanya bergemuruh hebat, tatkala gadis itu menoleh dan memberikan tatapan kosong. Mata yang tidak bisa melihat itu mengerjap menyiratkan sebuah kebahagiaan.

"Diego, kau kah itu?" Suara lembut itu menyapa lelaki yang dirindukannya.

"Ya." Diego menyahut singkat.

Vanilla melangkah cepat menghampiri arah datangnya suara Diego dengan sebelah tangan terjulur ke depan. Ketika tangannya bersentuhan dengan pinggang lelaki itu, Vanilla refleks memeluknya.

"Kenapa lama tidak datang? Berhari-hari aku menunggumu."

"Aku sibuk." Diego menarik napas panjang, menghirup aroma citrus dari rambut panjang berwarna kecokelatan. Tangan kirinya melingkar di pinggang Vanilla, sementara tangan kanannya terangkat, bersiap menancapkan pisau belati ke punggung gadis itu.

"Ada kabar bahagia yang ingin aku ceritakan."

"Oh ya?"

"Kata dokter, menurut hasil pemeriksaan, mataku bisa disembuhkan dengan operasi. Aku bahagia sekali." Vanilla menyandarkan wajahnya di dada Diego. Seperti biasa, mencari kenyamanan.

"Wow, selamat. Akhirnya impianmu akan segera terwujud."

"Coba tebak, apa yang ingin pertama kali aku lihat jika mataku sembuh nanti?"

"Sunrise?"

"Bukan."

"Bunga sakura yang berguguran?"

"Tidak juga."

"Lalu apa?"

"Kau." Gadis itu berucap dengan riang. "Yang ingin pertama kali aku lihat adalah dirimu. Seseorang yang sudah memberikan warna baru dalam kehidupanku."

Diego gemetar. Dadanya semakin terasa sesak. Mata hitamnya tertuju pada pisau di genggaman tangannya. Ia bisa dengan mudah menghunuskan belati itu ke punggung gadis lemah ini, tetapi kenapa tangannya seolah kaku dan terasa berat untuk melakukan itu?

Bunuh dia, Diego! Bunuh dia!

Sisi liar dalam diri Diego berteriak menginginkan kematian gadis di dalam dekapannya. Namun, ada sisi lain dalam dirinya yang memberontak dan mengharapkan gadis itu tetap hidup.

Lihatlah betapa polosnya gadis itu mengungkapkan keinginan terbesarnya untuk bisa melihat Diego. Dia tidak tahu, bahwa hanya dalam hitungan detik dia bisa saja kehilangan detak jantungnya oleh sosok lelaki yang begitu dipercayainya.

Diego menggigit bibir bawahnya, menahan cairan bening yang mulai menggenang di kelopak mata. Rasa dendam di dalam hatinya begitu bergejolak, sangat berlawanan dengan perasaan asing yang belakangan ini selalu mengganggunya. Jantungnya yang selalu berdetak cepat ketika berada di dekat Vanilla. Dan dadanya yang berdebar lembut ketika ia menatap wajah cantik dengan rona merah di kedua pipi milik gadis itu. Sebutlah itu cinta, meski Diego jelas-jelas tidak ingin mengakuinya.

Mata Diego terpejam, dan satu butir kristal bening terjatuh di pundak Vanilla. Lelaki itu semakin erat menggenggam belati, berharap ia bisa dengan mudah mengakhiri semua ini. Tetapi gagal, tangannya serasa kaku untuk digerakkan. Seperti ada kekuatan magic yang membuat pisau belati itu menjauh dari punggung Vanilla.

Dan ketika Diego membuka mata, pergelangan tangannya sudah terluka. Tanpa sadar, sisi tajam dari belati itu telah menggoresnya, menyisakan goresan memanjang dengan darah yang mulai muncul dari permukaan kulitnya.

Diego tersenyum miris. Sekarang dia tahu, ternyata melukai gadis yang dicintainya, itu sama saja dengan melukai diri sendiri. Bahkan seandainya Diego mencoba mendorong Vanilla ke dalam jurang yang penuh duri, mungkin dia sendiri akan ikut terseret dan terjatuh di tempat yang sama dalam keadaan penuh luka.

Bunuh dia, Diego! Bunuh dia!

Argh! Brengsek! Peduli apa dengan cinta jika rasa dendam itu jauh lebih lama bersemayam di hatinya? Diego hanya perlu mengayunkan tangannya sekuat tenaga. Lalu, tubuh gadis lemah itu akan tergolek di atas hamparan bunga sakura yang berguguran dengan sebuah luka menganga di punggungnya. Dan dendam atas kematian orang tua Diego pun terbalaskan. Sesimple itu.

🎻🎻🎻

To be Continued
18 Juni 2023


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro