Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 18

Di KaryaKarsa udah sampai Part 28 ya.. Yang udah penasaran bisa baca duluan di sana.. Harganya murah kok.. Cuma Rp 3.500 kalian bisa baca 2 part sekaligus.

Happy Reading 😘😘😘

🎻🎻🎻

“Bawa Vanilla ke dokter.” Diego menyodorkan sebuah kartu nama pada Tuan Ramon. Kertas berukuran kecil itu tertulis nama seorang dokter dan sebuah rumah sakit ternama di Jakarta.

Dahi Tuan Ramon berkerut. “Aku sudah mempercayakan Nona Vanilla padamu.”

“Tidak.” Diego menggeleng. “Ayah Vanilla yang sudah mempercayakan Vanilla padamu. Ini tugasmu, bukan tugasku. Lakukan apa yang menurutmu baik untuk kehidupan nonamu. Ikuti kata hatimu, jangan pedulikan Nyonya Kenanga. Vanilla sudah dewasa dan berhak mendapatkan kehidupan yang lebih baik.”

Tuan Ramon terdiam sesaat, untuk kemudian menjawab. “Baiklah. Kali ini aku akan memberikan yang terbaik untuk Nona Vanilla. Aku akan segera mengatur pertemuan dengan dokter.”

Argh! Ingin rasanya Diego berteriak sekuat-kuatnya. Kehidupan yang lebih baik? Beberapa saat yang lalu sempat terbersit dalam benak Diego untuk menghabisi nyawa Vanilla, tetapi kenapa sekarang ia justru berbicara sebaliknya pada Tuan Ramon? Seolah Diego ingin Vanilla terus bertahan hidup.

Jadi, apa yang sebenarnya Diego inginkan? Entahlah, Diego tidak bisa memahami hatinya yang saat ini sedang kacau.

🎻🎻🎻

“Arrggghhh!!!” Diego berteriak, tinjunya berkali-kali menghantam dinding kamar. Tidak peduli meski kulitnya tergores dan rasa nyeri menjalar di kepalan tangannya.

Rahangnya mengeras, menahan emosi yang semakin meluap di dadanya. Kalau saja sejak awal dia tahu bahwa gadis pemain biola itu adalah putri dari wanita yang menjadi penyebab kematian Mama dan Papa, maka Diego tidak akan pernah mendekatinya. Kenyataannya apa? Semua terkuak ketika Diego sudah terlanjur masuk ke dalam kehidupan Vanilla.

Bolehkah seorang lelaki sejati mengingkari janjinya? Ingin rasanya Diego membalas dendam atas kematian kedua orangnya, tetapi ada sisi lain di dalam dirinya yang membuat dia merasa ragu. Wajah lugu dengan senyum polos tanpa dosa, serta tutur kata lembut yang senantiasa terngiang-ngiang di telinga Diego. Bagaimana mungkin Diego tega membunuh seorang gadis yang pernah bergelayut manja di lengannya?

“Ternyata begini rasanya berjalan-jalan di taman kota,” ucap Vanilla saat itu, ketika mereka baru selesai photoshoot di galeri milik Diego dan mereka pergi ke taman kota. 

“Menyenangkan, bukan?”

“Sangat menyenangkan. Apa saja yang bisa dilihat di sini?”

“Tidak berbeda jauh dengan taman di villa, ada banyak sekali bunga-bunga yang ditanam di dalam pot besar. Bedanya, di sini tempatnya lebih luas, banyak pedagang kaki lima yang berjualan di sekitar sini. Pengunjung datang dari berbagai kalangan, mulai dari anak-anak hingga dewasa. Sangat ramai.”

“Ya, aku bisa mendengar keramaian di sini.”

“Mau coba jajanan kaki lima?”

Vanilla baru akan menjawab, tetapi urung ketika kakinya tersandung batu dan hampir saja terjerembab jika Diego tidak segera menahan lengan gadis itu.

“Sudah kukatakan, jangan pernah melepaskan peganganmu di lenganku,” kata Diego. Ia meraih tangan Vanilla dan membiarkan gadis itu menggamit lengannya.

“Aku takut kau tidak nyaman karena orang-orang pasti akan mengira kita sepasang kekasih.”

“Peduli apa pada kata orang lain, toh kita tidak mengenal mereka.”

“Benar? Tidak apa-apa? Mereka tidak akan menggosipkan kita yang tidak-tidak?”

“Berani taruhan, mereka iri padamu karena kau bisa berjalan di samping lelaki tampan sepertiku.”

Gadis itu tertawa, jemari lentiknya membenarkan posisi kacamata hitam yang dikenakan, kemudian bergelayut manja di lengan Diego. Barangkali merasa nyaman.

“Untuk pertama kali dalam hidupku, aku tidak merasa insecure atas kekuranganku. Bukankah aku lebih beruntung dari mereka karena bisa berjalan di samping lelaki sepertimu?” Tawa gadis itu terdengar renyah, memperlihatkan kebahagiaan yang sesungguhnya.

Diego melirik wajah dengan rona kemerahan di kedua pipi Vanilla. Menggemaskan, dan Diego serasa ingin membelainya atau bahkan mengecupnya. Namun, ia cepat-cepat mengusir ide gila yang melintas di benaknya. Sekali lagi ia harus mengingat, Vanilla adalah berlian di dalam kotak kaca. Tidak tersentuh. Diego tidak pantas mengotorinya.

Lagi-lagi Diego merasakan jantungnya berdetak kencang. Perasaan macam apa ini? Vanilla bukanlah type gadis yang ada di dalam list Diego, tetapi kenapa justru gadis itulah yang mampu menciptakan debaran lembut di dadanya meski hanya berjalan bersisian.

Diego tidaklah sepolos Vanilla. Ia lelaki yang sudah berpengalaman, jelas ia tahu apa yang sedang dirasakannya. Seperti yang pernah dikatakan Pedro, tanpa disadari Diego telah jatuh cinta pada Vanilla. Entah sejak kapan perasaan itu datang. Mungkin sejak pertama kali Diego melihat Vanilla dari kejauhan. Atau sejak mereka berdiri saling berhadapan. Dan tidak menutup kemungkinan rasa itu hadir karena mereka terbiasa bersama.

Namun, Diego jelas tidak ingin mengakui perasaannya. Diego mendoktrin dirinya, debaran lembut itu hanya sekadar rasa iba atas penderitaan yang dirasakan Vanilla. Sama sekali bukan cinta. 

“Mau es krim?” tanya Diego.

“Boleh. Ada yang rasa cokelat?”

“Tentu saja ada. Kau tunggu di sini, aku akan membelinya untukmu.” Diego membantu Vanilla duduk di bangku taman.

“Kenapa aku tidak ikut ke sana?”

“Antreannya cukup panjang. Aku tidak ingin kau kelelahan berdiri dalam barisan antrean pengunjung yang lain.”

“Berdiri di sana denganmu lebih baik daripada duduk di sini sendirian.” Vanilla mencebikkan bibirnya. “Aku takut kau pergi meninggalkanku dan tidak pernah kembali ke sini.”

“Mana mungkin aku meninggalkanmu? Kau lupa aku pernah berjanji untuk selalu menjagamu dan melindungimu, hem?”

“Aku takut kau mengingkari janji.”

“Aku pernah mempertaruhkan nyawaku, dengan tubuhku yang penuh luka, hanya karena ingin bertemu denganmu. Kau pikir aku akan semudah itu meninggalkanmu? Seorang lelaki sejati tidak akan pernah mengingkari janji.” Diego mengacak rambut di puncak kepala Vanilla dengan gemas. “Tunggu di sini, aku segera kembali.”

Setelah Vanilla mengangguk, Diego berlari menuju toko es krim. Karena tidak ingin Vanilla menunggu terlalu lama, Diego mencoba bernegosiasi dengan pembeli yang sudah antre terlebih dahulu. Diego akan mentraktir mereka semua, dan sebagai gantinya Diego akan memotong antrean paling depan. Tentu saja mereka semua setuju.

Tidak sampai 5 menit, Diego sudah kembali dengan 2 cone es krim rasa cokelat di tangannya. Langkahnya terburu-buru, tidak ingin terlalu lama meninggalkan Vanilla sendirian. Jujur, Diego merasa kesal ketika para lelaki lain sibuk mencuri pandang ke arah Vanilla. Oh, ayolah! Tidak ada seorang yang boleh mengagumi berlian di dalam kotak kaca miliknya.

“Es krim cokelat.” Diego meletakkan cone es krim di tangan Vanilla.

“Thanks.” Vanilla menjilat es krimnya, kemudian tersenyum. “Kau tahu? Ini pertama kalinya dalam hidupku, aku makan es krim di taman kota. Ternyata semenyenangkan ini.”

“Oh ya?”

Gadis itu terdiam sejenak, di detik yang lain mengerjap, berusaha menghalau cairan bening yang mulai mengambang di kelopak matanya. “Ada banyak yang berubah sejak aku mengenalmu. Kau banyak menunjukkan hal sederhana yang mampu membuatku bahagia. Ternyata, villa yang megah dengan kehidupan layaknya seorang putri, belum tentu menciptakan kebahagiaan. Terima kasih sudah mewarnai kehidupanku dengan hal-hal indah yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya.”

Diego terdiam. Matanya menatap penuh kekaguman pada gadis yang duduk di sampingnya. Angin semilir bertiup menyapa wajahnya, menerbangkan helaian rambut panjang yang tergerai indah di pungung. Vanilla berusaha merapikan rambutnya, tetapi angin yang terlalu kencang membuatnya kesulitan menyingkirkan helaian-helaian rambut yang terjatuh ke wajahnya.

Jemari kokoh Diego terulur, menyentuh wajah lembut di hadapannya, kemudian menyingkirkan helaian rambut yang menjuntai di sana. Dengan hati-hati, Diego menyelipkan helaian itu ke belakang telinga. Lalu, ia bisa melihat dengan jelas rona kemerahan semakin menjalar di wajah cantik itu.

“Terima kasih, kehadiranmu membuatku percaya bahwa tidak semua orang di dunia ini jahat seperti yang selama ini aku pikirkan. Kau lelaki pertama yang menawarkan sebuah persahabatan. Satu-satunya lelaki yang pernah mengikrarkan janji untuk selalu menjaga dan melindungiku dengan tulus, bukan karena tuntutan pekerjaan. Aku mempercayaimu sepenuhnya.”

 “Bodoooooh!” Diego kembali melayangkan tinjunya ke dinding. Bayangan wajah Vanilla di siang itu enggan lenyap dari benaknya.

Wajah polos yang selalu memancarkan ketulusan. Gadis suci yang belum pernah tersentuh, yang dengan bodohnya mempercayai lelaki brengsek seperti Diego. Kenapa takdir mempertemukan mereka dengan cara seindah ini?

Vanilla ibarat kertas kosong dan Diego yang menjadi tintanya. Dan Diego sudah terlanjur menggoreskan warna-warna indah di lembaran putih itu. Haruskah sekarang Diego menghancurkan semuanya? Menghancurkan mimpi-mimpi dan kehidupan Vanilla? Mengubah kenangan-kenangan indah itu dengan mimpi buruk yang mengerikan?

Lalu, pantaskah gadis suci itu menanggung dosa atas perbuatan ibunya? Ah ya, bukankah selama ini gadis itu memang sudah menanggung dosa-dosa itu? Terpenjara dalam sebuah sangkar emas yang menyiksanya. Bukankah Vanilla sudah bosan dengan kehidupannya di dalam sangkar emas? Maka bukankah lebih baik jika Diego membunuhnya dan gadis itu tidak perlu lagi merasakan kesakitannya?

Arggghhh!!! Kenapa Diego begitu sulit menerima kenyataan? Apa yang harus Diego lakukan sekarang? Ketika dendam yang selama ini terpendam akhirnya menemukan pelampiasan, tetapi ia dihadapkan pada sebuah dilema. Menancapkan pisau di jantung gadis itu hingga tidak bernyawa, atau mendekapnya sembari berbisik lembut di telinganya, ‘Kita memiliki luka yang sama. Kita sama-sama kehilangan orang tua kita, dan kita sama-sama terpenjara dalam lorong gelap yang mematikan. Sungguh, ini sangat menyakitkan.’

🎻🎻🎻

To be Continued
11 Juni 2023


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro