Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 17

Di KaryaKarsa udah sampai Part 26 ya..

Makasih buat yang udah vote & komen 😘😘😘

🎻🎻🎻

JAKARTA, 3 Januari 2005

Bocah lelaki berusia 8 tahun itu urung menyuapkan nasi ke dalam mulutnya. Kegaduhan di kamar kedua orang tuanya membuat dia kehilangan selera makan. Suara ibunya yang terdengar melengking, disahut bentakan ayahnya yang terdengar hampir ke seluruh penjuru rumah. Pertengkaran yang belakangan ini hampir setiap hari Diego dengar.

“Jangan hiraukan mereka, Tuan Muda. Anda hampir terlambat ke sekolah.” Pedro yang berdiri di dekat meja makan, menyentak kesadaran Diego.

Diego menoleh pada pengawal ayahnya. “Kau tahu siapa wanita yang membuat Papa dan Mama bertengkar?”

Pedro menggeleng. “Tidak perlu mencemaskan apa pun, Tuan Muda. Begitulah kehidupan rumah tangga yang tidak selalu berjalan mulus. Orang dewasa pasti bisa menemukan jalan keluar atas permasalahan mereka. Semua akan baik-baik saja.”

Baik-baik saja? Diego mendengkus. Entah kapan pertengkaran itu akan berakhir. Mungkin sampai semua benda pecah belah di rumah ini hancur berantakan karena Mama selalu membantingnya ketika berdebat dengan Papa.

“Tinggalkan aku sendiri. Tunggu aku di mobil saja,” pinta Diego.

“Baik, Tuan Muda. Aku akan membawakan tas Anda.” Pedro meraih ransel hitam milik Diego yang tergeletak di kursi, lantas berlalu meninggalkan Diego sendirian.

Diego meneguk susu putih di dalam gelas hingga tandas. Dadanya terasa sesak setiap kali mendengar pertengkaran kedua orang tuanya. Tentu saja ia tahu apa dan siapa yang menjadi penyebab pertengkaran itu. Mama selalu menyebutnya wanita jalang. Lalu Papa akan menampar Mama dan berkata bahwa yang disebut wanita jalang itu jauh lebih membuat Papa merasa nyaman dibanding ketika bersama dengan Mama.

Usia Diego 8 tahun, tentu saja ia sudah mulai mengerti apa yang sedang terjadi. Papa berselingkuh dengan Nona Catherine, wanita berkulit putih yang fotonya pernah Diego lihat di ponsel Papa. Diego bahkan beberapa kali mendengar Papa menelepon wanita itu untuk membuat janji temu di sebuah hotel.

Ketika Diego mencoba memprotes pada Papa, Papa berdalih tidak memiliki hubungan apa pun dengan Nona Catherine. Mereka hanya akan bertemu untuk keperluan bisnis. Awalnya, Diego mempercayainya, tetapi ketika pertengkaran kedua orang tuanya mulai sering terjadi, Diego menyadari bahwa kehidupan keluarga mereka tidak sedang baik-baik saja.

Benar saja. Tidak ada lagi keharmonisan dalam keluarganya. Diego bahkan lupa kapan terakhir kali ia berjalan-jalan bersama Papa dan Mama. Mereka seolah tenggelam dalam kesibukan masing-masing. Hingga akhirnya semua terjawab. Bukan kesibukan yang membuat kedua orangnya renggang. Tapi, mungkin Papa yang sudah tidak mencintai Mama.

Cinta? Apa yang Diego ketahui tentang cinta? Diego hanya bocah lelaki berusia 8 tahun yang kehilangan arah ketika kehidupannya berubah 180 derajat. Seorang wanita asing diam-diam telah masuk ke dalam kehidupan keluarganya lalu mengacaukannya. Hubungan yang mulai retak itu serupa sumbu dinamit yang mana ketika tersulut oleh bara api perlahan akan terbakar lalu meledak menghancurkan semuanya.

“Aku lelah dengan pertengkaran ini!” Suara teriakan Papa di dalam kamar membuat Diego semakin merasa sesak.

“Jika lelah, kenapa tidak kembali pada keluargamu dan tinggalkan pelacur itu!” Mama balas berteriak, mencoba menyelamatkan pernikahannya.

“Aku mencintainya dan aku tidak akan pernah meninggalkannya! Aku akan menikahinya setelah kita bercerai!”

“Bercerai? Kau tidak memikirkan bagaimana dengan Diego jika kita berpisah?”

“Diego akan ikut denganku!”

Diego menutup kedua telinga dengan telapak tangannya. Tidak, ia tidak sanggup untuk mendengarkan pertengkaran kedua orang tuanya lagi. Kenapa semua itu terasa menyakitkan? Papa dan Mama akan berpisah? Lalu Diego akan ikut dengan Papa untuk tinggal bersama Nona Catherine? Mana mungkin Diego tega meninggalkan Mama seorang diri? Diego sangat menyayangi Mama, dan sampai kapanpun tidak akan ada yang bisa menggantikan posisinya.

Diego semakin merapatkan telapak tangannya. Pertengkaran itu masih terdengar samar-samar, disusul suara vas bunga yang dibanting hingga hancur berkeping-keping. Dan di detik yang lain, terdengar suara letupan pistol yang memekakkan telinga.

Tubuh Diego gemetar. Suara itu berasal dari kamar kedua orang tuanya. Semua baik-baik saja, bukan?

Bocah lelaki itu beranjak dari tempat duduknya dan berlari kencang menuju sumber suara. Tangannya gesit membuka pintu, tetapi seketika ia berdiri membeku di ambang pintu ketika menyaksikan apa yang dilihatnya. Papa sudah tergeletak di lantai dengan cairan merah yang sudah membasahi dadanya. Sementara Mama berdiri di dekat Papa dengan pistol di tangannya, teracung ke arah Papa.

“Jika aku tidak bisa memilikimu, maka tidak akan ada wanita lain yang bisa memilikimu,” desis Mama sembari kembali menarik pelatuk pistol dan seketika peluru kembali melesat dengan cepat menembus dada kiri Papa.

“Mama …,” lirih Diego, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Mama yang selama ini dikenal sebagai wanita yang lemah lembut, kali ini berubah seperti monster yang mengerikan. Mama membunuh Papa. Mengotori tangannya hanya karena terlalu mencintai Papa dan tidak ingin dikhianati.

Mama menoleh ke arah pintu, menyadari kehadiran putranya yang tubuhnya gemetar karena ketakutan. Mama tersenyum, mencoba menenangkan Diego. Bersikap seolah tegar di hadapan putranya, padahal Diego tahu Mama pasti sangat terluka.

“Maafkan Mama, Sayang.”

Diego terisak di tempatnya. Seluruh tubuhnya terasa kaku dan ia hanya bisa mematung di tempatnya.

“Pergilah, Sayang. Kau tidak sepatutnya melihat hal ini. Ini tidak seperti yang kau pikirkan. Mama sangat mencintai Papa, dan tidak ingin Papa menjadi milik wanita lain. Mama sangat mencintainya dan ingin selalu bersamanya. Tutup matamu, Nak.”

Hanya sepersekian detik setelah Mama mengucapkan kalimatnya, wanita itu meletakkan moncong pistol di kepalanya. Diego masih bisa melihat dengan jelas, jari-jari lentik Mama bergerak menarik pelatuk. Lalu, suara letupan pistol kembali terdengar untuk ketiga kalinya. Lalu, tubuh Mama pun ambruk di samping tubuh Papa dengan peluru yang sudah melubangi kepalanya.

“Mama!” Diego berteriak histeris.

🎻🎻🎻

Hampir 2 jam Diego duduk di sofa kamar Vanilla. Matanya tidak pernah lepas dari sepasang ibu dan anak yang terlihat bahagia di dalam pigura foto. Diego mengawasi bocah perempuan yang rambutnya dikepang 2, tatapan tajam persis seperti elang yang sedang mengincar seekor anak ayam. Penuh kebencian dengan hasrat ingin memangsa.

Diego bahkan tidak peduli lagi dengan percakapan Vanilla dengan Nyonya Kenanga. Tidak, bukan percakapan, melainkan perdebatan atau malah pertengkaran. Vanilla tanpa rasa takut membantah setiap ucapan Nyonya Kenanga, seolah mereka tidak pernah sependapat. Lebih tepatnya, Vanilla selalu memiliki alasan agar ia bisa memancing emosi ibu tirinya.

Sungguh, Diego tidak peduli lagi dengan semuanya. Yang ia tahu, dadanya sedang bergemuruh hebat. Kedua tangannya mencengkeram pinggiran sofa erat-erat. Luka yang mati-matian ia sembuhkan, perlahan kini kembali menganga. Antara percaya dan tidak. Ah, bolehkah Diego berharap bocah di pangkuan Nona Catherine itu bukan Vanilla? Foto itu hanya kebetulan terpajang di kamar Vanilla, lagipula seorang gadis buta tidak akan pernah peduli pada suasana sekitarnya, bukan?

“Diego! Buka pintunya. Mama sudah pulang.” Terdengar suara lembut Vanilla diiringi ketukan pintu.

Diego menarik napas panjang, mencoba menetralkan emosi yang masih bercokol di hatinya. Lelaki itu membuka pintu dan menemukan Vanilla berdiri di depan kamar.

“Aku melihat pigura besar berisi foto seorang anak perempuan di pangkuan ibunya.” Diego mengatupkan rahangnya rapat-rapat. Katakan kau tidak tahu apa-apa, Vanilla! Katakan kau tidak pernah menyimpan foto masa kecilmu bersama ibumu di kamar ini!

“Itu fotoku bersama ibu kandungku.” Vanilla tersenyum tipis.

Senyuman yang menghancurkan perasaan Diego. Senyuman yang pada akhirnya memercikkan api dendam yang berkobar di dalam hati lelaki itu. Kenapa harus Vanilla?

Kenapa harus gadis yang mana Diego pernah menjanjikan banyak hal padanya? Mengenalkan dunia luar, melindunginya, menjaganya, bahkan menjadi mata kedua untuknya. Haruskah Diego mengingkari janjinya dan berbalik menyakiti dan melukainya? Oh, takdir seperti apa yang sedang digariskan oleh Tuhan?

“Aku pernah melarang Tuan Ramon memasang foto itu di kamar, tetapi Tuan Ramon selalu berkata, sebenci apa pun aku pada Mama, tidak akan ada yang bisa mengubah fakta bahwa darah ibuku mengalir deras di dalam tubuhku.” Vanilla tertawa miris.

“Tuan Ramon benar.” Diego menjawab dengan suara datar. “Dia wanita yang sudah melahirkanmu.”

“Oh ya, lasagna tadi terpaksa dibuang karena takut Mama curiga jika melihatnya. Kau mau makan apa? Biar aku meminta maid memasaknya untuk kita.”

“Tidak perlu. Aku harus pulang sekarang.”

“Kenapa buru-buru?”

“Ada urusan mendadak.”

“Oh, baiklah. Hati-hati di jalan, aku menunggumu cepat kembali.”

“Jangan pernah menungguku lagi.”

“Kenapa? Kau bilang akan mengajakku ke rumah sakit dan—“

“Sudah kukatakan, aku sibuk,” potong Diego ketus.

Vanilla nampak tertegun mendengar perkataan Diego. Bibir gadis itu setengah terbuka, ingin mengatakan sesuatu tetapi urung mengatakannya. Detik selanjutnya bibir indah itu kembali terkatup rapat. Dan sebelum Vanilla kembali mengajukan pertanyaan, Diego terlebih dulu menyela.

“Aku pergi sekarang. Goodbye!”

Tangan Diego terulur ingin mengusap kepala Vanilla dengan lembut, tetapi kenyataannya tangannya hanya bisa tertahan di udara. Hanya dalam hitungan jam, jarak seolah kian membentang jauh di antara mereka. Kedekatan yang selama ini terjalin, kini berbalik 180 derajat. Gadis di hadapannya bukan lagi Vanilla yang ia kenal, melainkan orang asing yang tidak seharusnya Diego temui.

Cukup. Diego tidak mampu lagi berdiri lebih lama di hadapan gadis berwajah polos itu. Tanpa menunggu kalimat yang akan diucapkan Vanilla, Diego cepat-cepat melangkah pergi. Meninggalkan seseorang yang belakangan ini mengisi kekosongan hatinya, sebelum ia khilaf dan mengambil pisau belati dari balik pakaian dan menghunjamkannya tepat ke jantung Vanilla.

🎻🎻🎻

To be Continued
05 Juni 2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro