Part 15
Tap!!!
Sebilah pisau belati menancap tepat di tengah papan target berbentuk lingkaran, setelah sebelumnya melesat dengan cepat. Lemparan Diego hampir tidak pernah meleset, selalu tepat sasaran pada titik hitam di bagian tengah papan.
Rahang tegas Diego mengeras. Ia selalu membayangkan papan target di depan sana adalah wanita yang sangat dibencinya. Sebuah kepuasan tersendiri seandainya saja ia bisa menancapkan belatinya di jantung orang yang sudah membuat Diego kehilangan kedua orang tuanya.
Terdengar seseorang bertepuk tangan memberi applause atas kepiawaian Diego melemparkan belati di tangannya. Tuan Gavin. Lelaki tua itu tertawa bahagia karena berhasil mendidik Diego menjadi seorang lelaki tangguh.
"Begitulah seharusnya seorang lelaki, Diego. Kau bisa membunuh lawanmu dari kejauhan. Itu poin terpenting dalam kehidupan. Singkirkan setiap orang yang berani menghalangi jalanmu." Tuan Gavin menepuk pundak cucunya dengan bangga.
"Habisi lawan sebelum dia sempat memberikan serangan, begitu kan?"
"That's my point." Tuan Gavin menyeringai lebar. "Ngomong-ngomong, kemarin ada yang melapor, katanya kau menyewa bioskop hanya untuk menonton dengan seorang gadis. Dia gadis yang membuatmu berkelahi karena memperebutkannya?"
"Kami hanya teman."
"Mana ada lelaki yang memperlakukan temannya seistimewa itu? Kau sedang mencoba mengambil hatinya? Kau jatuh cinta padanya?"
"Aish ... kenapa semua orang berkata tentang jatuh cinta?" dengus Diego.
"Jika kau serius dengannya, undang dia ke rumah. Aku harus memastikan apakah dia gadis baik-baik atau bukan."
"Sudah kukatakan, kami hanya berteman. Dan jika Kakek mencemaskan dia bukan gadis baik-baik, maka Kakek tidak perlu cemas. Dia bahkan tidak tahu cara berciuman."
"Gadis polos? Kalau begitu kau harus berhati-hati. Gadis itu seperti kertas putih, dan kau yang akan menjadi tintanya."
"Lalu?"
"Hanya akan ada 2 hal yang terjadi. Kau mengotori lembaran kertas putih itu, atau kau melukisnya dengan indah. Dan jika kau melakukan opsi ke-2, aku pastikan kau akan terjebak dalam keindahan yang kau ciptakan sendiri."
Diego mengerutkan dahi. "Maksudnya?"
"Kau jatuh cinta padanya."
"Omong kosong macam apa itu, Kek?" Diego tertawa.
"Mencoba menyangkal? Terserah. Tapi 1 hal yang harus selalu kau ingat. Saat ini kau boleh bercinta dengan para gadis sebanyak yang kau mau. Namun, ketika kau sudah terikat dalam pernikahan, kau harus setia pada istrimu. Aku tidak ingin tragedi 17 tahun yang lalu terulang lagi."
Tuan Gavin menghampiri meja di sudut ruangan dan mengambil sesuatu dari laci. Sebuah pistol berwarna hitam. Benda yang menjadi saksi bisu atas kematian putrinya dan menantunya. Ia mengokang pistol itu dan mengarahkannya pada papan target. Tangannya yang mulai keriput, menarik pelatuk hingga timah panas meluncur dengan cepat dan melubangi garis hitam di dekat belati yang ditancapkan Diego.
"Kakek selalu mengisi pistol itu dengan peluru." Diego membuka kaleng bir dan menenggak cairan di dalamnya.
"Karena aku selalu berharap bisa membalaskan kematian putriku."
"Wanita yang seharusnya bertanggung jawab atas apa yang terjadi, sudah mendapatkan karmanya sendiri. Jadi sebaiknya Kakek simpan pistol itu, jangan sampai melukai seseorang yang tidak semestinya."
Tuan Gavin mengusap pistol di tangannya dengan hati-hati. "Kalau saja wanita jalang itu masih hidup. Aku akan membunuh putrinya sehingga dia tahu bagaimana terlukanya hatiku saat aku kehilangan satu-satunya putriku."
"Bersyukurlah karena kenyataannya kita tidak perlu mengotori tangan kita. Wanita jalang itu sudah mendapatkan karmanya." Diego menepuk pundak kakeknya, kemudian menghampiri treadmill di ruang gym itu.
Diego berlari di atas treadmill, mencoba meredakan emosi yang meledak di hatinya. Sialnya, lelaki itu tidak merasa tenang juga. Belasan tahun ia menyimpan dendam yang tidak seharusnya. Bukankah seharusnya dia mengubur dendam itu dalam-dalam ketika tidak ada lagi tempat dia melampiaskan dendamnya? Tapi kenyataannya, dendam itu justru serupa pohon yang semakin lama akarnya tumbuh semakin dalam, menjalar ke seluruh pembuluh darahnya.
Mata tajam Diego melirik pada pisau yang masih tertancap di papan target dengan kebencian yang mendalam. Masa lalu itu terlalu menyakitkan baginya.
🎻🎻🎻
"Nona Vanilla, kau baik-baik saja?" Andesta tergopoh-gopoh menghampiri nonanya yang sudah terduduk di tengah ranjang.
"Di mana aku?" tanya Vanilla dengan napas terengah-engah. Keringat dingin menetes di dahinya. Jemari lentiknya bergerak menjalari dada kirinya, mencari-cari pisau yang beberapa saat lalu menancap di sana.
"Sepertinya kau mimpi buruk." Andesta bergegas mengambil botol air mineral dari atas nakas dan membuka tutupnya. "Minumlah."
Vanilla menerima botol yang disodorkan padanya, lalu meminumnya beberapa teguk. "Jadi ini ... hanya mimpi?"
"Kau berteriak meminta tolong. Aku pikir terjadi sesuatu padamu. Untunglah itu hanya mimpi."
"Hanya mimpi," lirih Vanilla.
"Tidurlah, Nona. Ini masih larut malam. Kau bermimpi buruk pasti karena terlalu kelelahan setelah berjalan-jalan dengan Tuan Diego." Andesta membantu Vanilla kembali berbaring, kemudian merapikan selimut di tubuh gadis itu.
"Sebelum tidur, pastikan pintu dan jendela dalam keadaan terkunci."
"Sudah." Pandangan Andesta terarah pada ujung jari Vanilla. Ada sisa darah yang sudah mengering di sana. "Tanganmu terluka, Nona? Aku akan mengambil obat."
"Tidak usah. Hanya sedikit tergores duri mawar."
"Oh, astaga. Maaf, seharusnya aku tidak meletakkan tangkai mawar yang masih berduri di kamarmu. Aku akan menyingkirkannya sekarang." Andesta mengambil vas bunga dari atas nakas dan bersiap membawanya pergi.
"Biarkan mawar itu tetap di sana. Aroma harum itu membuatku merasa tenang."
Andesta mengerutkan dahi, ia kembali meletakkan vas di tempat semula. "Untuk apa mempertahankan sesuatu yang membuatmu terluka? Hanya karena dia istimewa bagimu? Padahal dia berpotensi menciptakan luka yang lainnya."
"Justru karena luka itu, aku jadi bisa lebih berhati-hati agar tidak terluka lagi."
"Kalau begitu aku pergi sekarang. Selamat beristirahat, Nona." Andesta keluar dari kamar Vanilla dan menutup pintunya. "Orang yang sedang jatuh cinta memang sulit dimengerti."
Sementara itu, Vanilla berusaha memejamkan mata lagi, tetapi ia tidak kunjung tertidur. Sekali lagi ia meraba dada kirinya. Hanya mimpi tapi terasa seperti nyata. Ia bahkan masih mengingat jelas bagaimana pisau itu berkilat tajam, lalu lelaki asing yang menghampirinya di dalam kegelapan.
"Kau ... pantas mendapatkan hukuman ini!"
Suara itu terdengar sangat jelas. Dan kenapa Vanilla merasa tidak asing dengan suara itu? Hukuman? Kesalahan apa yang Vanilla perbuat sehingga ia harus mendapatkan hukuman itu?
***
"Itu hanya mimpi. Jangan terlalu dipikirkan," ucap Diego ketika Vanilla menceritakan mimpi buruknya.
"Tapi terasa sangat nyata. Pisau yang berkilat, serta tatapan mata tajam penuh kebencian milik lelaki itu. Lalu, pisau yang kemudian menembus dadaku, aku masih bisa membayangkan rasa sakitnya hingga saat ini. 2 minggu ini aku hampir tidak bisa tidur karena teringat mimpi itu."
"Apa yang kau takutkan, hum?" Diego menepuk pipi Vanilla dengan lembut. "24 jam kau selalu dikelilingi bodyguard yang akan selalu melindungimu. Dan ketika kau pergi bersamaku pun, aku siap bertaruh nyawa untukmu."
"Bagaimana jika di antara mereka ada yang berkhianat?"
"Tuan Ramon sangat menyayangimu. Untuk menjadi bodyguard-mu pasti harus melewati seleksi yang ketat. Jadi, Tuan Ramon tidak akan pernah salah memilih. Mereka orang-orang yang setia pada nonanya."
"Semoga saja."
"Lupakan mimpi buruk itu. Rileks. Kita akan melakukan sesi pemotretan."
Hari itu, Diego mengajak Vanilla ke studio photo miliknya. Untuk kedua kalinya, lelaki itu berhasil mengelabui para pengawal dan membawa Vanilla kabur dari villa. Para pengawal tidak pernah memeriksa mobil Diego, sehingga sangat memudahkan Diego membawa Vanilla pergi meski tanpa bantuan Pedro.
"Sudah kukatakan aku tidak tahu cara berpose di depan kamera," protes Vanilla.
"Tidak perlu berpose seperti model professional. Aku menyukai gaya naturalmu, itu sudah cukup."
"Kenapa kau bersikeras ingin memotretku?"
"Aku ingin mengabadikan wajahmu di dalam gambar. Aku bisa memajang fotomu di studio, bersanding dengan foto-foto modelku yang lain."
"Aku tidak cukup pantas bersanding dengan model-model itu."
"Kata siapa? Kau tidak kalah cantik dari mereka. Kau terlihat sempurna dilihat dari angle manapun."
"Baiklah, terserah kau saja."
"Bagus. Sekarang kau duduk saja di kursi. Aku akan memotretmu dari berbagai sudut." Diego membantu Vanilla duduk di kursi yang sudah disiapkan.
Setelah mengatur pencahayaan di ruangan yang tidak terlalu luas itu, Diego mengambil kamera miliknya dan bersiap memotret foto modelnya. Dari balik lensa kamera, Diego mengamati gadis itu. Duduk dengan anggun di tengah ruangan. Dress selutut bermotif bunga sakura yang dikenakan sangat cocok melekat di tubuh indahnya.
Rambut panjangnya digulung ke atas secara asal, menyisakan beberapa helai rambut yang menjuntai di pipinya. Leher jenjangnya terlihat mulus, kulit lembut yang belum pernah seorang lelaki pun menjamahnya.
Oh, astaga! Diego menggelengkan kepalanya, berusaha mengusir pikiran kotor yang hampir menguasai otaknya. Ia bergegas menyelesaikan tugasnya sebagai seorang photographer. Memotret gadis yang duduk dengan tatapan kosong, tanpa senyuman yang menghiasi bibirnya. Cantik. Indah. Sempurna. Persis seperti berlian yang berada di dalam kotak kaca.
🎻🎻🎻
To be Continued
17 Mei 2023
Halo.. Lama gak menyapa kalian di sini
Jangan lupa vote & komen ya
🥰🥰🥰
Yang mau baca duluan bisa ke KaryaKarsa udah sampai Part 22
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro