Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 13

Suara speaker bioskop membelah ruangan yang semula sunyi. Di ruangan yang gelap tanpa penerangan cahaya lampu—hanya cahaya dari layar besar di bagian depan—hanya terisi 2 orang penonton. Mereka duduk bersisian di deretan bangku paling tengah. Seorang lelaki dan seorang gadis berkacamata hitam.

Gadis itu berjengit, sedikit terkejut mendengar musik yang mengalun dengan keras. Sesuatu tidak biasa ia dengar. Namun, si lelaki refleks meraih tangan gadis itu dan menggenggamnya.

"Tidak apa-apa, Vanilla." Diego menenangkan. "Film-nya sudah dimulai."

"Sudah dimulai? Tapi aku tidak mendengar suara pengunjung lain di sini."

"Memang tidak ada. Hanya kita berdua."

"Kenapa bisa begitu?

"Mungkin tidak ada yang tertarik pada film ini."

"Oh ...."

Tentu saja Diego hanya membohongi Vanilla. Bagaimana seandainya gadis itu tahu bahwa sudah sejak beberapa hari lalu Diego menyiapkan semuanya. Menyewa bioskop untuk menonton bersama Vanilla. Diego ingin membuat gadis itu nyaman, dan ia juga bebas menjelaskan setiap adegan tanpa ada penonton lain yang terganggu. Yeah, diam-diam Tuan Muda mulai menunjukkan kekuasaannya.

"Seperti apa tokoh utama wanita di dalam film?" Vanilla mulai terbiasa oleh suara keras yang didengarnya.

"Tubuhnya tidak terlalu tinggi, rambut hitamnya tergerai di punggung, berpenampilan sederhana tetapi justru di sanalah letak daya tariknya. Dia cantik meski jauh dari kata glamour."

"Tokoh laki-laki pasti sangat tampan."

"Tubuhnya tinggi tegap. Dadanya bidang, wajahnya berahang tegas dengan hidungnya yang mancung. Dia terlihat dingin, tetapi sekalinya tersenyum, gadis-gadis akan pingsan dibuatnya."

Vanilla tertawa. "Mungkinkah dia setampan pangeran-pangeran di dalam dongeng."

"Lebih tepatnya tampan sepertiku."

"Wow, kau sangat percaya diri, Tuan."

"Kau tidak percaya?"

"Kau bisa membohongiku karena aku memang tidak bisa melihatmu. Apakah kau benar-benar berahang tegas, berhidung mancung, dan setampan itu."

"Kau memang tidak bisa melihat, tapi kau bisa menyentuh wajahku agar kau percaya aku tidak sedang membohongimu."

"Bolehkah menyentuhmu?"

"Kau butuh bukti, bukan? Nah, sentuhlah sepuasmu."

Vanilla tidak berkutik ketika tiba-tiba Diego menarik tangannya dan meletakkannya di wajah lelaki itu. Sesaat Vanilla terdiam, dan di detik berikutnya ia mulai memberanikan diri meraba apa yang terlanjut disentuhnya. Persis seperti yang dikatakan Diego, rahang lelaki itu terasa kokoh dengan bulu-bulu halus yang tercukur rapi.

Vanilla menggigit bibirnya, entah kenapa mendadak jantungnya berdebar begitu kencang. Tapi, rasa penasaran akan wajah Diego membuat jemari lentik gadis itu kembali meraba wajah Diego. Kali ini ia menyentuh pipi, tidak sehalus kulit seorang gadis, tetapi Vanilla yakin tidak ada jerawat yang menodai wajah lelaki itu. Ketika sampai pada tulang hidung, Vanilla menghentikan gerakannya.

Gadis itu tersenyum. "Kau tidak berbohong. Hidungmu memang semancung ini."

Tidak ada sahutan. Dan Vanilla memutuskan menggerakkan jemarinya sedikit ke bawah. Merasakan bibir yang tidak terlalu tebal, tetapi juga tidak terlalu tipis. Sangat pas dengan proporsi wajah lelaki itu. Kumis yang tercukur rapi melintang di bagian atasnya.

"Aku rasa kau lebih tampan dari pangeran di dalam dongeng." Suara Vanilla tercekat. Jemarinya masih menyentuh bibir Diego. Satu hal yang tidak ia mengerti. Kenapa jantungnya masih saja berdetak terlalu kencang?

"Kita terlalu lama mengabaikan alur film-nya, Nona." Diego menyingkirkan tangan Vanilla dengan lembut. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan hatinya. Debaran sialan itu datang lagi. Huh, bagaimana mungkin lelaki yang sudah berpengalaman menaklukan para wanita seperti Diego bisa merasakan serupa perasaan gelisah hanya karena seorang gadis polos menyentuh wajahnya?

Tidak. Diego tidak akan menyebut bahwa gadis itu sudah menaklukan hatinya. Ia pasti hanya sedang terbawa suasana romantis dari musik film yang mengallun merdu memenuhi gedung bioskop. Oh, shit! Untuk pertama kali dalam hidupnya, Diego begitu menikmati sentuhan lembut seorang gadis. Dan sialnya, gadis itu sama sekali tidak masuk kriteria wanita idamannya.

Diego menyukai wanita berpenampilan glamour, pandai berlenggak-lenggok di atas catwalk dengan tubuh indahnya. Dan sekarang, apa? Diego melirik gadis di sampingnya. Inikah gadis yang beberapa saat lalu berhasil membuat Diego hampir tidak bisa mengendalikan hatinya? Wajah polos tanpa make up itu kini tertunduk, berulangkali menggigiti bibir bawahnya seolah sedang mengusir rasa gelisahnya.

Jangan bilang jika gadis itu juga merasakan debaran yang sama! Diego lekas menggeleng, membuang pikiran itu jauh-jauh. Diego yakin gadis itu tidak merasakan apa pun, sentuhan itu pasti sama sekali tidak berarti bagi gadis yang belum memahami sepenuhnya apa itu cinta. Tidak mengerti apa itu hasrat. Gadis itu pasti benar-benar polos seperti bayi.

"Kau tidak jadi menceritakan setiap adegannya?" Gadis itu membuka suara. Mencoba mengingatkan Diego.

"Ah, maaf. Aku lupa."

Lalu, Diego mulai menceritakan setiap scene yang terpampang di layar bioskop. Vanilla nampak fokus menyinkronkan cerita Diego dengan dialog yang terdengar dari speaker.

Diego menepati janjinya untuk menjadi mata kedua bagi Vanilla. Dan lelaki itu nampak begitu tulus melakukannya. Atas dasar rasa iba. Tentu saja itu dahulu, waktu pertama kali Diego bertemu Vanilla. Karena sedikit demi sedikit, perasaan itu mulai berubah. Tanpa ia sadari.

"Laki-laki itu cemburu karena gadisnya diam-diam bertemu dengan lelaki lain," ucap Diego, menceritakan alur film. "Dia menarik gadis itu dengan kasar, lalu menangkup wajahnya dan memandangnya dengan tatapan kemarahan."

Vanilla melepas kacamata hitamnya, merasa tidak nyaman dengan keberadaan benda itu. Ia lebih memilih untuk meletakkannya di pangkuan.

"Menangkup wajah? Bagaimana maksudnya?"

"Kau tidak mengerti? Oke, biar aku tunjukkan padamu. Menangkup wajah seperti ini." Diego menarik bahu Vanilla agar gadis itu menghadap ke arahnya, lalu lelaki itu meletakkan tangannya di kedua pipi yang lembut itu.

Gadis itu tersentak, tetapi berusaha untuk tetap tenang. Sedangkan Diego sendiri justru terpaku pada wajah polos di antara kedua tangannya. Di antara cahaya redup ruangan, wajah itu nampak memancarkan kecantikannya. Baru kali ini Diego bisa menatap wajah Vanilla dari jarak sedekat itu. Dan lagi, detak jantungnya mulai tidak terkendali. Perasaan apa ini?

Ah, Diego bukan tidak mengerti. Lelaki itu hanya berusaha mengingkari. Dia bukan lelaki bodoh yang tidak memahami apa artinya ketika jantungnya berdetak kencang saat berada di dekat seorang gadis. Selebihnya, karena dia lelaki yang sudah berpengalaman, maka sebisa mungkin ia memadamkan percikan api yang mulai membakar tubuhnya. Tidak akan pernah ada cinta di antara mereka. Tidak boleh ada hasrat yang mungkin saja akan menjerumuskan mereka ke lembah dosa.

"Lalu ... setelah menangkup wajah, apa yang lelaki itu lakukan?" Pertanyaan Vanilla menyentak kesadaran Diego.

"Lelaki itu ... mencium kekasihnya."

Refleks, Diego mendekatkan wajahnya ke wajah Vanilla, ingin menunjukkan apa yang sedang dilakukan oleh sepasang tokoh utama di dalam film. Namun, setitik kesadaran membuat Diego menahan diri. Dia tidak boleh menyentuh berlian yang berkilau di dalam genggamannya.

Keduanya terdiam. Wajah yang saling berdekatan itu seolah membeku dalam kesunyian. Diego mencoba menetralkan napasnya yang memburu, tetapi sialnya aroma lavender dari rambut gadis itu terasa begitu menggoda. Seberapa kuat magnet yang dimiliki gadis polos itu? Kenapa daya tariknya begitu kuat dan hampir membuat Diego lupa diri?

Lihatlah bibir sensual yang setengah terbuka itu. Seperti sekuntum mawar yang merekah dengan indahnya. Bukankah terlalu sayang untuk dilewatkan? Diego bahkan yakin belum ada lelaki manapun yang menyentuh bibir gadis itu.

Jika Diego menciumnya, bukankah itu suatu kebanggaan tersendiri karena bisa menjadi tangan pertama? Persetan dengan gadis polos dan tidak masuk kriteria wanita idaman Diego! Diego hanya perlu sedikit merunduk dan hanya dalam hitungan 1 detik ia bisa mencicipi manisnya bibir indah itu.

"Kau ... terlalu keras menangkup wajahku, Diego," lirih Vanilla.

"Maaf." Diego buru-buru menarik tangannya dan menjauhkan wajahnya. "Aku hanya ingin menunjukkan apa yang aku lihat di dalam film. Tapi, tentu saja tidak semuanya. Aku tidak mungkin mempraktekkan bagaimana lelaki itu mencium kekasihnya, bukan?"

Diego tertawa, mencoba mencairkan suasana. Ah, tidak. Diego sedang berusaha menenangkan dirinya. Bagaimana mungkin dia hampir saja melewati batasan yang seharusnya tercipta di antara mereka?

"Tidak perlu menunjukkannya. Seorang teman tidak mungkin mencium temannya yang lain." Gadis itu tertunduk sembari mengulum bibirnya. Berusaha memahami perasaan apa yang beberapa saat lalu tiba-tiba menyelinap ke dalam dirinya. Perasaan aneh yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Sentuhan Diego serupa arus listrik yang seketika menjalar di sekujur tubuh Vanilla. Dan jantungnya yang berdetak tidak terkendali seolah hampir melompat dari tempatnya. Oh, apa yang sebenarnya sedang ia rasakan?

🎻🎻🎻

To be Continued
04 April 2023

Di KaryaKarsa udah sampai Part 18 ya

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro