Part 12
"Turun!" Seorang pengawal mengetuk pintu mobil dengan kasar.
Vanilla sudah hampir kehilangan harapan. Ia hampir saja beranjak dari posisinya dan balas menghardik pengawal keras kepala itu. Tapi, ia teringat pesan Diego agar tidak bersuara apa pun yang terjadi.
"Biarkan mobil itu pergi. Nona Vanilla sudah memerintahkan agar kita tidak perlu lagi memeriksa mereka saat masuk maupun keluar."
Vanilla menghela napas lega. Ia mengenal suara baritone yang baru saja berbicara. Tuan Ramon.
"Terima kasih, Tuan Ramon," ucap Diego.
Usai Diego mengucapkan terima kasih, Vanilla kembali merasakan sedikit guncangan. Mobil kembali berjalan, meninggalkan Villa.
"Kita selamat." Diego tertawa senang.
***
Diego melepas sabuk pengaman di tubuhnya. Ia sudah memarkirkan mobilnya di depan sebuah toko kue. Tidak terasa, 2 jam berlalu begitu saja. Perjalanan yang tidak terlalu melelahkan berkat kehadiran Vanilla.
Diego menoleh ke samping, Vanilla tertidur setelah sepanjang jalan sibuk berceloteh tentang berbagai macam hal. Dia bukan lagi gadis acuh tak acuh yang selalu bersikap dingin pada orang-orang di sekitarnya. Harus Diego akui, semakin lama mengenal Vanilla, gadis itu semakin terlihat menyenangkan.
"Kita sampai. Bangunlah, Vanilla."
Tidak ada jawaban. Vanilla masih terlelap dengan nyaman di kursinya. Matanya terpejam rapat, dadanya bergerak naik turun seiring napasnya yang menderu teratur. Diego hampir tidak berkedip mengawasi gadis itu. Wajah polos itu terlihat menggemaskan ketika sedang terlelap. Dan bibirnya yang berwarna pink itu ... ah ... Diego cepat-cepat memalingkan pandangan. Belakangan ini, pandangannya memang sering tertuju pada bibir yang ... menggoda?
Ah, ayolah! Jangan gila, Diego! Vanilla bukan gadis-gadis nakal yang selalu mendamba ciuman seorang lelaki.
Wait! Berbicara tentang ciuman, Diego adalah lelaki normal. Jadi, wajar jika dia tertarik pada bibir sensual milik Vanilla. Tapi, ia masih bisa menjaga diri. Ia selalu mengingat 1 hal, Vanilla adalah sebuah berlian di kotak kaca. Hanya bisa dilihat tanpa bisa menyentuhnya. Gadis suci yang sudah sepatutnya dijaga.
Ah ya, jika dulu Diego berkata dia tidak akan pernah tertarik pada gadis seperti Vanilla, sepertinya dia harus mengubah pendapatnya. Sekali lagi dia mengakui kebenaran kalimat Pedro. Vanilla seorang gadis yang sangat menarik di balik keterbatasannya.
"Bangunlah, Vanilla. Kita sudah sampai di toko kue." Diego menepuk pundak Vanilla pelan.
Gadis itu menggeliat, matanya terbuka. "Oh ... aku ketiduran."
"Kalau masih lelah, kau bisa tidur lagi. Masih ada waktu 2 jam lagi sebelum kita pergi ke bioskop."
"Aku terlalu bersemangat sampai tidak mengantuk lagi. Kita ke toko kue sekarang."
"Aku akan membantumu melepas seatbelt."
"Terima kasih."
"Jangan terlalu sering mengucapkan terima kasih. Aku bosan mendengarnya." Diego melepas sabuk pengaman di tubuh Vanilla, kemudian keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk gadis itu. "Tidak usah membawa tongkat. Selama kau berada di sisiku, aku akan menjadi mata kedua untukmu."
Terdengar manis, bukan? Tapi, seharusnya Diego tidak perlu mengucapkan kalimat itu. Tidak tahukah dia bahwa gadis yang kini berjalan sembari bergandengan tangan dengannya, diam-diam tersipu dan kedua pipinya bersemu merah? Kehidupannya yang semula kosong, mendadak banyak bunga-bunga indah bermekaran di dalam hatinya.
Untuk pertama kalinya, Vanilla berjalan berdampingan dengan seorang lelaki. Persis seperti seorang gadis yang sedang bergelayut manja di lengan kekasihnya. Meski ia tidak bisa melihat, tetapi ia tidak merasa takut pada apa pun, karena ia tahu akan ada seorang lelaki hebat yang kini sedang menjaganya.
"Hati-hati, 3 langkah di depan ada 5 buah anak tangga," ujar Diego.
Vanilla bergumam. Menghitung dalam hati. Diego dengan telaten mengikuti lagkah gadis itu. Menaiki tangga, untuk kemudian memasuki sebuah toko kue yang cukup besar.
Diego menarik sebuah kursi dan membantu Vanilla duduk di sana. Lalu, ia memanggil waitress dan memesan beberapa jenis kue. Tidak perlu menunggu lama, pesanan mereka datang. Waitress menyajikan piring-piring kecil berisi potongan kue. Red velvet cake, lemon cake, choco lava cake, cheese cake, dan matcha cake. Beberapa potong cupcakes juga tersedia di atas meja.
"Mau coba yang mana dulu?" tanya Diego setelah waitress berlalu pergi.
"Terserah kau saja."
"Red velvet cake ada tepat di depanmu. Dan ini sendoknya." Diego menyentuh tangan Vanilla dan meletakkan sebuah sendok di sana. "Kue berwarna merah, di bagian tengahnya dan permukaannya ada lapisan cream serta taburan keju. Ada buah cerry juga di atasnya."
Vanilla mulai menyendok kue dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Sesaat ia terdiam, menikmati rasa manis khas red velvet cake yang berpadu dengan cream lembut, sangat memanjakan lidah.
"Wow, enak sekali. Ini kue terenak yang pernah aku makan."
"Sudah kuduga, kau akan menyukainya."
Vanilla tidak banyak berkata-kata. Ia menikmati kue-kue yang lezat itu. Selama di villa, ia sangat jarang menyantap makanan-makanan semacam ini. Entah kenapa para pelayan lebih senang menyajikan menu-menu makanan sehat.
Diego sama sekali tidak menyentuh kue yang terhidang di atas meja. Ia duduk bersandar di kursi dengan kedua lengan kekarnya menyilang di depan dada. Mata tajamnya menghunjam pada gadis di hadapannya, lelaki itu bahkan seolah tidak peduli pada keramaian di sekitarnya. Sore itu, toko kue memang sedang kebanjiran pengunjung.
Peduli apa pada orang-orang yang berulangkali melirik dengan sudut mata mereka? Bahkan beberapa orang laki-laki terang-terangan menoleh pada gadis berambut panjang dengan sedikit rona merah yang menjalar di kedua pipinya. Terlihat menarik, tentu saja. Dan Diego lekas memberikan tatapan tajam pada lelaki brengsek yang berani memandangi wajah Vanilla-nya dengan tatapan seintens itu.
Yeah, tanpa disadari Diego mulai possessive pada gadis itu. Vanilla-nya? Oh, seolah-olah gadis itu memang sudah menjadi miliknya dan tidak ada lelaki lain yang boleh menikmati keindahan dalam setiap detail wajah polos tanpa make up itu.
"Choco lava cake." Diego menggeser piring kosong dari hadapan Vanilla dan menggantinya dengan yang lain. "Kue dengan lelehan cokelat di dalamnya. Ada potongan stroberi di bagian atasnya."
"Wow, pasti enak. Tapi kenapa sejak tadi kau tidak makan?"
"Aku tidak terlalu suka makanan manis. Melihatmu makan saja sudah membuatku kenyang."
"Oh, sayang sekali. Padahal kue-kue ini sangat lezat."
"Nikmatilah. Setelah ini kita ke bioskop. Ada film romance terbaru. Aku rasa sudah saatnya kau meninggalkan Princess-Princess Disney favoritmu dan beralih pada film romansa."
"Film apa pun akan terdengar sama bagiku. Aku hanya bisa mendengar para tokoh berbicara, tidak mengerti apa yang mereka lakukan." Vanilla mulai menikmati choco lava cake di hadapannya.
"Kalau begitu aku yang akan mendeskripsikan setiap adegannya secara detail, agar kau bisa memiliki bayangan."
"Sungguh?"
Diego menangkap binar indah pada mata dengan tatapan kosong gadis itu. Dan kenapa itu membuat hati Diego berdebar lembut? Seolah ada magnet di dalam mata yang memancarkan daya tarik tersendiri. Gadis itu sangat manis, semanis kue cokelat yang sedang dinikmatinya.
Diego menarik napas panjang, berusaha menetralkan debaran sialan di dadanya. Oh, shit! Bagaimana mungkin ia bisa merasa serisau ini hanya karena melihat cara gadis itu menikmati makanannya? Lihatlah, Vanilla terlihat begitu anggun sekalipun sudut bibirnya mulai kotor oleh lelehan saus cokelat.
Diego menyugar rambutnya, gelisah. Matanya masih tertuju pada wajah Vanilla, tetapi otaknya mulai berkelana. Bagaimana rasanya jika dia menjilat sisa-sisa lelehan cokelat di bibir sensual gadis itu? Pasti lebih nikmat dari rasa choco lava itu, bukan? Sesuatu yang lembut, manis, dan ... menggairahkan?
Double shit! Apa yang kau pikirkan Diego? Kenapa tiba-tiba otakmu bisa sekotor itu?
"Masih ada matcha cake dan cheese cake, letaknya di arah jam 1. Kau bisa menghabiskannya. Aku ingin merokok sebentar di luar ruangan. Kalau kau butuh bantuan, lambaikan saja tanganmu. Aku mengawasimu dari luar."
"Oke, tapi jangan lama-lama. Aku tidak terbiasa berada di tempat umum, ini membuatku merasa sedikit tidak nyaman."
"Hanya sebatang, setelah itu aku kembali ke sini."
Vanilla mengangguk. "Kenapa tiba-tiba sekali? Biasanya kau tidak pernah merokok ketika sedang bersamaku."
Untuk menenangkan kegilaanku, karena hampir tergoda oleh gadis polos sepertimu.
Tentu saja Diego hanya mengucapkan kalimat itu dalam hati. Tubuh tinggi tegap itu meraih bungkus rokok dari saku celana dan berlalu pergi meninggalkan vanilla.
🎻🎻🎻
To be Continued
27 Maret 2023
Di KaryaKarsa udah sampai Part 16 ya
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro