PART 10
Di KaryaKarsa udah sampai Part 14 ya..
🎻🎻🎻
JAKARTA, 25 Januari 2004
Seorang gadis kecil berusia 4 tahun duduk dengan manis di depan meja rias. Mata cokelat beningnya menatap bayangan wajah cantiknya di dalam cermin. Ia memperhatikan ibunya yang dengan telaten mengepang rambut panjangnya.
"Ma, anak haram itu artinya apa?" Sebuah pertanyaan tercetus dari bibir mungil itu.
Ibunya yang bernama Catherine, sontak menghentikan gerakan tangannya. Ia menatap tajam putrinya melalui cermin. "Siapa yang mengajarimu kata-kata itu, Vanilla?"
"Kemarin aku bermain dengan teman-teman. Kata mereka, aku anak haram."
"Jangan dengarkan mereka." Tangan Catherine kembali mengepang rambut Vanilla, kali ini gerakannya agak kasar. "Mereka hanya iri karena kau memiliki wajah paling cantik di antara mereka."
"Oh ya?" Vanilla mengerjapkan kelopak matanya, meyakinkan diri sendiri apakah dia memang secantik yang dikatakan ibunya.
"Berkulit putih, hidung mancung, wajah lembut dengan sedikit rona kemerahan di pipi, bulu mata lentik, alis tebal, bibir indah, dagu lentik, dan rambut yang hitam lurus." Catherine berucap menggunakan satu tarikan napas, ada sedikit emosi yang membuat suaranya bergetar. "Tidak ada anak perempuan yang secantik dirimu di tempat ini."
Hening. Gadis kecil itu memperhatikan wajahnya sendiri dengan lebih detail. Semua yang dideskripsikan Catherine beberapa saat lalu adalah benar. Cantik seperti Princess di dalam dongeng, itu yang sering diucapkan ibunya.
"Ma, semua teman-temanku memiliki ayah. Kenapa aku tidak?" Sebuah pertanyaan kembali terceletuk dari bibir mungil Vanilla.
Catherine menghela napas kasar. "Semua anak yang dilahirkan di dunia ini pasti memiliki ayah."
"Lalu di mana ayahku sekarang?"
"Kau terlalu sering bertanya tentangnya. Sudah Mama katakan berulangkali, ayahmu sudah meninggal."
"Kenapa Mama tidak pernah mengajakku pergi ke makam ayah?"
"Vanilla, ini untuk terakhir kalinya kau bertanya tentang ayahmu. Dan mulai sekarang, jangan pernah bermain di luar rumah lagi."
"Tapi Ma-"
"Jangan membantah!" Nada suara Catherine meninggi. "Besok Mama akan membuatkan jadwal untukmu. Home schooling dan les private biola di rumah."
Vanilla yang tidak mengerti apa itu home schooling, tidak berani membantah ucapan ibunya lagi. Gadis kecil itu tidak mengerti kenapa ibunya selalu marah ketika dia bertanya tentang ayahnya. Salahkah Vanilla jika dia ingin tahu keberadaan ayahnya?
"Malam ini Mama sibuk. Nanny yang akan menemanimu tidur." Catherine mengenakan mini dress warna merah, kemudian memakai high heels warna senada. Ia berdiri di depan cermin sembari memoles bibirnya dengan sapuan lipstik tebal.
"Kenapa Mama jarang di rumah? Mama selalu saja pulang pagi. Padahal aku ingin Mama membacakan dongeng sebelum tidur, seperti yang sering nanny lakukan."
Terdengar helaan napas kasar dari mulut Catherine. Wanita itu membungkuk, menyejajarkan wajahnya dengan wajah Vanilla. Bibir serupa delima merekah itu memaksakan diri untuk tersenyum. Jemarinya yang lentik membelai kepala putrinya.
"Mama sibuk bekerja untuk mempersiapkan biaya pendidikanmu, Sayang. Kau harus menjadi anak pintar dan kelak menjadi orang sukses. Cita-citamu ingin menjadi dokter kan? Akan membutuhkan biaya yang sangat besar agar kau bisa kuliah di jurusan kedokteran."
Mata jernih Vanilla mengerjap. "Kalau begitu aku tidak ingin menjadi dokter lagi agar Mama tidak usah repot-repot cari uang. Aku ingin menjadi pemain biola saja."
"Sayang, kau masih terlalu kecil untuk bisa mengerti kehidupan orang dewasa. Suatu saat nanti kau akan tahu, Nak. Mama melakukan semua ini karena menyayangimu. Mama ingin memberikan kehidupan yang baik untukmu. Jadilah anak yang penurut, dan raih cita-citamu setinggi mungkin."
"Aku juga sayang Mama."
Catherine memeluk tubuh mungil putrinya erat-erat. "Terima kasih sudah hadir dalam hidup Mama, Nak. Kau adalah satu-satunya alasan Mama ingin terus bertahan hidup."
🎻🎻🎻
"Kau menyebutku sebagai seorang gadis yang istimewa, itu tidak benar. Aku terlahir dari sebuah kesalahan. Seorang bayi yang terlahir tanpa seorang ayah. Jika kau tidak ingin berteman denganku lagi karena asal usulku yang hina, kau bisa mundur sekarang." Vanilla meletakkan biola di atas pangkuannya.
Seperti biasa, dia baru saja selesai memainkan biola sebagai imbalan atas bunga mawar dan biskuit cokelat yang diberikan oleh Diego.
"Semua bayi terlahir dalam keadaan suci. Yang salah adalah perbuatan kedua orang tuanya. Aku tidak pernah mempermasalahkan asal usul seseorang, selagi dia memiliki pribadi yang baik."
"Aku sangat membenci ibuku. Kalau saja dia tidak pernah melahirkanku, maka aku tidak akan merasakan penderitaan seperti ini."
"Jangan pernah menyalahkan takdir. Dan kau tidak semestinya membenci ibumu. Dia wanita yang hebat. Di saat dia memiliki opsi untuk melenyapkan benih yang tumbuh di rahimnya, dia tetap memutuskan untuk melahirkanmu ke dunia. Artinya dia sangat menyayangimu."
"Untuk apa terlahir jika hanya untuk merasakan luka yang menyakitkan?"
"Kau tercipta bukan tanpa alasan. Suatu saat nanti kau akan mendapatkan jawaban atas pertanyaanmu."
"Kau selalu memberikan penilaian positif pada setiap orang, seburuk apa pun dia. Apa kau memang tidak pernah membenci seseorang?"
Angin berembus kencang. Dahan-dahan pohon sakura bergerak seiring arah angin. Kelopak-kelopak berwarna pink kembali berguguran. Diego menengadahkan kedua tangan, membiarkan bunga-bunga itu berjatuhan di telapak tangannya, seperti yang biasanya dilakukan Vanilla.
"17 tahun yang lalu aku pernah membenci seseorang. Bahkan hingga detik ini, aku tidak pernah bisa menyingkirkan kebencianku pada wanita itu. Tapi sayangnya, dia sudah terlebih dulu meninggal sebelum aku sempat membalas dendam. Sebuah kecelakaan mobil menewaskan dia dan keluarganya."
"Artinya sampai saat ini kau masih menyimpan dendam itu? Seandainya dia masih hidup, apa yang akan kau lakukan?"
"Menghancurkan semua yang dia miliki. Kehidupannya, putrinya, atau kalau perlu membunuhnya dengan tanganku sendiri."
"Membunuhnya?" Vanilla tersenyum singkat. "Aku tidak yakin kau sejahat itu. Sedangkan kau saja menaruh rasa simpati pada orang asing sepertiku. Bagaimana kau bisa menghunuskan pisau atau menembakkan peluru di tubuh seseorang? Sebelum kau melakukannya, aku yakin kau tidak akan tega membayangkan seseorang tergeletak di hadapanmu dalam kondisi bersimbah darah."
"Kenapa tidak? Aku sudah terbiasa dengan semua itu. Suara letupan pistol, tubuh tanpa nyawa yang tergeletak di lantai, dan darah yang menggenang. Semua itu selalu ada di dalam mimpiku hampir setiap malam."
"Kau orang baik, Diego. Jangan kotori tanganmu dengan hal-hal jahat seperti itu."
Diego tertawa. "Tenang saja, aku tidak mungkin melakukannya. Tidak ada yang harus aku bunuh, karena dia dan putrinya sudah mati. Mungkin itu karma atas perbuatannya pada keluargaku. Sudahlah, jangan bicarakan itu lagi. Bagaimana jika kita menuliskan list tempat-tempat yang akan kita kunjungi?"
"Oke. Kau membawa pena dan kertas?"
"Ya, tadi aku memintanya pada Andesta." Diego meletakkan kertas di atas bangku kayu dan bersiap menggoreskan pena. "Kita akan pergi ke tempat-tempat yang mudah dikunjungi. Puncak bukit terlalu ekstrim, jadi kita pilih yang lain saja."
"Kau yang lebih tahu, aku akan menurut saja."
"Pertama-tama kita akan ke kota dan datang ke toko kue, lalu menonton bioskop, dilanjutkan dinner di restoran bintang 5. Selesai dinner, kita bisa jalan-jalan sebentar di taman kota. Itu saja tampat yang akan kita kunjungi di pelarian pertama kita. Keesokan harinya aku akan langsung memulangkanmu."
"Pelarian kedua kita akan ke mana?"
"Bagaimana kalau ke pantai? Dan berlayar dengan kapal pesiar?"
"Setuju. Pelarian ke-3, boleh aku meminta ke club saja?"
"Boleh. Terakhir nanti kita akan ke puncak bukit. Kalau sekiranya ada tempat lain yang akan kita kunjungi, bisa kita tambahkan list-nya nanti."
Vanilla tersenyum lebar, memperlihatkan gigi putihnya yang tersusun rapi. "Aku tidak sabar menunggu hari-hari itu."
"Kau ... tidak takut pergi bersama orang asing sepertiku?"
"Aku mempercayaimu."
"Kenapa sebegitu mudah mempercayaiku? Aku bisa saja memanfaatkan keterbatasanmu."
"Orang sepertiku tidak bisa melihat dengan mata. Maka, aku hanya akan menggunakan insting dan hati. Hatiku berkata kau seseorang yang tulus dan bisa dipercaya."
"Terima kasih sudah mempercayaiku. Aku berjanji akan memperkenalkan dunia luar padamu, dan akan menjagamu dengan baik. Kau pasti akan menyukai bagaimana rasanya menghirup udara bebas di luar sana."
"Janji?"
"Ulurkan tanganmu. Kita akan membuat janji kelingking."
Vanilla mengulurkan tangan kanannya. Diego membantu melipat jari-jari lentik Vanilla, kemudian mereka saling menautkan jari kelingking mereka.
"Aku berjanji akan mencari cara agar kau bisa keluar dari tempat ini, dan akan mengajakmu ke tempat-tempat yang sudah kita tuliskan di dalam list. Selama perjalanan itu, aku berjanji akan selalu melindungimu dan menjagamu dari hal-hal yang membahayakan keselamatanmu."
"Aku pegang janjimu, Diego." Suara Vanilla terdengar lembut.
Tatapan Diego terpaku pada senyum di bibir Vanilla. Manis dan indah. Bibir yang belum pernah tersentuh oleh lelaki mana pun. Diego cepat-cepat mengalihkan pandangannya sebelum setan membisikinya yang tidak-tidak.
Mata tajam Diego mengawasi beberapa helai kelopak sakura yang terbang di atas mereka, untuk kemudian mendarat di jari mereka yang masih saling bertaut. Untuk pertama kalinya, tiba-tiba Diego merasakan debaran lembut di dadanya.
Hening. Tiga helai kelopak sakura menjadi saksi atas janji yang terucap dari 2 orang yang saling terhubung oleh masa lalu.
🎻🎻🎻
To be Continued
26 Februari 2023
Yang mau baca duluan bisa ke KaryaKarsa ya..
Thanks yang udah vote & komen
😘😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro