Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PART 1

Hai, masih nungguin aku update? Jangan lupa vote & komen ya biar aku semangat ...

Nanti di part terakhir cerita ini, aku mau kasih gift untuk 3 orang pembaca yang sering komen di setiap part, masing-masing akan mendapat 1 novel karyaku (judulnya bebas pilih, selama masih ada stok di aku).

Dan buat kalian yang gak mau kelamaan nunggu update di Wattpad, kalian bisa meluncur ke KaryaKarsa ya. Di sana update-nya lebih cepet dibanding Wattpad. Tenang aja, harganya murah kok.

Happy Reading ❤️❤️❤️

🎻🎻🎻

Diego menaburkan kelopak bunga mawar ke atas pusara di kanan dan kirinya. Makam kedua orang tuanya yang meninggal karena kejadian tragis 17 tahun yang lalu. Belasan tahun berlalu, tetapi bayangan ayah dan ibunya yang tergolek bersimbah darah masih melekat jelas dalam ingatannya. Bahkan ia merasa seolah insiden itu baru terjadi hari kemarin.

Tidak, tidak. Diego tidak ingin membayangkan peristiwa paling mengeringakan dalam hidupnya. Tapi sialnya, semakin Diego ingin melupakannya, maka bayangan itu semakin terlihat jelas di dalam ingatannya. Bahkan ketika menitipkan Diego pada kerabatnya yang tinggal di Chicago, itu sama sekali tidak mengurangi rasa trauma Diego yang menjadi saksi atas kematian tragis ayah dan ibunya.

Diego mengusap batu nisan di hadapannya. "Ma, Pa. Akhirnya aku memberanikan diri pulang ke kota ini. Kakek merawatku dengan baik di Chicago hingga aku sebesar ini. Lihat, aku bukan lagi anak kecil berusia 8 tahun yang menangis kencang karena menyaksikan ayah dan ibunya mengembuskan napas terakhir."

Diego menarik napas panjang, merasakan dadanya begitu sesak. Wajah datarnya terpaku pada tulisan yang terpahat di permukaan batu nisan.

"Kalian tahu? Rasanya sekarang aku sudah tidak bisa menangis lagi. Air mataku sudah habis ketika dulu berhari-hari bahkan berbulan-bulan aku tidak berhenti menangisi kepergian kalian." Diego mengepalkan kedua tangan, hingga otot-otot itu terlihat jelas di punggung tangannya. "Ma, selain wanita jalang yang sudah mati itu, adakah seseorang yang sudah sepantasnya bertanggung jawab atas kematian kalian? Jika ada, bolehkan aku menghabisinya dengan tanganku sendiri? Dendam ini sudah terlalu lama kusimpan di dalam hati, hanya saja aku tidak tahu kepada siapa harus melampiaskannya."

Lelaki bertubuh tinggi tegap itu mendongak ke arah langit. Berharap bisa menemukan wajah kedua orang tuanya di sana. Namun, ia hanya menemukan awan putih yang berarak, menutupi sebagian matahari pagi.

Diego tersenyum miris, merasa seperti orang gila karena berbicara seorang diri. Ralat, berbicara pada batu nisan. Entahlah, ia hanya berharap kedua orang tuanya mengawasinya dari atas sana. Diego sudah menahan kerinduan itu selama 17 tahun. Sungguh, merindukan orang-orang yang sudah berbeda dimensi itu sangatlah menyakitkan.

Kalau bukan karena kakeknya yang telaten merawatnya, mungkin Diego sudah lama memilih untuk menyusul kedua orang tuanya. Menenggak sebotol racun, atau melompat dari atas jembatan. Tapi, kenyataannya ia justru masih hidup hingga detik ini.

Diego kembali menarik napas panjang. Aroma kelopak mawar yang tersebar di atas pusara begitu harum dan menenangkan. Ia menunduk dan mengecup batu nisan itu bergantian, sebagai wujud cinta dan kerinduannya pada ayah dan ibunya.

"Aku pergi dulu, Ma, Pa. Aku ingin mendatangi bukit favoritku, tempat Papa sering mengajakku melihat pemandangan alam dari puncak bukit. Aku ingin mengenang masa kecil. Mulai hari ini, aku akan sering-sering mengunjungi kalian di sini. See you next time."

Diego melangkah meninggalkan pusara, melewati jalanan setapak menuju mobil yang terparkir di luar area pemakaman. Seorang lelaki setengah baya berperawakan kekar sudah menunggu. Pedro, pengawal setia ayah Diego semasa hidup.

"Selanjutnya kita akan pergi ke mana lagi, Tuan Muda?" tanya Pedro sembari membuka pintu belakang mobil.

"Kau masih ingat bukit tempat Papa sering mengajakku camping di sana?"

"Tentu saja masih. Aku juga beberapa kali datang ke sana untuk mengenang masa-masa 17 tahun yang lalu."

"17 tahun aku tidak pernah menginjakkan kaki di sana. Apa tempatnya masih indah?"

"Masih sangat indah, Tuan Muda. Bahkan di waktu-waktu tertentu akan terdengar alunan suara biola yang sangat merdu."

Diego mengerutkan dahi. "Alunan biola? Di tempat terpencil seperti itu? Siapa yang memainkannya?"

"Ada sebuah villa yang dibangun di tengah hutan. Seorang gadis buta tinggal di sana bersama pelayan dan beberapa orang pengawalnya."

"Seingatku dulu tidak ada villa di sana. Jika memiliki pelayan dan pengawal, artinya dia orang kaya. Lalu kenapa tinggal di hutan? Bukankah itu aneh?"

"Entahlah. Tidak ada seorang pun yang tahu tentang hal itu. Villa itu dikelilingi pagar tinggi, dan para penghuninya sangat tertutup. Menurutku, gadis itu diasingkan kedua orang tuanya. Gadis dalam kondisi buta mungkin dianggap sebuah aib oleh keluarganya."

"Menarik sekali. Aku yakin gadis itu sangat menderita oleh perlakuan keluarganya. Sudahlah, itu bukan urusanku. Aku hanya ingin pergi ke puncak bukit dan mengenang Papa."

"Baik, Tuan."

Setelah Diego duduk di kursi belakang, Pedro mengemudikan mobil Range Rover itu dengan kecepatan sedang. Mata tajam Diego menoleh ke arah deretan pemakaman di dalam sana. Rasa sakit karena kehilangan 2 orang yang sangat dicintainya, masih terasa saat ini. Kedua tangannya terkepal, rahangnya terkatup rapat. Ada kemarahan yang terlihat jelas dari netra berwarna hitam pekat itu. Tidak hanya kemarahan, tetapi juga dendam.

🎻🎻🎻

Tidak selamanya villa di tengah hutan identik dengan bangunan tua yang menyeramkan, tanpa penghuni dan kondisinya sangat kotor dengan cat yang sudah mulai pudar. Kenyataannya, ada 1 villa di daerah terpencil yang terlihat megah dengan pagar yang menjulang tinggi. Penghuninya, seorang gadis tunanetra dan beberapa orang pelayan serta pengawal yang berjaga di pos dekat pintu gerbang.

Sebuah mobil melintasi jalanan setapak. Seorang pengawal berlari-lari membuka pintu gerbang berwarna keemasan, memberikan akses masuk pada tamu yang berkunjung. Seorang wanita setengah baya duduk di kursi belakang mobil.

"Selamat datang, Nyonya Kenanga." Para pengawal membungkuk hormat.

Wanita yang dipanggil Nyonya Kenanga itu sedikit mengangkat dagu, memberikan kesan angkuh dan berkuasa. Bibir yang dipoles lipstik warna merah itu sama sekali tidak menampakkan senyuman.

Mobil melaju melewati pintu gerbang, melewati paving yang disusun memanjang hingga sampai di depan pintu utama villa. Begitu mobil berhenti, sopir turun dan membukakan pintu untuk sang nyonya.

Kenanga turun setelah merapikan rambutnya yang disanggul rapi, memperlihatkan leher jenjangnya. Meski usianya sudah hampir kepala 5, tetapi wajah wanita itu masih terlihat kencang. Menyisakan garis-garis kecantikan semasa muda.

Wanita itu urung melangkah masuk ketika melihat seorang gadis berdiri di ambang pintu sembari tersenyum sinis. "Selamat datang, Mama. Kalau tidak salah hitung, ini pertama kalinya kau datang berkunjung ke sini setelah 2 bulan. Kenapa? Ingin memastikan apakah aku masih bernapas atau tidak?"

"Vanilla!" bentak Kenanga. "Apa itu sambutan yang pantas untuk seseorang yang datang mengunjungimu?"

"Mengunjungiku? Mama tidak salah tempat? Seharusnya Mama berkunjung di makam palsu yang kau buat. Lalu kau mengusap batu nisan bertuliskan nama Vanilla sembari menangisi anak tiri yang kau anggap sudah mati!"

"Jaga bicaramu!"

"Bagaimana rasanya hidup bergelimang harta, Ma? Menyenangkan, bukan? Sampai-sampai kau harus membuatku seolah-olah sudah mati, hanya karena kau takut aku akan mewarisi sebagian harta yang ditinggalkan Papa?"

Kenanga melangkah menaiki undakan tangga menuju teras rumah, lalu melayangkan sebuah tamparan ke wajah Vanilla. "Bicaramu sama sekali tidak santun, persis seperti ibumu!"

Vanilla menyentuh pipinya dan tertawa, tidak menghiraukan rasa perih akibat tamparan yang cukup keras. "Aku akui, kau cukup cerdas untuk memalsukan kematianku, lalu mengasingkanku ke villa di tengah hutan ini. Persis seperti Rapunzel yang dikurung di kastil milik ibu tirinya. Bedanya, tidak ada Pangeran yang akan menyelamatkanku."

"Hentikan khayalanmu, Vanilla! Apa pun yang aku lakukan, seharusnya kau bersyukur karena aku tidak membunuhmu!" Kenanga mengalihkan pandangannya pada maid yang berdiri tidak jauh dari sana. "Kalian jangan hanya diam, cepat ambil buku-buku Braille di dalam mobil dan letakkan di perpustakaan!"

"Baik, Nyonya."

Kenanga menggertakkan gigi, enggan berdebat lebih lama dengan Vanilla. Wanita itu melangkah melewati pintu, sebelah pundaknya sengaja menabrak Vanilla hingga gadis itu terhuyung dan hampir saja terjatuh.

Vanilla kembali menyeimbangkan tubuh, kedua tangannya terjulur ke depan dan berusaha meraba benda apa pun yang ada di depannya. Ketika menyentuh daun pintu, gadis itu menghela napas. Ia masih bisa dengan jelas mendengar suara Kenanga yang berkali-kali mengumpatinya.

"Anak tidak tahu terima kasih. Seharusnya dia berterima kasih karena sampai detik ini aku masih memberi kesempatan padanya untuk bernapas."

Bibir berwarna pink alami milik Vanilla tersenyum. Ia tidak mengerti jalan pikiran ibu tirinya. Jika memang Kenanga membencinya, kenapa ia tidak membunuh Vanilla saja? Bukankah itu lebih baik daripada Vanilla harus terkurung di sangkar emas?

Ah, mungkin bagi Kenanga, menyiksa Vanilla dan melihatnya mati secara perlahan itu lebih menyenangkan daripada harus membunuhnya secara langsung. Kenanga ingin menikmati penderitaan Vanilla, sama persis seperti Kenanga yang pernah terluka hatinya oleh ibu kandung Vanilla.

🎻🎻🎻

To be Continued
17 Januari 2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro