Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian 4

Woo-Young sangat risi jika ada seseorang yang asing bersikap sok akrab. Baginya orang lain sama saja, jahat dan menyebalkan. Melihat orang dari kelebihan. Ia sudah muak. Ia sekarang bersikap cuek dan tak peduli akan sikap orang lain.

Sung-Hyun mencoba memberanikan dirinya, menghampiri Woo-Young.
"Permisi, bolehkah aku di sini, semeja denganmu? Aku tak ada teman, dan merasa bosan." tanya Sung-Hyun dengan sopan.

Woo-Young tak menatap sang pemilik suara, ia hanya merespons. "Hmm."

Sung-Hyun hanya duduk, seperti perkataan Woo-Young.  Sung-Hyun sebenarnya ragu akan sikap Woo-Young, namun ia sangat jenuh, sehingga ia memutuskan untuk bergabung. Kebetulan di restoran yang duduknya sendirian. Woo-Young. Entah kenapa, ia merasa seperti ingin mendekati Woo-Young. Jari-jemari Sung-Hyun mengetuk meja, sembari menunggu pelayan datang menghampirinya.

Pelayan datang dan menyerahkan menu pada Sung-Hyun.
"Ini menunya, Tuan. Mau pesan apa?" tanya pelayan tersebut sopan.
Sung-Hyun menggelengkan kepala, ia tersenyum dan berkata, "Aku hanya ingin memesan menu yang paling banyak dipesan di sini atau khas dari restoran ini."

Pelayan tersebut tersenyum. "Baik."
"Terima kasih," respons Sung-Hyun.

Pelayan bermarga Im tersenyum, merespons Sung-Hyun sebelum ia beranjak.

Sung-Hyun cukup canggung dengan Woo-Young, ia mencari bahan pembicaraan untuk menghilangkan rasa canggung.
"Makanmu lahap sekali. Kalau boleh tahu siapa namamu?" ucap Sung-Hyun dengan hati-hati.

Woo-Young menghentikan aktivitas makannya. Ia meletakkan sumpitnya dengan kasar.
"Memangnya apa urusannya denganmu. Jangan mengurusi orang lain. Urusi saja hidupmu diri sendiri!" tegas Woo-Young.

Jangan heran jika Woo-Young melakukan ini, karena dirinya juga mengalami masa tak menyenangkan. Rasa sakitnya melekat dalam hati. Ia tak peduli disebut pemuda yang tak memiliki teman, bahkan ia terlihat kasar pada semua orang termasuk perempuan.
"Kau tak sendiri, aku pun demikian. Aku mulai membenci kehidupanku, tapi aku suka bergaul," tukas Sung-Hyun.

Woo-Young menatap balik Sung-Hyun dengan evil smirk. Sung-Hyun berpikir mungkin Woo-Young sakit hati terhadap perkataannya.

Woo-Young memalingkan pandangannya. Sung-Hyun tahu mungkin Woo-Young memiliki masa lalu yang kelam. Sung-Hyun tersenyum, lalu berkata, "Kau mungkin beranggapan aku sama seperti yang ada di pikiranmu. Tapi, aku tak ada maksud. Aku hanya ingin berteman denganmu." Sung-Hyun berucap mantap.

"Terserah." Woo-Young berucap ketus.

"Baiklah, mari berkenalan. Hwang Sung-Hyun, kau bisa memanggilku Sung-Hyun." Sung-Hyun mengulurkan tangan pada Woo-Young.

Woo-Young menatap uluran tangan Sung-Hyun.

Sung-Hyun masih menunggu Woo-Young untuk membalas uluran tangannya.
"Jang Woo-Young. Panggil saja Woo-Young." Woo-Young menerima uluran tangan Sung-Hyun. Senyuman lelaki bertinggi 180 cm ini terus terang membuatnya sedikit senang. Seumur hidup Woo-Young belum pernah merasakan hal seperti ini.

Tanpa sadar, pelayan pun datang, membuat Sung-Hyun melepaskan jabatan tangannya. Sung-Hyun malu, karena pelayan terus menatap keduanya yang saling berpandangan.
"Makanannya sudah datang, silakan dinikmati." Pelayan tersebut mencoba menahan kekehannya.

Sung-Hyun tak mengerti dengan sikap pelayan berambut pirang ini. Begitupun dengan Woo-Young.
"Ada apa? Sepertinya kau ingin tertawa? Yang tadi itu, aku masih normal, Anda jangan berpikir yang aneh," tukas Sung-Hyun.

"Tidak, aku permisi dulu." Pelayan tersebut mengembangkan senyumannya, merespons Sung-Hyun. Kemudian, ia pergi.

Sung-Hyun mengambil sumpit dan sendok, lalu ia mengambil sesumpit ramen, ia meniupnya karena masih panas. Ia memasukkannya ke mulut. "Omong-omong, kau belum tahu saja kisahku. Sangat berat. Aku tak didukung dalam impianku menjadi seorang arsitek. Aku selalu dibandingkan dengan adikku, Chan-Sung. Karena impiannya menjadi wirausaha yang sukses. Impianku itu sangat besar, aku mencari cara yang baik agar tercapai. Walaupun berat, namun jika berbicara impian aku tak main-main." Sung-Hyun tersenyum getir saat mengatakan hal ini.

Woo-Young yang sedari tadi memakan makanannya pun menatap Sung-Hyun. Woo-Young tertarik terhadap kisah Sung-Hyun. Namun, ia masih belum percaya sepenuhnya dengan semua orang.
"Lalu?" tanya Woo-Young penasaran.

"Seperti itulah hidupku. Aku hanya membenci orangtuaku dan adikku. Mungkin dengan adanya kisahku ini kau tak merasa sendirian. Dunia ini keras." Sung-Hyun menatap Woo-Young dengan tatapan hangat.

"Sebelumnya aku membenci kehidupanku dan memilih untuk bersikap cuek dan tak peduli. Aku dahulu selalu disia-siakan atas kebaikanku dan bahkan aku selalu disalahkan. Aku selalu menyendiri. Memang sengaja tak ingin berbaur dengan banyak orang." Woo-Young menceritakan masalahnya.

Sung-Hyun mengangguk-angguk, seakan ia mengerti. "Aku mengerti perasaanmu sekarang." Sung-Hyun mengusap bahu Woo-Young.

"Terus kejar mimpimu dan buktikan. Walaupun kau tak didukung oleh orangtuamu, tetapi aku mendukungmu. Tapi, aku sendiri belum bisa percaya pada banyak orang."

Dari pengalaman dan pemahaman yang Sung-Hyun berikan, membuat Woo-Young percaya pada Sung-Hyun. Tetapi pada kenyataannya, ia masih merasa risi jika bersosialiasi, mungkin ini membutuhkan waktu yang lama.

"Kok suasananya jadi haru begini, ayo makan." Sung-Hyun terkekeh.

Mereka pun makan, setelah itu tak ada lagi percakapan.

Selesai makan, mereka pun pulang, tetapi dengan arah yang berlawanan. Sung-Hyun pulang dengan motor sportnya, sementara Woo-Young menaiki bus umum. Ia ingin menikmati perjalanannya dengan bus.

*

Woo-Young menunggu bus yang akan melewati halte. Ia mengusap kedua tangannya, dingin. Di sebelahnya, ia melihat gadis dengan beberapa buku di tangannya. Gadis itu adalah Hae-Na yang mencoba menahan berat buku. Woo-Young yang melihatnya pun cuek. Walau Woo-Young sudah diberi pemahaman oleh Sung-Hyun, tetapi ia masih sulit percaya dengan orang lain.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro