Final Chapter
Midorima sepertinya kalah cepat dengan Takao. Walaupun ia sudah berlari ke dalam gedung sekolah, ia tetap kehilangan Aika. Bagaimana ini nanodayo? Kemana perginya mereka nanodayo? Midorima celingukan kesana-kemari. Ia tidak boleh kehilangan Aika. Tidak boleh.
Midorima berlarian kesana-kemari. Di lantai satu semua ruangan nampak kosong dan gelap. Begitu pun dengan lantai dua, tidak ada tanda-tanda kehidupan disana. Midorima nyaris putus asa saat menyusuri lorong lantai tiga. Tapi mendadak langkahnya terhenti saat melihat seorang gadis yang berdiri di dalam kegelapan sambil memandang ke luar jendela.
"Aika..." gumam Midorima yang terdengar seperti sebuah bisikan super lembut.
Tanpa pikir panjang, Midorima langsung berlari ke arah gadis itu, lalu diraihnya pergelangan tangan Aika yang membuatnya mengalihkan pandangannya pada Midorima, "ah, Midorima-kun? Ku pikir tadi itu Takao," ucap Aika sambil tersenyum.
Deg! Entah mengapa, mendadak jantungnya seperti remuk seketika saat melihat senyum manis Aika. Kenapa gadis ia tersenyum? Apakah alasannya tersenyum adalah karena dia sedang menunggu Takao yang sudah menjadi pacarnya? Atau... ia tau kalau malam ini Takao akan mengungkapkan perasaannya? Hanya dengan memikirkannya saja membuat Midorima frustasi bukan main.
Midorima langsung melepaskan genggaman tangannya secara perlahan, walaupun di dalam hatinya ia tidak rela melepaskannya, "oh... begitu nanodayo. Kalau begitu... aku permisi nanodayo..." lirih Midorima lalu membalikkan badannya untuk pergi meninggalkan Aika sendirian di tengah kegelapan.
"Tunggu," Aika langsung menarik tangan Midorima sebelum pria itu pergi lebih jauh, "kau... mau kemana Midorima-kun?" Tanya Aika sambil menundukkan wajahnya. Samar-samar wajah gadis itu terlihat mulai memerah di tengah kegelapan.
"A-aku tidak seharusnya disini nanodayo, karena-"
DUAR! DUAR! DUAR! Ucapan Midorima terpotong oleh suara kembang api yang menggelegar. Pesta kembang apinya sudah dimulai.
"Suki dayo Midorima-kun," ucap Aika yang nyaris tidak terdengar sama sekali. Untungnya Midorima masih dapat mendengar kalimat yang sangat menggetarkan hatinya tersebut.
"N-nani?" Ucap Midorima dengan tergagap. Dadanya berdegub dengan kencang saat mendengar kalimat itu terlontar dari bibir Aika. Ia berharap ia tidak salah dengar.
"....katanya.... kalau kita menem-"
"Baka nanodayo," ketus Midorima.
Air mata Aika sudah menggenang di pelupuk matanya, "go-gomen, kalau kau... tidak suka padaku... kau bisa menolak-"
"Kau ini bodoh atau apa sih nanodayo," lagi-lagi Midorima mengucapkan kalimatnya dengan ketus. Membuat air mata Aika yang tadinya sudah menggenang penuh di pelupuk matanya akhirnya jatuh membasahi pipinya.
Diusapnya air mata Aika, "tidak seharusnya kau mengucapkan kalimat itu nanodayo," kalimat Midorima membuat air mata Aika turun semakin deras, "jangan menangis nanodayo," kali ini Midorima mendekap wajah Aika dengan kedua tangan besarnya.
"A-aku tahu.... kau menyukai Aimi, dan tidak seharusnya-" kalimat Aika terhenti saat bibirnya terbungkam oleh sesuatu yang kenyal dan basah.
"Jangan bicara lagi nanodayo, kau itu menyebalkan nanodayo," ucap Midorima sambil mengalihkan pandangannya ke arah lain setelah mengakhiri ciuman mereka.
Jantung Aika berdegub dengan kencang, darahnya berdesir deras membuat kupu-kupu yang ada di perutnya loncat-loncat kegirangan. "Mi-Midorima-kun..?" Ucap Aika setelah berhasil mengendalikan dirinya kembali. Ciuman Midorima tadi berdampak sangat dahsyat bagi Aika.
"Hm?"
"Apa... maksud ciuman tadi?" Aika benar-benar tidak bisa menatap Midorima saat ini. Wajahnya benar-benar panas akibat perlakuan Midorima tadi.
"Jika otakmu cukup pintar, kau bisa mengartikannya sendiri nanodayo," dungus Midorima dengan kesal, walaupun begitu, wajahnya juga merah padam.
"Jadi...?"
Geram dengan ketidak pekaan Aika, akhirnya Midorima berteriak dengan kesal, "astaga Onizuka-san! Kau tidak pernah membaca novel atau semacamnya gitu nanodayo!?" Omel Midorima. "Arti ciuman tadi adalah sekarang kau itu milikku nanodayo! Paham nanodayo!?" Sebenarnya malu juga berteriak seperti itu, tapi apa mau dikata, Aika tidak cukup peka untuk mengartikan ciumannya, akhirnya Midorima yang sudah sangat gemas dengan tingkah Aika jadi berteriak tidak karuan seperti itu.
Awalnya Aika merasa bingung harus menanggapinya seperti apa? Tapi akhirnya sebuah senyuman yang sangat tulus terukir di bibir Aika, "arigatou... Midorima-kun," sangking bahagianya, Aika tidak sanggup menahan keinginannya untuk memeluk tubuh Midorima.
Tubuh Midorima langsung menegang saat Aika memeluknya, tapi perlahan-lahan kedua tangannya terangkat untuk membalas pelukan Aika, bahkan ia sekarang sudah mendekap tubuh mungil Aika dengan erat. Ia tidak ingin kehilangan orang yang ia cintai.
"Midorima-kun?" Panggil Aika.
"Ya?"
"Ayo keluar! Kita lihat kembang apinya!" Ajak Aika dengan senyum cerianya yang ternyata selama ini ia rindukan.
Tanpa pikir panjang, Midorima langsung mengangguk. Detik kemudian, mereka langsung lari menuruni tangga sambil terus berpegangan tangan hingga keluar dari gedung sekolah dan berkumpul dengan yang lainnya.
***
Di sisi lain, tepatnya di atap sekolah, Aimi sedang tertawa seorang diri, ia mendengarkan rekaman saat Midorima dan Aika saling mengungkapkan perasaannya.
Rencananya berjalan dengan sukses. Tidak sia-sia ia bersikap seperti seorang penghasut yang sangat menggelikan menurutnya. Sekalipun ia memiliki bakat untuk menghasut, ia benar-benar tidak ingin menggunakan bakat rendahan itu. Tapi sekali-kali menggunakannya tidak apa dong? Pikirnya.
"Ternyata kau disini," sebuah suara yang penuh akan ketegasan menginterupsi kegiatan Aimi dan membuat gadis itu mau tidak mau mengalihkan pandangannya ke suara sang pemanggil.
"Akashi-san? Sedang apa kau disini?" Tanya Aimi yang jelas-jelas merasa kebingungan. Seharusnya ia kan dibawah sana, mengurusi barang yang ia (pegawainya) jual, atau sedang menikmati konser di sekitar panggung sana, kenapa ia disini? Berbagai macam pertanyaan bergelayut di kepala Aimi.
"Aku hanya ingin mengucapkan selamat atas kesuksesan pensimu ini," Akashi mengulurkan tangannya.
Aimi menjabat tangan Akashi dengan senyum cerianya, entah mengapa ia bisa tersenyum seceria itu. Mungkin ini semua karena masalah yang selama ini menyulitkannya akhirnya bisa selesai, "terima kasih Akashi-san, tapi kau tidak perlu repot-repot mengucapkannya secara langsung seperti ini."
"Tidak, rasanya akan beda jika aku mengucapkannya secara tidak langsung," ditarinya tangan Aimi hingga tubuh gadis itu menubruk tubuhnya dengan sempurna dan didekapnya tubuh Aimi dengan erat, "selamat ya," bisik Akashi dengan suara yang sangat lembut. Entahlah ia mengucapkan kata selamat itu untuk siapa, karena suaranya terdengar sangat lembut di telinga Aimi.
Biasanya Aimi langsung berontak, menendang atau memukul pria yang berani-beraninya kurang ajar terhadapnya, tapi entah mengapa ia merasa sangat nyaman saat berada di pelukan Akashi. Rasanya damai dan... entah mengapa, pelukan Akashi mengingatkannya kepada seseorang.
Setelah beberapa saat terbuai oleh pelukan nyaman dari Akashi, akhirnya Aimi tersadar. Segera ia jauhkan tubuh Akashi darinya, "maaf Akashi-sama, itu tidak sopan," ucap Aimi dengan raut wajah yang kembali dingin.
Akashi menaikkan sebelah alisnya, "kupikir kau sudah mengingatku kembali, Mi-chan."
Deg! Entah mengapa, saat Akashi yang memanggilnya seperti itu membuat dadanya terasa nyeri tanpa alasan yang benar-benar jelas. Semuanya terasa rumit baginya. Bahkan sekarang kepalanya terasa sangat sakit saat memikirkan itu semua.
Siapa Akashi sebenarnya? Kenapa ia berada disini? Untuk apa ia repot-repot mencarinya? Kenapa pelukan Akashi terasa sangat nyaman baginya?
"Apakah benar, kecelakaan itu membuatku terhapus dari ingatan dan hatimu? Apa hatimu sudah tidak bisa mengingatku kembali, Aimi Guntur?"digenggamnya tangan Aimi, ia ingin gadis itu menatap ke dalam matanya, ia ingin gadis itu memandang ke arahnya seperti dulu, dengan senyum manis yang menghiasi bibirnya setiap mereka bertemu.
Tapi gadis yang adabdi hadapannya ini sudah berubah 180 derajat saat pertama kali Akashi mengetahui Aimi kembali lagi ke Jepang. Ya, Akashi sudah lama mengetahui kepulangan gadis itu ke negaranya, tapi saat itu Akashi merasa waktunya belum tepat untuk mengungkapkannya. Ia takut kalau Akashi mengungkapkannya, detik itu juga ia harus kehilangan Aimi karena ingatan masa lalunya yang datang begitu mendadak. Ia ingin gadis itu mengingatnya secara perlahan selama di Jepang, sambil terus menunggu momen yang tepat untuk mengungkapkan semuanyan.
Karena tidak sanggup menahan sakit kepalanya, Aimi jadi jatuh terduduk dengan lemas, "si-siapa kau sebenarnya?" Ucap Aimi dengan lirih tanpa mau memandang ke mata Akashi.
Akashi berjongkok di hadapan Aimi, "lihat aku, Mi-chan," perintah Akashi dengan mutlak, tapi sayangnya Aimi tidak menanggapinya sama sekali.
Diraihnya dagu Aimi untuk menaikkan wajah gadis yang sejak tadi menunduk. Kini Akashi dapat melihat dengan jelas wajah Aimi yang sedang menangis.
Dalam hati Akashi menggeram dengan kesal. Bukan ini yang ia inginkan. Ia tidak ingin melihat tangisan Aimi saat gadis itu belum mampu mengingatnya.
Diusapnya air mata Aimi yang sejak tadi membasahi pipi putih mulusnya. Ia tidak bisa melihat air mata itu jatuh lebih banyak lagi karenanya, "sudahlah, jangan menangis. Jangan memaksakan dirimu lagi Mi-chan, aku tidak ingin sesuatu yang buruk menimpamu. Sebaiknya kau ku antar pulang sekarang. Ayo," dibantunya Aimi untuk berdiri dengan tegap.
Sebenarnya Akashi tidak tega melihat Aimi berjalan dengan keadaan seperti itu. Ingin sekali ia menggendong Aimi, tapi nanti gadis itu akan berpikiran yang tidak-tidak mengenai dirinya. Setidaknya Akashi harus mempertahankan citra baiknya di hadapan Aimi.
"Tunggu dulu Akashi," dicekalnya tangan Akashi saat ingin membuka pintu yang menuju ke tangga.
"Kenapa? Apa kau merasa pusing?" Tanya Akashi.
"Walau sebenarnya aku belum yakin kau itu Rou-chan atau bukan, tapi aku berterima kasih karena mu, aku bisa mengingat wajahnya, walau hanya samar-samar," ucap Aimi dengan tulus.
Mendengar hal itu, sesak di dada Akashi sedikit berkurang.
"Tapi... aku merasa tidak adil kalau hanya kau yang memanggil nama depanku. Apa nama depanmu, Akashi?"
"Seijurou. Akashi Seijurou," Akashi sengaja mengucapkan namanya penuh penekanan, ia seperti sedang mengirimkan gelombang magnet pada otak Akashi.
"Seijurou? Akashi Seijurou." Saat mengucapkan kalimat tersebut, Aimi seperti mendengar suara gadis kecil yang sangat ceria.
"Seijurou? Akashi Seijurou?" Suara gadis itu terdengar seperti sangat tertarik dengan nama tersebut, "Sei... ju... rou... hmmm..." suara gadis itu terdengar seperti sedang berpikir, "boleh kupanggil Rou-chan?" Setelah itu terdengar suara tawa yang sangat manis.
Tidak sanggup menahan sakit di kepalanya, tanpa sadar Aimi memegangi kaus Akashi. Akashi yang menyadari ada yang tidak beres dengan Aimi, pria itu langsung mendekap Aimi kedalam pelukannya. Menyalurkan rasa nyaman pada Aimi yang sedang gelisa.
Perlahan-lahan Akashi mulai merasakan napas Aimi yang mulai kembali teratur.
"Rou... chan..." panggil Aimi dengan suara yang terdengar seperti hembusan angin yang sangat lembut.
"Sudahlah... tenangkan dirimu dulu. Jangan memaksa mengingatnya," perintah Akashi dengan mutlak.
"Tidak, aku... aku sudah mengingat semuanya, Rou-chan. Gomen," Aimi semakin menenggelamkan wajahnya pada dada bidang Akashi. "Gomen. Gomen..." tangisnya pun pecah di pelukan Akashi.
Akashi mencoba melepaskan pelukan Aimi, mengangkat dagu gadis itu agar ia bisa melihat wajah cantik yang selama ini dirindukannya. "Cobalah untuk tidak menangis," tegas Akashi sambil menghapus air mata Aimi yang terus saja berjatuhan, "kenapa kau jadi cengeng seperti ini sih. Seperti bukan Aimi saja."
Dengan sebal Aimi memukul dada bidang Akashi dengan pelan, "itu semua karena aku benar-benar menyesal karena sudah melupakanmu. Gomenasai, Rou-chan..."
Dikecupnya bibir Aimi dengan lembut, "kalau kau begitu merasa menyesal, jangan pernah pergi lagi dariku," tegas Akashi.
Aimi mengangguk dengan patuh, "tapi..." mendadak raut wajahnya berubah sedih.
"Ada apa?"
"Ayahku memintaku-"
"Aku yang akan meminta izin pada ayahmu. Kau tetap di Jepang. Aku tidak akan membiarkanmu pergi jauh lagi. Tidak boleh," ucap Akashi dengan nada egois yang benar-benar mutlak tanpa mau ditentang.
Aimi tertawa kecil, "terserah kau sajalah, Akashi."
"Seijurou," ralat Akashi.
"Iya, iya Rou-chan..."
Akashi tersenyum dengan tulus. Kali ini Aimi bisa melihat sosok Rou-chan yang selama ini ia kenal dari senyuman Akashi yang sekarang ia tunjukkan. Ternyata benar. Selama ini orang yang ia cari ternyata berada di dekatnya tanpa ia sadari.
Perlahan, Akashi mendekatkan wajahnya, mensejajarkan wajahnya dengab wajah Aimi, lalu dikecupnya bibir gadis itu dengan lembut. Sekarang ciumannya terasa sangat manis di bibir Akashi. Ia tidak akan pernah rela kehilangan Aimi untuk kedua kalinya. Tidak akan ia biarkan Aimi pergi jauh darinya. Akashi tidak peduli jika orang-orang akan mengatainya egois atau apa, yang penting ia bisa memiliki Aimi seutuhnya tanpa ada seseorang atau sesuatu yang dapat memisahkan mereka.
TAMAT.
☆
☆
☆
♡ Love, Alfi ^-^ ♡
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro