Pengampunan
Ren melangkahkan kakinya menuju sebuah daerah pojok di dalam benteng pemerintah, dipojok kiri ada sebuah gedung lumayan besar mirip dengan kapel, dia tidak ingin mengikuti permintaan atau panggilan dari salah satu bawahan YVS yang cukup berkuasa untuk mengatur anak buahnya bergerak.
"Apa sih maunya?" gumamnya kesal, langkahnya sudah dipercepat tetapi dia masih belum juga sampai ke tempat yang dituju. Gumaman-gumaman kasar yang keluar dari mulutnya perlahan berubah menjadi geraman kesal, kedua tangannya sekarang gatal sekali ingin memukul tembok atau apapun yang bisa dijadikan tempat pelampiasan.
Saat setelah dia sudah berada di depan pintu masuk, tangan kanannya langsung mendorong dua pintu sekaligus.
"Apa maksudmu memanggilku kesini?"
"Ren, semoga Tuhan memberkatimu," ucap si gadis perak pada Ren, dalam posisi berdoa menghadap hiasan salib besar. Gadis ini memanggil Ren ke tempat satu-satunya yang membuat aman dirinya seperti tempat dia dilahirkan, bangunan paling suci didalam benteng wilayah pemerintahan.
Ren muak mendengar kalimat itu, seperti radio rusak. Untuknya kalimat itu tidak berguna sama sekali.
"Apa yang kamu inginkan dariku, Iron Maiden Jeanne?" tanyanya dengan penuh penekanan dari depan pintu masuk, dia tidak perlu mendekati Jeanne agar suaranya sampai ke telinga gadis perak itu.
"Aku hanya ingin memperingatkanmu untuk tidak coba-coba melawan YVS," ucapnya tanpa mengubah posisi.
Ren mengibaskan tangan kanannya kuat ke samping. "Bodoh, lagi-lagi perkataanmu tentang takdir kami. Aku tidak percaya."
Jeanne menghela nafas, sepertinya memang sia-sia memperingatkannya akan takdir sedih yang sedang menunggunya. Takdir mereka berdua. Jeanne bangkit, membalikkan badannya, lalu setetes darah dari mata kirinya mengalir dan jatuh.
"Darah...?"
"Jeanne-sama telah meneteskan air mata pada kalian," ucap seorang lelaki tinggi ramping berambut blond yang selalu bersama dengan Jeanne.
“Inilah kesedihanku, Tao Ren.”
Meskipun kedua matanya tertutup, Ren masih bisa melihat dengan jelas kalau Jeanne sekaranh sedang memasang raut wajah sedih saat melihat ke arahnya, tidak sedih saja, rasa putus asa juga ada. Merasa gagal untuk menghentikan tindakan gegabah yang bisa membuatnya terbunuh. Darah itu terus menetes tanpa henti dari mata kirinya.
“Jika aku tidak menghentikanmu … aku hanya bisa mendoakanmu saja,” ucapnya, terselip rasa kecewa pada nada bicaranya. “Semoga kalian berdua tidak menyesal dengan jalan yang telah kalian ambil.” Jeanne menyatukan kembali kedua tangannya, sangat erat.
“Semoga Tuhan melindungi kalian berdua, membantu kalian.”
Ren tidak memberikan respon yang bagus sama sekali pada Jeanne, dia mengatakan secara gamblang jika Jeanne sudah menghabiskan waktunya yang berharga mendengarkan celotehan tidak penting mengenai takdir atau melarangnya untuk membunuh YVS.
Ren yakin kalau keputusannya ini benar, demi bisa melindungi semuanya, menghulangkan pemimpin yang memberi ketidakadilan.
Keinginannya ini hanya keegoisannya, dia tidak ingin ada yang mencampuri urusannya.
“Ren, buku itu … apakah kamu masih membacanya?” tanya Jeanne.
“Tentu saja, aku tidak akan berhenti membacanya sampai mengerti semua apa yang kamu tulis di buku ini,” balasnya penuh percaya diri.
“Begitu ya,” jawabnya lirih. “Lalu apakah kamu sudah mengerti semua isi buku itu?”
“Hmph, tinggal bagian akhir, setelah bunga lotus itu meloncat ke dalam api demi bisa melindungi pohon yang sudah menemaninya selalu bersama dengan dedaunan yang gugur itu.”
“Baiklah, semoga, sebelum itu kamu sudah mengerti akan akhir dari buku itu—tidak, takdir dari bunga lotus dan daun maple.”
“Daun maple? Maksudmu daun berjari warna oranye kemerahan saat di musim gugur?”
“Iya.” Senyum simpul menghiasi wajah manis Jeanne. “Apakah aku tidak menuliskan jenis daun di buku itu?”
“Tidak.”
“Aku memang tidak ingin terlalu spesifik juga, dadah dan juga selamat…,” senyum manisnya hilang berubah menjadi raut sedih lagi, “tinggal.”
Ujung bibir Ren naik. "Aku tidak akan mati sampai aku bisa hidup bebas."
Ren membalikkan badannya, dia meningalkan bangunan itu tanpa ada perasaan ragu sedikitpun. Ren juga yakin pasti atasannya ini mengetahui rencananya ini.
Tidak peduli akhirnya seperti apa, yang dipikirkannya sekarang adalah melangkah maju sampai seluruh tubuh tak bisa lagi bergerak.
Baru saja beberapa langkah menjauhi kapel, Yosuke datang, berjalan mendekatinya dari 100 meter didepannya. Ren bisa melihat lima kartu ditangan Yosuke, sepertinya akan ada sesuatu yang membahayakan nyawanya. Ren mengeluarkan pedangnya, bersiap kalau dirinya diserang oleh Yosuke.
"Halo Tao Ren, bagaimana hari ke-49 menjadi tentara YVS?" tanyanya dengan senyum lebar yang menyeramkan.
Melihat senyuman menyeramkan itu membuatnya semakin bersiap akan kejutan dari kartu-kartu yang akan digunakan oleh Yosuke, pemuda tinggi itu tidak bersama adiknya. Seketika perasaan tidak enak mulai menyelubungi hatinya, hatinya seakan berkata ketidakadaan Black Maiden di samping Yosuke patut dipertanyakan.
Bisa saja Black Maiden sedang tidak berada disini, diluar bentemg jauh dari tempat berdiri sekarang.
"Yoh."
Pikirannya langsung tertuju kepada sahabatnya itu, kalau dia benar Black Maiden sedang menuju ke tempat Yoh, dia tidak bisa berlama-lama bermain dengan kakaknya, dia harus cepat menyelamatkan mereka dari adik bar-bar Yosuke.
"Apa maumu?"
"Waktumu sudah habis," balasnya sambil membalikkan satu kartu paling kanan.
Sesaat setelah kartu itu dibalik, sebuah petir menyambar Ren, kedua bola mata Ren memutih setelahnya, tubuhnya tak bisa digerakkan sedikitpun, kedua kakinya tidak bisa disuruh untuk membantunya tetap berdiri kokoh.
Tubuhnya tumbang ke tanah,sebelum kesadarannya hilang, dia mendengar Yosuke mengatakan.
"YVS sudah berkata, inilah waktu pengampunan kalian berdua, kuharap kalian siap dengan jawaban masing-masing."
"Yoh...."
Jduak! Yosuke menendang tubuh Ren dengan keras sampai posisinya berubah menjadi telentang.
"Masih bisa mengkhawatirkan samurai bersyal oranye itu huh, lucu sekali."
If I close my eyes
You're still there on the other side
××××
"Hmmm ... hmmm ... hmmmmm...!"
"Kenapa kamu ngeliatin aku seperti itu?" tanya kakaknya sambil memasang ekspresi polos seperti tidak tahu apa-apa yang dimaksud oleh adiknya menatapi sang kakanya penuh kecurigaan.
"Kakak ngapaian kemaren? Kenapa pulang-pulang kakak babak belur begini? Banyak sekali luka sayatan, jari telunjuk kakak juga yang kiri juga sampai HILANG."
Tamao yang sedang sibuk membersihkan luka Hao yang masih mengeluarkan darah menghela nafas panjang, mulai lagi adu mulut antara si kembar. Sudah lama juga tidak ada pertengkaran antar saudara, bukannya Tamao ingin melihat mereka berantem hanya saja pertengkaran itu biasanya memperlihatkan betapa dekatnya mereka.
"Sakit, sakit ... sakit--sshh Tamao, mengganti perbannya biasa saja."
"Maafkan saya Tuan Hao."
"Kak, jawab pertanyaanku."
Hao melihat ke Yoh dengan senyum simpul penuh dengan makna, ditambah dengan kata, "Maaf" di dalam senyumannya.
"Maksud kakak a ... pa?"
"Permisi, Black Maiden datang untuk menjemput samurai bernama Asakura Yoh, YVS sudah memerintah kami untuk menjemput pendosa di kota ini."
Suara itu menggema sampai ke dalam ruangan tempat Hao dan Yoh berada.
Wajah Hao melayu inilah akibat dari kekalahannya kemaren melawan YVS, dia berniat untuk menyelesaikan semuanya tetapi kekuatannya masihlah kurang dan dia kalah.
Beruntung masih bisa kembali dalam keadaan utuh, hanya jari telunjuknya saja yang hilang dan itu untuknya tidak berarti daripada harus kehilangan adiknya.
Dia sudah tahu adiknya sudah dianggap pendosa akibat mengabaikan peraturan dari YVS.
Dan di hari inilah adiknya akan diambil darinya dan mungkin dia tidak akan bisa bertemu dengannya lagi.
"Maafkan aku Yoh," tangan kurus penuh luka sayatam terangkat, untuk terakhir kalinya dia mengusap surai kecoklatan milik adiknya.
"Kak...?"
Pandangan Yoh gelap.
"Sayang sekali, kemarin kamu tidak bisa menolong adikmu. Kamu terlalu lemah."
"Semoga kali ini, semuanya selesai, dan penderitaanmu hanya sampai sini saja."
×××
Ketika kedua membuka mata, mereka dihadapkan satu sama lain, tangan mereka juga menggenggam pedang yang siap untuk saling menebas maupun menusuk tubuh sampai mati.
Inilah yang dimaksud pengampunan oleh YVS, saling membunuh atau mereka menyerahkan nyawa untuk diambil untuk membiarkan salah satu yang berdiri berhadapan selamat
"Bunuh aku, Ren," ucapnya dengan santai sambil tersenyum ringan, kedua tangannya direntangkan ke samping.
Ren yang sudah mengumpulkan kesadarannya hanya memandangnya datar, dia sudah menduga kalau Yoh akan berkata seperti itu, sesuai di chapter terakhir buku itu.
Entah itu kebetulan atau memang takdir yang dilihat oleh Jeanne.
Sejak awal harusnya dia tidak membiarkan siapapun masuk ke dalam kehidupannya, tidak seorangpun yang boleh masuk, akhir dari memiliki teman akan seperti ini.
Dan di hari pengampunan mereka berdua, mereka harus saling membunuh atau ... membiarkan diri dibunuh.
"Ren."
"Yoh--"
Senyum miring ditujukan padanya. "Aku tidak ingin kamu mati."
Gelengan kepala pelan menolak. "Tidak Yoh, apa yang kita pilih ... semuanya sama."
Yoh tidak menghilangkan ekspresi cerianya. Kalau sudah begini hari pengampunan tidak akan berakhir. Satu-satunya cara adalah....
"Kalau begitu, ayo kita akhiri disini."
"Yoh."
Manik keemasan membulat, lalu kembali seperti semula, dia mengerti apa yang dimaksid oleh Yoh.
"Mungkin memang seharusnya begini."
Kedua saling melempar senyum.
"Kita akan bertemu lagi nanti."
I wonder how strong you've become
And I want to be that same way to you
.
.
.
https://lyricstranslate.com
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro