Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

part 10

Jamie hampir saja terpental dari kursinya kalau bukan karena sabuk pengaman yang menahan tubuhnya ketika Revan menginjak rem secara tiba-tiba.

"Sialan, lo mau bunuh kita?" bentak Jamie sambil mengusap dadanya yang masih terasa panas akibat tarikan sabuk pengaman tadi.

Di kursi penumpang Alex juga terlihat kesal membenarkan kacamatanya yang hampir terlepas.

"Sorry ... sorry." Revan tertawa, membuat kedua temannya makin jengkel, "tadi ada anjing liar tiba-tiba udah ada di depan aja," jelasnya.

"Eh ... tunggu, tunggu, ini kita di mana?" Alex tiba-tiba menyela.

"Loh?" Jamie melihat bingung pada pemandangan di luar mobil mereka. Dari ekspresi teman-temannya, mereka pun merasakan kebingungan yang sama.

Revan melangkah keluar diikuti oleh dua penumpangnya. Tidak terlihat suasana perkotaan yang mereka lewati beberapa menit lalu, bagaimana mungkin mereka tiba-tiba berada di tempat seperti ini, tidak tampak bangunan di sekitar, hanya beberapa pepohonan.

"Di sana ada rumah tu." Revan dan Jamie mengikuti arah tangan Alex yang menunjuk pada sebuah rumah sederhana yang terlihat sudah dimakan usia di ujung jalan.

"Ayo kita tanya." Revan segera mendatangi rumah tua itu dengan Alex dan Jamie yang mengekor di belakangnya. Dia mengetuk beberapa kali, kemudian mengusap lengannya pada celana jeans yang dikenakannya untuk membersihkan serpihan cat yang menempel.

Pintu terbuka dan seorang pria tua menyambut mereka.

"Hey, aku tidak pernah melihat kalian di sekitar sini."

---

Shelby mengendap turun, mengamati meja kosong tak jauh dari pintu keluar.

"Tepat pukul sepuluh, saat matahari sudah naik, June akan mengurung diri di kamarnya." Shelby mengingat kata-kata Juan kemarin. "Dia akan tetap di sana sampai mendekati tengah hari."

"Apa kau yakin? Bagaimana kalau dia menyadari kalau aku merencanakan sesuatu?" Shelby benar-benar skeptis dengan rencana mereka yang dirasa kurang matang.

"Oh kau tak perlu ragu, itu adalah waktu di mana warga membakar June hingga pada kematiannya." Shelby meringis ngeri.

"Kupikir dia dibunuh pada malam hari?" Shelby memotong pembicaraannya. "Aku ingat kau memberitahuku waktu itu."

"Aku yakin aku hanya melewatkan detail kecil tersebut," tepis Juan, "Jadi," lanjutnya, "setidaknya kau punya lebih dari satu jam untuk menemukan abu tersebut." Dia mengakhiri kalimat tersebut dengan senyum bangga, seolah dia baru saja mengutarakan rencana spektakuler yang anti gagal.

"Kau melewatkan satu hal." Juan mengangkat alis tebalnya, menunggu Shelby meneruskan. "Kau lupa kalau masih ada Andrea."

"Oh ...." Juan tertawa, Shelby menatap kesal pada hantu bodoh itu. "Tenang saja, Andrea akan cukup sibuk mempersiapkan nanti malam."

Kening Shelby mengerut bingung. "Oh benar, aku ingat dia sempat mengatakan soal karnaval."

"Pffttt ...." Shelby menyilang tangan di depan dadanya menunggu sampai Juan berhenti tertawa. Hantu bodoh itu terbatuk-batuk melihat wajah Shelby. "Maaf nona, kau betul-betul polos, haha. Mana ada karnaval, malam ini mereka akan membuat persembahan." Dia sedikit membungkuk, mensejajarkan wajah mereka hingga hanya berjarak beberapa inci. "Dan kaulah persembahan istimewa malam ini." Shelby mengusap dadanya untuk meredakan rasa sakit saat jantungnya berdegup terlalu cepat. Dia melihat Juan, berharap dia akan tertawa dan mengatakan kalau dia hanya bercanda, tapi tidak.

"Lantas bagaimana kalau aku tidak berhasil menemukannya dan June menemukanku?" Pertanyaan itu keluar tak lebih dari bisikan, Shelby bahkan tak menemukan kekuatan untuk sedikit mengeraskan suaranya.

Juan menatap gadis itu beberapa saat sebelum mengangguk pelan. "Maka aku akan mendoakan agar jiwamu tenang."

Shelby berdiri tepat di depan pintu di bawah tangga yang akan membawanya ke basemen itu. Kata-kata Juan masih terngiang di kepalanya.

Enak saja, Shelby tidak akan membiarkan June atau siapapun menjadikannya sebagai persembahan pada iblis.

Dia menutup mata mencoba melupakan semua percakapannya dengan Juan kemarin. Dia tidak boleh teralihkan dari tujuannya.

Meraih kenop pintu, Shelby merasa begitu bodoh saat menyadari pintu itu terkunci. Tentu saja, bagaimana mungkin June akan begitu bodoh membiarkan pintu ini tanpa pengamanan.

Dia melepas penjepit rambut dan bersyukur sempat belajar membuka berbagai jenis kunci dari si kutu buku Alex. Shelby cukup kesulitan mengakali benda tua itu tapi setelah beberapa menit, suara click terdengar dan Shelby tersenyum saat dia bisa membuka pintu itu dengan mudah.

Perlahan, dia mulai menuruni anak tangga. Shelby mendelik, ini bukan yang dia bayangkan yang akan didapatinya. Ruagan Ini terlihat sangat terawat, bahkan cukup bersih. Terlihat rak-rak besar yang menampung ratusan buku tua memenuhi dinding. Beberapa lukisan juga terlihat menghiasi tempat ini. Sebuah kursi membaca terletak di dekat jendela yang tampaknya berada tepat di atas tanah di luar. Di atasnya, terdapat lukisan yang cukup besar, lukisan itu menggambarkan ... June?

Shelby menggelengkan kepala, dia harus fokus dengan tujuannya. matanya mulai mencari, di mana kira-kira abu itu disimpan?

Matanya menyelidik, mengamati tiap sudut basemen berharap melihat apa yang sedang ia cari. Dia melangkah ke arah rak terdekat, memindahkan buku-buku dan mencari tiap celah, sebelum pindah dan meneruskan pencarian ke tempat lain.

Entah berapa lama sudah berlalu namun Shelby tidak menemukan benda terkutuk itu, kalau begini, bisa-bisa June akan memergoki dirinya sebelum Shelby bisa menemukan abu sialan yang bakal menentukan kelangsungan hidupnya.

Matanya mengarah pada lukisan besar di atas jendela. Mungkinkah?

Shelby tak banyak berfikir, dia menyeret kursi membaca dan mulai memanjat, berharap waktu dan keadaan tak mengkhianatinya. Tangannya meraih ujung bingkai dari lukisan tersebut dan berusaha melepaskannya. Tangannya tak sengaja mendorong terlalu keras menyebabkan lukisan itu jatuh terpental hampir menimpa kepalanya.

Shelby menatap bergantian pada lukisan di lantai dan pintu basemen, khawatir June mendengar semua keributan dan menangkapnya. Tiba-tiba Shelby merasakan dorongan hebat yang mengakibatkan tubuhnya terlempar beberapa meter hingga pada dinding di belakangnya sebelum terhempas ke lantai.

Dia mengerang, memegangi lengan kanannya yang menanggung akibat terparah. Matanya yang mulai dipenuhi titik hitam mendapati bocah perempuan penghuni kamar no 16. Dia menatap Shelby dengan tatapan kosong yang selalu mendekorasi wajahnya, kakinya melangkah pelan, mendekat ke arah gadis yang masih terbaring kesakitan di lantai.

Sekelebat bayangan tiba-tiba muncul dan menyambar tubuh anak kecil itu, mengejutkan Shelby.

"Cepat, Nona!" Shelby mendengar suara Juan yang disusul teriakan memekakkan dari anak kecil tadi, membuatnya menghambur, menatap sekeliling kebingungan. Matanya melihat celah kecil di atas jendela, yang tadi tertutup lukisan, botol yang dia cari berada di dalamnya.

Shelby tersadar dari lamunannya saat seseorang menggedor dan membentur-benturkan sesuatu pada pintu basemen. Dia terkesiap dan bergegas memanjat kembali berusaha mengambil botol kecil berwarna biru tersebut. Ruangan itu dipenuhi oleh suara teriakan dan rauman membuat Shelby ketakutan, ditambah suara hantaman pada pintu yang semakin menggila membuatnya bergegas mengambil abu itu.

Tangannya berhasil meraih botol berukuran kecil itu dan Shelby tak membuang waktu segera merangkak keluar melalui jendela.

Dia merasa seorang memegang kakinya, Shelby menjerit, berusaha melepaskan diri dari genggaman sekuat besi itu.

"Juan!" jeritnya. Dia dapat merasakan tubuhnya perlahan kembali tertarik ke dalam. Tangannya berusaha berpegangan kuat pada rerumputan. Shelby teringat akan botol di tangannya, melihat pada bebatuan di dekatnya, gadis itu menghantamkan botol tersebut sekuat tenaga. "Pergilah kalian ke neraka!" Botol itu pecah, menyebabkan abu di dalamnya berterbangan.

Suara raungan menggelegar sebelum pegangan di kakinya terlepas, Shelby menangis, dilemparkannya rantai perak bersama pecahan botol dari tangannya.

"Kau berhasil." Shelby menoleh ke arah Juan yang menatapnya seolah tak percaya. "Kau benar-benar berhasil," dia menggumam, "aku tau aku bisa mengandalkanmu."

"Juan? apa ya--"

"Sekarang aku sudah bebas," lelaki itu masih juga bergumam sendiri. Shelby menatapnya bingung.

"Apa yang sebenarnya terjadi? apa semua sudah selesai? kutukan itu... apa kita berhasil menghancurkannya?" Shelby mengusap wajahnya. "Sekarang aku bisa pergi."

"Pergi? aku rasa tidak." Mata Shelby membulat melihat pria yang dia fikir merupakan teman. "Setelah puluhan tahun, akhirnya segel yang menahanku terlepas," lanjutnya tersenyum.

"Dan semua berkatmu." Shelby berbalik mendapati Andrea tak jauh darinya, kedua tangan menyilang di dada. "Bocah kecil bodoh itu hampir saja menggagalkan semuanya," gerutunya.

Shelby masih tak mengerti, apa yang sebenarnya terjadi.

"Kami harus berterimakasih padamu, setelah puluhan tahun terkurung di sini, akhirnya kami bisa kembali terbebas, dan kau bahkan membawakan korban pertama untuk kami." Shelby tak sempat menjawab, sebuah pukulan keras dilayangkan di kepalanya, menyebabkan gadis itu kehilangan kesadaran.

---

"Lo bisa nyetir gak, sih, Van?" Jamie tertawa, saat Ravan lagi-lagi mengerem mobil secara mendadak.

"Sorry." Ravan tertawa lalu menunjuk ke depan. "Lihat ada apa di sana."

Jamie dan Alex mengikuti arah tangan Ravan, terlihat banyak orang tak jauh dari mobil mereka. Seorang wanita muda berjalan mendekati mobil mereka, Ravan menurunkan kaca jendela saat gadis itu sudah cukup dekat.

"Hai, ada yang bisa kubantu?" tanya gadis itu ramah. Ravan meremas setir kuat-kuat, dia dapat merasakan jantungnya menggila melihat gadis secantik ini berbicara dengannya.

"A-ah, iya, sebenarnya kami sedang mencari sebuah alamat," jelasnya sedikit terbata. Dari sampingnya, Alex dengan sigap mengulurkan selembar kertas, tangannya yang bergetar cukup menunjukkan kalau dia sama gugupnya dengan Ravan.

Jamie hanya memutar bola mata melihat tingkah kedua sahabatnya itu. "Apa kau tau tempat itu?" tanyanya.

Gadis itu tersenyum. "Oh ... aku tau tempat ini, penginapan ini milik kakakku, kalian bisa bersamaku ke sana." Dia menyelipkan rambut panjangnya ke sela telinga. "Namaku Andrea," ucapnya mengulurkan tangan putih bersih untuk berjabat.

T.A.M.A.T

---

A/N: Sampai jumpa di buku kedua 😘😘😘

Terimakasih yang sudah setia membaca sampai sini, padahal tulisan zie ga ada bagus-bagusnya hehe, suport kalian sangat berarti ❤❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro