Los Verilies
Banyak orang yang mengatakan dunia itu indah. Katanya, coba kau melihat lebih jauh ke dalam hidup yang kau jalani, jika seseorang lebih mensyukuri dan menerima apa yang mereka punya pasti dunia akan tampak indah dan damai.
Aku mencobanya. Aku menghabiskan tiga malam untuk menemukan hal kecil yang patut kusyukuri itu. Hasilnya: Nihil. Setidaknya aku sudah mencoba. Dan tidak menemukan satu alasan pun untuk disyukuri dan dipertahankan untuk tetap hidup.
Dari awal aku tidak tahu untuk apa aku dilahirkan. Apa untuk dihina? Untuk dijadikan samsak tinju kekesalan seseorang? Atau sekadar dibesarkan untuk dijadikan pelacur dengan harga murah. Oh, setidaknya Ibuku memberi ku makan. Dan, jangan lupakan pakaian bagus. Tubuhku tidak akan dipertontonkan dengan gratis begitu saja. Ibu adalah orang yang perhitungan. Beliau tidak akan memberikan sesuatu secara percuma—tak terkecuali diriku. Aku membayar atas apa yang Ibu berikan untuk membesarkanku. Di dunia ini tidak ada yang gratis, katanya berulang kali sehingga kupikir kalimat itu adalah sebuah yel-yel hidup.
Di umur sembilan tahun aku sudah dipertontonkan seks bebas. Aku melihat Ibuku bergelut dengan pria asing yang berbeda dari hari kemarin di atas meja makan dapur. Tanpa menghentikan kegiatan saling melahap mereka, Ibu hanya memberiku isyarat untuk masuk ke dalam kamar dan tidak mengganggu.
Di umur enam belas aku diajarkan melayani para tua bangka dengan berpasrah diri untuk disentuh sesuka hati mereka. Dan saat itu aku tahu bahwa hidupku sampah dan aku ingin menukarnya dengan kematian.
Di umur delapan belas, aku merasa hancur, kotor, rendah, dan hina. Keperawananku direnggut begitu saja oleh salah seorang pelanggan tetap Ibu.
Malam itu aku melarikan diri. Aku berlari tanpa alas kaki memasuki hutan. Berusaha untuk tidak tertangkap oleh orang-orang dari rumah bordil yang juga menjadi tempat di mana aku dibesarkan.
Aku berlari cukup jauh. Kakiku sakit, tapi aku tidak bisa berhenti. Aku merasa orang-orang itu masih mengejarku.
Aku masuk cukup dalam ke bagian tengah hutan. Perlahan gerakan kakiku kian melambat, luka-luka di kakiku mulai terasa perih dan membuat langkahku terseok-seok. Kendati begitu, aku masih terus berjalan tanpa tujuan.
Saat itu aku berpikir aku akan segera mati. Entah itu karena kehabisan tenaga atau dimakan hewan buas. Namun, siapa sangka ada cara lain untuk mati di tengah hutan gelap.
Aku menginjak perangkap, kedua kakiku terikat dan tertarik ke atas, kepalaku membentur tanah. Aku yakin benturan itu menghasilkan darah sebab ada sesuatu yang mengalir di kulit kepalaku.
Dengan tubuh yang terjungkir balik, aku perlahan kehilangan kesadaran.
.
.
.
.
.
Aku ingat, satu-satunya hal yang menyenangkan dan aku merasa mendapat ketenangan adalah saat aku mengakhiri hari dan menutup mata. Bisa tidur dan beristirahat adalah hal kecil yang membuatku … setidaknya merasa bahwa aku adalah seorang manusia. Paling tidak aku mendapat jeda menghadapi hari berikutnya untuk dipertahankan.
Kukira hutan itu menjadi tempat terakhirku untuk beristirahat dengan tenang. Kehabisan darah, barangkali. Tapi, tidak. Aku masih bisa membuka mataku, dan aku tidak yakin ini hal yang patut kusyukuri atau tidak.
Aku berbaring. Bisa kurasakan lembutnya selimut, juga empuknya kasur, serta bantal. Tentu saja pertanyaan yang ada di kepalaku adalah ....
Di mana aku?
Aku melihat jendela besar, di luar sana matahari sudah setengah perjalanan menuju tengah hari. Kurasakan kepalaku terbalut sesuatu. Ada seseorang yang berbaik hati telah mengobatiku, pakaianku juga telah berganti.
Selagi kebingungan dengan apa yang telah terjadi, aku mendengar suara bisik-bisik dari ujung ranjang. Jika telingaku masih berfungsi dengan baik, maka aku menangkap tiga asal suara yang berbeda.
Aku mencoba mendudukkan diri. Bisa kurasakan tubuhku sakit di berbagai tempat. Namun, tatkala aku melihat ke ujung ranjang, tiga suara berbisik itu menghilang.
“Halo.” Aku membuka suara, mencari siapa pun yang dapat memberiku sedikit penjelasan tentang “Di mana aku berada”. Namun, sejauh aku memperhatikan; kamar ini kosong.
Ruangan ini besar, aku rasa lebih besar dari rumah bordil yang kutinggali. Kasur yang kutempati mewah. Di sebelah kanan ruangan terdapat jendela besar yang kulihat saat baru membuka mata tadi. Ada sofa dan perapian di ujung ruangan sana beserta karpet beludru merah yang besar. Ornamen cantik memenuhi pilar-pilar ruangan, atap berbentuk kubah dengan gambaran langit biru serta awan putih.
Aku merasa tinggal di salah satu kamar istana, atau mungkin ini adalah rumah dari seorang saudagar kaya yang telah berbaik hati menyelamatkanku di hutan.
Sesaat aku sibuk mengobservasi ruangan, aku mendengar kembali suara bisik-bisik tadi. Kali ini berasal dari bawah tempat tidur.
Aku mengintip ke bawah sana. “Permisi,” ujarku.
Tidak ada siapa-siapa. Aku hanya menemukan tiga ekor kelinci sedang (mungkin) merumpi di bawah sana.
Mengerutkan dahi, aku menatap ketiga kelinci itu. Seakan mereka baru saja terpergok tengah mencuri wortel. Ketiga kelinci dengan warna putih, cokelat, dan putih bercorak hitam itu membeku dan menatapku. Hidung kecil mereka berkedut lucu. Lagi-lagi pertanyaan datang: Apa yang dilakukan tiga kelinci di bawah ranjang?
“Kau sudah bangun?” Satu suara itu berhasil menginterupsi acara tatap- menatapku dengan ketiga kelinci.
Serta-merta aku mengangkat kepala. Gerakan mendadak itu membuat kepalaku berputar, aku merasa mual. Saat aku sudah bisa sedikit mengendalikan penglihatanku yang memburam sebab gerakan tadi, aku bertanya, “Siapa di sana?”—sebab tak bisa menemukan siapa pun yang sekiranya berbicara.
Sebelumnya, aku ingin memberitahu kalian tentang kejanggalan ruangan ini. Seperti yang kalian bayangkan, ruangan ini sangat megah dan indah, tapi ada satu yang sedari awal menggangguku sebab itu sangat tidak cocok dengan ruangan dan tampak berbeda dari hiasan yang lain. Lagi, itu berada tepat di atas perapian yang posisinya berada di tengah dinding di ujung sana, seperti sengaja ditaruh untuk menjadi perhatian.
Itu adalah patung gagak besar setengah manusia. Sayapnya berwarna hitam, tapi ia memiliki rambut berwarna biru lautan. Patung itu cukup banyak mengambil atensiku.
Dan kelopak mata yang tadinya tertutup itu, sekarang terbuka dan menatapku dengan tajam. Perlahan-lahan ia bangkit dan merentangkan sayapnya. Gagak itu melesat terbang ke atas sana dan berputar mengitari atap sebelum menukik turun ke arahku.
Aku menjerit dan menarik selimut untuk menutupi diriku.
“Bagaimana perasaanmu?”
Aku menurunkan selimut perlahan, melihat si Gagak ternyata sudah bertengger di besi ujung ranjang. Iris safir itu berkilat menatapku. “Apa kau bisa mendengarku? Kau bisa berbicara? Aku bertanya padamu jadi sebaiknya cepat kau jawab!”
Di saat aku tidak bisa berkata, ketiga kelinci tadi menyembulkan kepala mereka di sisi lain ranjang. “Victor. Jangan. Ganggu. Dia. DASAR PESOLEK!”
Kelinci itu berbicara. Secara bergantian. Di mulai dari si hitam-putih, cokelat, kemudian putih dan diakhiri secara bersamaan.
“Apa barusan kelincinya berbicara?” tanyaku tak percaya.
“Iya, dan mereka sangat berisik.”
“Kau apa?” tanyaku kemudian kepada si Gagak.
“Aku apa? Aku makhluk hidup, bukan barang! Namaku Victory.” Si Burung Gagak ini memiliki temperamen yang buruk.
“Benar. Dia itu. Victor. SI PESOLEK!” tambah ketiga kelinci.
Victory menatap galak kepada tiga buntalan kecil. “Pergi kalian sebelum kukuliti dan kujadikan sate!”
Bulu-bulu lembut mereka berdiri, ketiga kelinci yang selalu berbicara bergantian itu hilang dari pinggir ranjang; bersembunyi.
Kericuhan tadi belum benar-benar selesai, tapi disana ada satu presensi lain yang heboh sendiri.
“Apa? Di mana? Siapa?” Seseorang yang duduk di salah satu sofa dekat perapian agaknya baru saja bangun dari tidur dengan terkejut dan langsung berdiri. Ia mengedarkan pandangan dengan linglung. Kacamatanya miring, surainya berantakan, dan beberapa barang berjatuhan darinya saat berdiri tadi.
“Dokter, gadis ini sudah bangun,” ujar Victory dengan santai.
“Oh, benarkah?” Seseorang yang dipanggil dokter itu membenarkan letak kacamatanya. Ia berjalan mendekat dan duduk di kursi yang berada di sisi kanan ranjang (Aku bersumpah sebelumnya tidak ada kursi di sana). “Mari kita lihat bagaimana perkembangan kondisimu, Nona.”
Dokter itu mengulurkan tangannya, tapi tanpa sadar aku menghindar. Dokter menghentikan tangannya dan aku cukup kaget dengan reaksiku yang tiba-tiba tanpa kusadari.
Ada yang salah denganku.
“Ah, aku paham.” Rupanya si Dokter menangkap dengan cepat maksud reaksi impulsifku. “Kalau kau tidak begitu nyaman, biarkan teman-temanku saja yang memeriksa.”
Ia membuka tas tangan cokelat yang dibawanya. Dari dalam sana keluar satu-persatu alat dokter. Mereka bernyanyi dan bergoyang. Sang Dokter sendiri bertepuk tangan mengikuti irama.
Kerja-Kerja-Kerja kerja kerjaa!
Memeriksa yang tengah sakit, menolong yang lemaaah.
Menyehatkan, menguatkan, membantu sesama~
“Di mana pasien yang harus kami periksa, Dokter?” tanya stetoskop yang sepertinya adalah pemimpin dari para alat ajaib itu.
“Nona ini baru saja sadar. Kalian tahu apa yang harus kalian lakukan, bukan?”
“Tentu saja, Dokter Brainstrom. Serahkan pada kami!”
Para peralatan melakukan tugas mereka, tubuhku di periksa secara menyeluruh. Dan di sana, ada buku catatan kecil terbang yang bertanya-tanya tentang keadaanku, sedangkan pena bulu mencatat apa yang kuucapkan. Mereka bekerja dengan baik.
Di tengah kesibukan para alat, seseorang membuka pintu dengan lebar. Munculah sesosok anak kecil yang mengendarai sepeda dengan bentuk kuda sembari memakan kue kering. Ia mengenakan mahkota raja yang agak kebesaran dengan telinga kelinci yang tersemat di mahkotanya itu. Ia juga memakai baju bangsawan dan jubah kebesaran raja.
Semuanya menghentikan kegiatan mereka, kemudian berbalik untuk menyambut kedatangan anak kecil itu. “Salam dan hormat kami kepada Yang Mulia.” Mereka semua menunduk dan memberi hormat.
“Bagaimana keadaan tamu manusia kita, Dokter?” tanya si anak kecil yang—meskipun terdengar seperti lelucon— kenyataannya ialah sang Raja.
Kenyataan? Tidak. Dari awal semua ini tidak ada yang nyata.
“Aku pasti tengah bermimpi,” gumamku.
Kupikir tidak ada yang mendengar ataupun memperhatikan, tapi rupanya Victory menyahut, “Tenang saja. Ini bukan mimpi.”
Aku tertegun sejenak. Lalu bertanya dengan tidak yakin, “Sebenarnya ini dimana?”
“Kau bertanya?” Sang Raja Cilik menatapku lekat. Sekarang seluruh atensi menuju padaku.
Di saat aku mulai khawatir tentang apa ada yang salah dengan pertanyaanku, tiba-tiba suara alunan musik meriah berupa terompet dan drum datang entah darimana. Sang Raja Cilik menari, si Gagak mengepakkan sayapnya, Tuan Dokter kembali bertepuk tangan mengikuti alunan musik, dan para alat dokter menari-nari abstrak. Oh, dan tiga kelinci yang tadi bersembunyi sekarang berlari-lari mengelilingi Raja. “Selamat datang di kerajaan Los Verilies! Tempat di mana segala penyakit dapat disembuhkan. Perkenalkan aku Raja Jung Kookie D'strong yang selalu memerintah dengan adil.” Genderang ditabuh dengan meriah, sang Raja berpose dengan gagah, tapi image anak umur sepuluh tahun tidak lepas darinya dan membuatnya terlihat lucu.
“Aku sudah menyebutkan namaku tadi, aku Victory, pengawal Raja Jung, serta penjaga kerajaan,” ujar Victory.
“Perkenalkan, Nona.” Tuan Dokter membungkuk dengan sopan. “Aku adalah dokter kerajaan, Dokter Namjoon Brainstrom.“
“Kami. Juga. Ingin. PERKENALAN!” seru tiga buntalan bulu yang melompat-lompat. Mereka memperkenalkan masing-masing nama mereka; yang hitam-putih bernama Park, yang cokelat bernama Kim, dan yang berwarna putih bernama Jeon.
“Kurasa kita harus segera menghubungi Hoba untuk mengantar Nona Manusia ini ke dunianya?" usul Victory sesaat setelah mereka sibuk menari-nari untuk memperkenalkan diri.
“Sungguh brilian, Victory. Cepat beritahu Jimmy supaya dia bisa memanggil Hoba untuk kemari secepatnya.”
“Aku akan diantar ke mana?” tanyaku.
“Tentu saja ke dunia manusia, kau kan manusia,” jawab Raja Jung dengan santai.
“Aku tidak paham. Bukankah Yang Mulia dan Dokter adalah manusia? Apa ini bukan dunia manusia?”
Seluruh ruangan hening. Entah kenapa mereka selalu terdiam lebih dulu sebelum menjawabku.
Tapi, keheningan itu tidak bertahan lama sebab pertanyaanku bagai lelucon untuk mereka. Semua orang tertawa dengan keras, kecuali aku yang tidak paham dengan apa yang mereka tertawakan.
“Dokter Brainstrom adalah penyihir dokter, dia bukan manusia. Kalau aku, meski rupaku seperti manusia tapi, sebenarnya aku adalah anak kecil,” jelas Raja Jung dengan ceria.
Aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa untuk jawaban itu, jadi aku memilih untuk membisu. Sudah cukup banyak ketidak-masuk-akalan dan mungkin akan ada lebih banyak lagi. Jadi aku hanya menerima. Sudah cukup bagus diriku ditolong mereka.
“Yang mulia, sepertinya kita perlu menunda kepulangan Nona Manusia kita,” ujar dokter Brainstrom.
“Kenapa?”
Dokter menyikap selimutku, memperlihatkan kakiku yang tertutup oleh perban, sepertinya luka kakiku cukup parah.
“Kita perlu menunggu beberapa hari sampai lukanya kering dan sembuh,” jelas dokter.
“Aw, aw, aww, i-itu pasti sangat sakit.” Mata Raja Jung berkaca-kaca. “Victory, kasihan sekali Tamu Manusia kita. Aku akan menangis karena aku sangat bersimpati.”
Raja kecil itu mulai menangis, air matanya bercucuran seperti pancuran taman. “Victory, itu sebabnya aku selalu bilang untuk menggunakan alas kaki saat berjalan di luar,” tambahnya.
“Ta-tapi, aku memiliki sayap Yang Mulia. Aku selalu terbang dan jarang menggunakan kakiku.” Victory ikut menangis.
Mereka mungkin aneh dan—sedikit gila, kurasa. Tapi, aku menyukainya. Seperti perapian, hatiku menghangat melihat mereka.
“Oh. Dia. Tertawa. HAHAHAHA!”
“Akhirnya, Tamu Manusia tertawa. Victory, kita berhasil!” Raja Jung kembali menari-nari bersama tiga kelinci kecil yang berputar di sekelilingnya.
“Obat yang paling manjur adalah perasaan bahagia, Nona.” Dokter Brainstrom berkata. Ia tersenyum, lesung pipinya menyembul dengan manis. “Mari kita lepas perban di kaki Anda.”
Para alat membantu melepas perbannya. Secara ajaib lukanya mengering dengan sempurna. “Lihat, obat paling manjur! Terdepan dari yang paling depan!” seru Dokter. “Besok Hoba bisa mengantarnya pulang, Yang Mulia.”
Raja Jung, dan tiga kelinci kecil bersorak. Mereka semua senang aku akan kembali.
Dan mungkin seharusnya aku juga. []
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro