Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4 - Turning Point

Dekut burung hantu mengiringi langkah kaki yang berusaha diredam oleh Mary. Dia tak mau lady yang dia ikuti tahu keberadaannya. Jantung sang gadis berdebar keras. Kepala menoleh cepat tiap kali ada bunyi keluar dari balik rimbun rimba. Biasanya hanya rubah, kelelawar, atau hewan nokturnal lain. Tetapi itu cukup membuat pikiran sang gadis kalang-kabut.

Setidaknya, bulan malam itu penuh. Membuat tempat itu lebih mudah dilihat. Cahaya mengiluminasi pepohonan dengan bingkai perak. Mengingatkan Mary pada surai panjang Lady Allyssandra.

Dan soal sang lady sendiri—

Mary kehilangan jejaknya beberapa menit lalu. Percayalah, beribu sumpah serapah langsung melejit dari mulut begitu dia sadar. Karena sudah terlanjur, anak itu memutuskan untuk tidak berbalik. Bagaimanapun, nona yang dia janji akan lindungi sekarang berkeliaran dalam hutan tanpa teman. Jika sesuatu terjadi padanya, Mary akan sangat menyesal.

Walau berniat begitu, tetap saja, dia sudah agak lama berjalan. Dan Lady Allyssandra sama sekali tidak terlihat ujung rambutnya. Hati pelayan itu mulai goyah. Angin malam dan suasana hutan yang mencekam juga tidak membantu.

"Sebentar lagi, sebentar lagi saja," gumam Mary membuat janji pada diri sendiri. "Jika Lady Allyssandra belum ketemu, aku akan kembali ke mansion."

Tepat setelah kata 'mansion' keluar dari mulutnya, suara lain terdengar.

Kali ini, bukan tapak rubah, dekut burung hantu, atau kepak kelelawar—

Tetapi, auman.

Bulu kuduk Mary berdiri.

Hewan buas? Singa?

Otak Mary bekerja mencerna hal itu.

Sylvia bukan yang paling pintar. Tapi dia tidak mungkin menaruh hewan sabana di tengah hutan—

Auman terdengar lagi.

Tetapi kali ini—

"AAAAGH!!"

Diikuti jeritan.

Jeritan itu kasar, panik, dan tersiksa. Tidak seperti 'kyaa' imut yang ada dalam manga. Ditambah lagi, suaranya sama dengan-

"Lady Allyssandra?!"

Kaki Mary berlari sendiri. Tanpa sadar. Membawanya menembus pohon lebat. Tidak menghiraukan ranting dan tanah yang mengotori baju tidurnya. Dia terus bergerak.

Mendekati sumber suara. Raungan terdengar semakin keras.

Kini, giliran otak Mary yang menjerit.

Apa yang kau lakukan bodoh?!

Kau harusnya lari menghindari masalah! Bukan ke arahnya!

Tubuh Mary tak peduli. Tetap menembus hutan. Akal dan logika dibuang. Tak habis pikir tentang konsekuensi yang menantinya.

Dan benar saja—

Kengerian menyambut Mary dalam kegelapan.

Dia menemukan lady yang dicari. Rambut perak berantakan. Jatuh. Bersujud di tanah. Tangan kanan mengelap darah di sudut bibir. Yang kiri menjadi tumpuan. Baju terkoyak. Menampilkan lengan yang diselimuti tinta hitam. Motif melengkung dan bergelombang menghias setiap jengkal kulit Lady Allyssandra.

Tato.

Sejak kapan Lady Allyssandra punya tato?! Apa itu sebabnya dia menyembunyikan lengan—?!

Geraman rendah menyela benak Mary.

Dan itu—

Itu berasal dari horor yang sebenarnya.

Di depan sang gadis, tampak dua mayat makhluk berkaki empat. Tidak lebih besar dari lembu dewasa. Tubuh merah. Seperti daging tanpa kulit. Dengan deret tulang tajam tumbuh di punggung. Makhluk-makhluk itu sudah mati. Tubuh mereka tertancap oleh duri-duri raksasa. Dipajang di angkasa. Seperti parade seni berdarah dan mengerikan.

Auman terdengar lagi.

Makhluk yang sama muncul. Namun, tidak seperti dua yang lain—

Yang satu ini masih hidup.

Taring menggertak dari mulut lebar yang sedari tadi mengaum. Makhluk itu merendah. Mengambil ancang-ancang. Hendak menerkam.

Menerkam Lady Allyssandra.

Tanpa pikir panjang, Mary meraih batu. Melemparnya kuat-kuat-

BUGH!

Bersarang di punggung makhluk itu.

Si monster menengok pelan ke arah Mary.

Warna menghilang dari wajah si gadis. Pucat pasi. Tubuhnya kaku. Tidak bergeming sedikitpun.

Habis sudah.

Monster kembali meraung. Bersamaan dengan-

"MARY-ANNE!"

Teriakan Lady Allyssandra.

Gadis bangsawan itu sontak menaruh kedua telapak di tanah. Tatonya berdenyar. Kilat hijau-biru mengalir pada gurat hitam.

Setelah itu—

Gempa bumi.

Lantai hutan bergemuruh. Bergetar hebat. Mary oleng dan jatuh terduduk. Kakinya lemas. Seluruh tubuhnya lemas. Monster di depan masih siaga. Mulut terbuka lebar. Memamerkan deret taring tajam.

Lalu, keajaiban terjadi.

Akar pohon mencuat dari dari tanah.

Tumbuh dengan rapid. Melilit. Sulur-sulur menyeruak dan menjerat kaki-kaki sang monster. Lalu tubuhnya. Monster terjatuh dengan bunyi berdebum. Sedangkan lebih banyak sulur tumbuh. Mengikatnya. Bak mumi dengan perban kayu.

Mary hanya bisa menyaksikan dengan terpana.

Sampai tangan menyambar bahunya.

"Kau baik-baik saja?!"

"Lady Ally!" jerit Mary balik. Ada lega dari caranya mengatakan nama itu. "Syukurlah kau ketemu!"

Mulut lawan bicaranya terbuka. Hendak menjawab. Namun, geram rendah menyela. Seperti ancaman. Kedua gadis menoleh.

Sang monster merobek ranting yang mengikatnya dengan taring runcing. Tubuh menggeliat membebaskan diri. Tiga pasang mata—ya, tiga—merah melotot memandang mereka.

Lady Allyssandra tersentak. Dia menggamit tangan Mary. Menariknya berlari menjauh.

"Sial. Sial! Kau tak seharusnya di sini!"

"Milady!" pekik sang pelayan. Terkejut dengan pilihan kata gadis yang biasanya tenang itu. "Apa yang sebenarnya terjadi?! Apa itu barusan?!"

"Tidak penting untuk sekarang! Yang penting kau selamat dulu!"

***

Tidak ada yang tahu berapa lama mereka berlari. Atau kemana. Pohon lebat tiada habis. Hutan seperti tak berujung. Adrenalin berpacu di nadi kedua gadis. Mengaburkan persepsi waktu maupun tempat.

Satu hal yang pasti.

Monster tadi masih memburu mereka.

Mary menolehkan kepala. Makhluk daging tadi tidak terlihat. Kendati begitu, di tengah derap kaki dan bunyi ranting patah, suaranya terdengar. Napas berat dan dengkur beringas. Cakar menapaki lantai hutan. Mengincar dua buronan dengan bersabar.

"Dia masih mengejar? Apa penciuman makhluk itu bagus—agh!"

Putri yang berlari di depan jatuh tersungkur. Karena tangannya masih menggandeng Mary, sang gadis ikut jatuh juga.

"Lady Allyssandra!" jerit si pelayan panik. Buru-buru bangkit. "Kau tak apa?! Apa kau tersandung—?!"

Saat itu, mata hijau menangkap noda gelap di ujung jubah sang nona.

Darah.

"Kau terluka?!"

Dengan panik, Mary bersimpuh seraya menyibak rok dan jubah lady itu. Benar saja. Luka menganga besar pada kaki Lady Allyssandra. Mary langsung merobek ujung gaun tidurnya sendiri. Menggunakan kain tersebut untuk membebatnya.

"Kenapa tidak bilang?!" teriaknya. "Sialan! Apa kau masih bisa jalan? Ayo kubantu—"

"Mary-Anne."

Tangan dingin menangkup pipi gadis itu. Membimbing Mary mengangkat kepala. Untuk bertatapan langsung dengan netra biru yang sayu. Lady Allyssandra berusaha memberikan senyum tenang.

"Aku akan menahannya. Kau larilah ke mansion."

Mary langsung menggeleng. Dia menaruh kedua tangan di pundak bangsawan itu.

"Kau bodoh jika kau pikir aku akan meninggalkanmu sendirian."

"Mary—"

"Simpan itu! Kita keluar dari sini bersama-sama atau tidak sama sekali, oke?"

"Tapi—"

"Ah, ah, tidak ada 'tapi'. Berikan tanganmu, aku akan memapahmu."

Putri bangsawan itu terperangah. Mungkin karena belum pernah melihat pelayan membantah seperti dirinya. Atau terkejut melihat kekeraskepalaan Mary. Apapun itu, tidak penting. Prioritas sekarang adalah pergi hidup-hidup.

Akan tetapi, belum sempat gadis yang terluka merangkul Mary, tubuhnya kejang. Tato di tangan berdenyar hebat. Warna hijau-biru memercik. Bersinar. Sejenak membutakan.

"Lady Allyssandra!"

Untuk kesekian kalinya, Mary menjeritkan nama itu. Dan untuk kesekian kalinya pula, sang empunya nama jatuh.

Tetapi, kali ini dia pingsan.

"Lady! Lady Ally! Bangun!" suara Mary makin meninggi. Semakin panik. Dia menampar pelan pipi gadis yang tidak sadar.

Dari jauh, suara raungan kini lebih keras.

"Oh, ayolah!" Mary mendesis. "Sungguh?! Di saat seperti ini?!"

Sang gadis menggapai dan menarik sang nona tanpa hasil. Lady Allyssandra jauh lebih tinggi. Dengan lengan dan kaki panjang. Terlampau berat untuk tubuh mungil Mary.

Sekarang, dia hanya bisa duduk nelangsa. Mengguncangkan tubuh sang lady yang teronggok tanpa daya. Pandangan mengabur. Matanya berkaca-kaca.

Ini—ini semua tidak ada dalam cerita!

Kau seharusnya hidup!

Aku harusnya berusaha lebih keras!

"Maaf..."

Mary terisak. Dia mengistirahatkan kepala berambut perak ke pangkuannya. Sebagai tindak pelayanan terakhir untuk sang putri. Air mata meluncur. Jatuh di pipi lady itu.

Suara monster semakin mendekat. Mary sudah tak peduli. Toh, ini akhir. Tidak ada lagi yang dapat dilakukan. Dia dan Lady Allyssandra sudah tamat.

Bagian otaknya, yang logis, memberikan peringatan. Bahwa dia masih punya kesempatan pergi. Mengingatkannya pada Ibu Panti, Sylvia, dan rencananya untuk pulang. Namun, tubuh sang gadis membeku. Tidak mau bergerak dari tempatnya bersimpuh.

Seminggu bukan waktu yang lama. Tapi itu cukup membangun kelekatannya dengan Allyssandra yang malang.

Dan demi dewa apapun yang ada di atas sana, Mary tidak akan membiarkan lady-nya itu mati sendirian.

Mary mengelap air matanya. Merutukkan sumpah serapah ke udara.

"Kau bajingan Syl. Sejak kapan ceritamu jadi horor begini—"

Pluk.

Sesuatu mendarat di atas kepalanya.

Gadis itu memekik. Sontak mengibaskan rambut. Terdengar suara kepak kecil. Dan 'sesuatu' tadi kini bertengger di perut Lady Allyssandra. Membersihkan sayap dengan paruh kecil.

Mata hijau beradu dengan sepasang yang mirip kelereng.

Burung magpie.

"Kau—!"

<Apa yang kau inginkan?>

Mary mengerjap.

Satu kedipan.

"A-apa maksudmu?"

<Kupikir aku cukup jelas.>

Dua kedipan.

"Aku—aku tidak—"

<Apa yang kau inginkan?>

Tiga kedipan.

Dan dunia Mary berubah.

Sang gadis bangkit. Mata merayau ke sekitar. Lady Allyssandra menghilang—tidak.

Semuanya menghilang.

Tidak ada lagi pohon.

Tidak ada lagi hutan.

Hanya langit.

Di atas. Di bawah. Di kanan. Di kiri. Di semua arah.

Hanya ada langit.

Dan lima buah pilar tinggi menghunus ke—entah kemana.

Atas dan bawah tak lagi ada.

Dan Mary mendongak.

Jutaan warna menari di atas sana. Putih, hitam, biru. Meleleh menjadi satu. Mengukir abstrak maha luas.

Di langit itu, bintang berkelip. Bukan, bukan berkelip—

Berkedip.

Itu mata.

Puluhan,

Ratusan,

Ribuan mata berkedip di langit berwarna asing. Tiap pupilnya cemerlang. Bersinar selayak konstelasi palsu.

Menatap Mary.

Putih-hitam-biru pun bukan langit.

Melainkan bulu.

Sayap-sayap menutupi angkasa. Cicit dan kicau terdengar. Berkaok-kaok saling menyahut.

Napas tercekat di tenggorokan sang gadis. Bunyi ganjil memukul gendang telinganya. Dia terhuyung. Lengan bertumpu pada salah satu pilar.

Namun—

Itu juga bukan pilar.

Itu jari telunjuk.

Dan ribuan sayap di atas berdenyar. Bergerak seperti barisan prajurit. Tiap kepak membentuk gelombang. Selayak batu dilempar pada air.

Dari balik sayap dan mata itu—

Sebuah kepala—atau sesuatu yang mirip kepala—muncul.

Bertudung.

Dia sang pemilik tangan.

Tangan tempat Mary sekarang berdiri.

Pertanyaan yang sama kembali terdengar. Bergema pada ketidakterbatasan.

"Apa yang kau inginkan?"

Mary tidak tahu.

Terlalu banyak. Terlalu sedikit. Mary tahu dia punya keinginan. Tapi pada detik itu? Otaknya meleleh. Hanya menjadi gaung logika tak berarti.

Tetapi—

Tetapi.

Ada satu.

Satu yang sangat dia inginkan sekarang.

Bibir terbuka.

Kalimat meluncur bagai doa.

"Aku ingin pergi dari sini!"

Dan—

Dunia Mary meledak.

Panas membasuh tubuh. Seperti lava. Seperti percobaan oleh api. Saraf-sarafnya seakan dijerang dan disulam kembali.

Sang gadis menjerit.

Teredam oleh kepak sayap dan kicauan tak kasat.

Sakit.

Sakit.

SakitsakitsakitsakitSAKITSAKIT

Lalu—

Mary kehilangan kesadaran.

***

.

.

.

.

.

.

.

A/N :
Komentar, like, dan follow membuat author semangat dan selalu diapresiasi!!

Thank u for reading! :D

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro