Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3 - Curiouser and Curiouser

Tubuh Mary terpaku, sama bisunya dengan tiga patung yang ada di hadapan.

Burung murai—magpie—tadi menatap balik. Dua mata kelerengnya polos. Hanya seperti—yah—burung. Burung biasa yang manis dan imut.

Pelan-pelan, sang gadis mengorek telinganya sendiri dengan jari telunjuk.

"Apa aku tadi salah dengar—"

<Tidak, kau tidak salah dengar.>

"HOLY FUCK!"

Tubuh Mary nyaris terjungkal saking kagetnya. Ujung telunjuk sekarang menuding magpie itu.

"Kau bisa bicara?!"

<Apa kau tuli? Kau bisa mendengarku, kan? Berarti aku bisa,> ucap si burung.

Mungkin 'ucap' bukan kata yang tepat. Bahkan paruh burung tersebut sama sekali tidak terbuka kali ini. Mary mendengar suaranya langsung dalam pikiran.

Aaah... cerita ini sungguh membuatku gila.

"Astaga...." Sang gadis menelan ludah. "Tidak pernah kulihat hewan yang bisa bicara sebelumnya."

Sang magpie mengeluarkan kicauan pendek. Dia melompat dari tangan patung. Sayap terkepak. Sebelum mendarat di depan pelayan muda itu. Refleks, Mary mengambil satu langkah mundur.

<Memang tidak semua dari kami bisa bicara. Aku kasus spesial.>

"Kasus... spesial?"

<Tepat.>

Sang burung melompat kecil. Berbalik dan menghadap ketiga patung. Paruhnya mendongak ke sosok yang bertudung.

Masih tertegun, Mary tidak dapat mengatakan apapun. Magpie tadi kembali melompat dengan kaki kurusnya. Mata hitam berkilat di bawah cahaya mentari yang mengintip dibalik pecahan atap. Mulut Mary terbuka. Hendak membalas. Tetapi si burung kecil mendahului.

<Sepertinya seseorang mencarimu, gadis kecil.>

Beriringan dengan itu, seruan terdengar di udara.

"Mary-Anne!"

Mary tersentak sadar. Sontak menoleh ke belakang. John muncul di ujung lain kuil. Membersihkan daun kering yang menyangkut di rambutnya. Mata teredar pada reruntuhan itu. Ekspresi takjub di wajahnya kurang lebih sama dengan ekspresi Mary sendiri saat datang tadi. Anak itu berdecak kagum.

"John!" panggil si gadis. Tangan melambai. "Aku di sini!"

Dia berjalan mendekat. Akan tetapi, pandangannya fokus pada figur tiga patung. Mary ikut menghadap mereka. Menyadari bahwa magpie kecil tadi sudah menghilang.

"Aku tidak tahu ada kuil di hutan ini..."

"Reruntuhan kuil," ralat Mary. "Sepertinya yang ini sudah lama ditinggalkan."

"Hehehe, kau biasa dimanja dengan kuil bagus yang ada di kota, huh?"

Gadis itu mengangkat bahu. "Entah, hanya tidak mau ada batu menghantamku di tengah doa."

Dalam hati Mary meringis. Lancar sekali lidahnya ini berbohong. Melihat kuil di kota saja belum pernah. Apalagi berdoa di dalamnya.

Namun, John tidak tahu itu. Dia hanya tertawa kecil.

"Pada akhirnya, kau berakhir mengunjungi kuil juga, Mary-Anne."

Mary diam.

Mata hijau terarah pada ketiga sosok yang ada di ujung parthenon itu. Pernyataan John mendengung di telinga.

Dia penasaran apa yang akan dikatakan Mary-Anne—Mary-Anne sesungguhnya—jika dia yang menemukan kuil ini.

Apa dia hanya sekedar terpesona? Atau langsung jatuh bersimpuh dan berdoa? Mary tidak tahu seberapa religius tokoh yang tubuhnya dia pinjam ini. Dan sepertinya John juga tidak paham benar kebiasaan Mary-Anne di kuil. Dia tidak memberi tatapan aneh atau semacam itu. Jadi, Mary hanya bisa menerka.

Lama kelamaan, diam semakin panjang. John terbatuk mengisi keheningan.

"Ah, sebaiknya kita segera kembali. Matahari sudah mulai—"

"Tunggu!" sela sang gadis. Menoleh cepat ke kawannya itu. Mata membelalak.

"Apa kau menemukan ashberries yang diminta Sullivan?"

John menepuk pelan saku jas di dada. Terlihat bagian itu sedikit menggembung. Senyum jahil terkembang di mulutnya.

"Dilihat dari pertanyaan itu, kutebak kau pasti tidak menemukan satupun, benar?"

"Diam, John. Atau kujahit mulutmu."

***

"Kerja bagus, kalian!" puji Sullivan setelah John memberikan buah beri itu ke tangannya.

"Bukan masalah, sire," jawab John. "Aku menemukannya—"

"Kami menemukannya." Mary menyela sembari menyeringai. Tangan merangkul pundak John, walaupun itu berarti dia harus berjinjit. Anak yang diganduli hanya berdecak, lalu terkekeh.

"Ya, ya. Kami menemukannya. Mary-Anne disini membantu dengan doa."

"Hei!"

Sullivan tertawa. Menggelengkan kepala melihat tingkah dua asisten kastil itu. Dia menaruh ashberries tadi ke dalam lumpang. Mengelap tangan yang terkena getah buah dengan ujung jubahnya.

"Bukankah kalian masih ada perkerjaan? Sebaiknya kalian kembali."

"Oh? Jadi setelah jadi tukang suruh, kita diusir?"

Kali ini, sang tabib tua tidak hanya terkekeh mendengar celetuk Mary. Dia tertawa tergelak. Tangan sampai memegangi perut.

"Wah, wah, aku tidak ingat sejak kapan kau pandai berkomentar begini, Mary-Anne." Pria itu menepuk kepala sang gadis. Lalu kepala John.

"Tapi serius, kalian masih punya tugas, kan? Pergilah, jangan sampai aku menahanmu. Sekali lagi, terima kasih."

Akhirnya, mereka meninggalkan pondok Sullivan sembari melambaikan tangan. Pak tua itu tersenyum selagi langkah Mary dan John bergerak menjauh. Matahari sudah mulai turun. Merah mulai mengganti warna biru yang tadinya menghiasi langit.

"Kau berani sekali, ya?"

Suara John memecah keheningan nyaman yang tadi hanya diisi suara derap kaki.

Mary menoleh pada anak laki-laki yang berjalan di sampingnya itu. "Apa maksudmu?"

"Dengan Sullivan tadi," kata John. Dia menyilangkan tangan di balik kepalanya.

"Aku tahu dia orang baik, tapi tetap saja, aku tidak akan sesantai itu bercanda padanya. Dia tabib keluarga ini. Secara teknis, statusnya lebih tinggi dari kita."

Mulut Mary meringis. Di buku, Sullivan memang sayang pada anak-anak dan remaja. Dia sendiri punya cucu. Itu sebabnya dia sangat peduli pada tokoh utama. Jadi, Mary merasa cukup aman bergurau dengan kakek itu.

"Hmm, mungkin intuisiku bagus. Kau bilang sendiri, kan? Dia orang baik."

Mata John memicing. Mary berharap ekspresi pura-pura polos yang dia pasang cukup untuk membuatnya melupakan topik itu. Sayangnya, John masih tampak tidak puas. Sebelum si pelayan membuat lebih banyak alasan untuk membela diri, suara dentang keras menyela pembicaraan itu.

Lebih tepatnya, suara pedang yang saling beradu.

Tanpa sadar, mereka sudah berjalan sampai lapangan berlatih para kesatria dan pengawal. Bahkan sudah sore begini, masih banyak yang tinggal untuk berduel dengan satu sama lain. Sigil singa berwarna merah pada armor dan perisai mereka berkilauan diterpa mentari sore. Lambang kebanggaan Keluarga Lionhart.

"Apa mereka tidak lelah?" gumam Mary. Leher menengok ke anak disampingnya. Akan tetapi, pandangan John tampak jauh. Terpaku pada para prajurit di lapangan.

"John?"

"Kau duluan saja." Lawan bicaranya itu dengan lincah melewati pagar pembatas tempat latihan. "Lagipula, sudah hampir waktunya mengambil makanan untuk Lady Allyssandra, kan?"

Mary menepuk kepala. Benar, hampir saja dia lupa!

"Kau benar. Sebaiknya aku segera pergi." Pandangan Mary terlempar pada mansion yang sudah tidak jauh, sebelum kembali ke John. "Ketemu nanti saat makan malam?"

"Tempat biasa. Dan jangan sampai tersasar lagi."

"Salahkan amnesia-ku!"

Anak laki-laki itu hanya tertawa. Dia melambaikan tangan. Dibalas oleh Mary dengan seringaian lebar sebelum sang gadis berlari ke arah mansion. Angin membelai pipi berbintik dan membuatnya bersemu.

Seminggu mungkin bukan waktu yang panjang. Namun, salah kalau dibilang Mary tidak mulai terbiasa.

***

Menu makan malam Lady Allyssandra hari ini adalah salmon kukus dengan jamur, kentang tumbuk, dan asparagus bakar. Lengkap dengan segelas teh hitam. Jelas jauh lebih baik daripada bubur lembek yang mereka hidangkan pada saat pertama kali Mary pergi ke dapur itu. Dia bahkan tidak perlu mencuri permen lagi, karena sepotong roti cokelat sudah siap sebagai hidangan penutup.

"Terlihat enak, Dan!" puji Mary pada si koki. Anak muda yang sama dengan yang dulu menyerahkan bubur. Namanya Daniel, dia juru masak dalam pelatihan dan satu-satunya orang yang mengurus makanan untuk Lady Allyssandra.

Koki itu tersenyum kecil. Jemarinya memainkan ujung celemek. "Terima kasih, Mary. Semoga Lady Allyssandra menyukainya."

Sang pelayan menjaga senyumnya tetap anggun. Walau dalam hati rasanya masih sedikit jengkel.

Itu karena sifat Daniel baru berubah akhir-akhir ini.

Sebelum Mary datang, sang koki adalah orang yang canggung, penakut, dan sama sekali tidak memperhatikan Lady Allyssandra. Dia lebih mementingkan membantu yang lain dan pada pelatihannya sendiri. Sedangkan untuk Lady Ally, Daniel hanya akan menyajikan beberapa sayuran dingin dan menyebut tugasnya beres.

Tentu Mary tidak akan membiarkan hal tersebut. Jadi si gadis menyisihkan waktu untuk mengamati dapur. Mengawasi dari jendela setiap kali dia lewat dan menahan diri untuk tidak secara terang-terangan mengancam koki itu dengan pisaunya sendiri. Sampai akhirnya, Mary menemukan sebuah fakta kecil.

Daniel suka dipuji.

Terlihat dari bagaimana senyumnya merekah ketika koki senior menganggap sausnya bagus. Atau wajah yang merona ketika seorang rekan memberikan tepukan dan kata 'kerja bagus!'. Daniel mungkin terlalu suka dipuji. Sampai-sampai hanya sedikit kalimat manis cukup membuatnya bersedia meningkatkan kualitas isi piring yang akan diantar Mary.

"Lady Allyssandra pasti menyukainya," ucap sang gadis. Nadanya mantap. "Dia tidak pernah menyisakan sedikit pun!"

Secara teknis, aku tidak bohong. Lady Ally adalah malaikat tidak pernah membuang makanan bahkan seburuk apapun rasanya.

Pipi sang koki bersemu merah. Mary tertawa dalam hati.

Ini terlalu mudah!

Dengan cekatan sang gadis mengangkat nampan dan berzigzag diantara para pelayan lain. Langkah ringan membawanya ke sayap timur mansion yang lebih sepi. Dia sudah tidak sabar untuk bertemu kembali dengan tokoh kesukaannya.

Namun, sebelum Mary sampai di kamar, sebuah suara mengagetkannya. Rendah dan dalam. Suara laki-laki.

"Apa yang kau pikirkan, hah?!"

Bentakan itu dingin dan mengancam. Cukup untuk membuat Mary membeku. Memberanikan diri, sang gadis memutuskan untuk mengintip dari balik dinding. Tampak Lady Allyssandra berdiri. Kepalanya menunduk. Sementara itu, di depannya seorang laki-laki berambut perak yang senada dengan sang lady memberinya tatapan penuh amarah.

Dia Othneil Lionhart.

Kakak tertua di keluarga tersebut. Putra pertama Duke.

Dan salah satu bucin-nya Raelynn, gerutu Mary dalam hati.

"Jika aku menemukanmu berkeliaran di sayap barat lagi, aku tidak akan segan menghabisimu!"

Ancaman tersebut mengakhiri pembicaraan sepihak mereka. Othneil langsung melengos pergi. Kini, tinggal adiknya yang mematung di lorong. Jemari lentik meremas rok gaun polos yang dia pakai. Dia mendesah. Sebelum menengok tepat ke arah Mary mengintip. Jantung sang pelayan melompat kaget.

Apa dia—?

"Kau bisa keluar sekarang, Mary-Anne."

Yep. Dia tahu aku di sini.

Cool, cool...

Mary muncul dari tempatnya bersembunyi. Pipi menghangat karena malu. Berusaha menjaga nampan yang dia bawa tidak jatuh karena tangannya gemetaran. "Maaf, milady. Bukan maksud saya menguping. Saya kebetulan sampai."

"Tidak apa-apa." Senyum yang diberikan Lady Allyssandra sungguh menyejukkan hati Mary. "Itu makan malamku? Terima kasih Mary. Kau tidak keberatan membawakannya ke kamarku?"

"Tentu tidak, milady."

Mereka berjalan bersama menuju ruangan tersebut. Mary agak sedikit di belakang. Mengikuti sang lady yang berjalan anggun. Tidak ada sepatah kata pun terucap diantara mereka berdua. Bahkan ketika sudah sampai kamar. Allyssandra duduk di kasur dan Mary-Anne menaruh nampan di atas nakas. Membuka tudung saji yang menutupi.

"Menu hari ini salmon, jamur—"

"Mary-Anne?"

Sang gadis terkesiap. Menoleh pada Nona yang dia layani. Senyum kecil terpatri pada wajah pucat. Tidak seperti tadi, yang satu ini agak dipaksakan.

"Yang dengan Lord Othniel tadi, jangan bicarakan pada siapapun, ya?"

Sekali lagi, hati Mary-Anne remuk mendengar permintaan itu.

Dia kakakmu. Seharusnya kau tidak perlu seformal itu.

Dan walaupun dia baru saja membentakmu, kau masih peduli pada reputasinya.

Mary tidak menjawab. Tentu dia terlihat seperti pelayan yang tidak tahu diri. Namun, memberi jawaban hanya akan membuatnya membantah. Gadis itu tidak ingin memperburuk suasana. Jadi, dia menyibukkan diri dengan mengelap garpu. Menatanya dengan rapi di samping piring.

"Selamat menikmati makan malam anda."

Lady Allyssandra menggumamkan terima kasih. Biasanya, pada saat ini sang lady akan makan dengan tenang, sementara pelayannya menunggu dalam diam. Hari ini, sepertinya lain dari yang kemarin. Karena sang putri angkat bicara. Pertanyaan lembut dilontarkan mengisi keheningan.

"Apa kau pergi ke kuil hari ini, Mary-Anne?" tanyanya selagi memotong salmon. Mary mengerjapkan mata. Tidak menyangka obrolan mereka berlanjut.

"Uh—tidak. Tidak hari ini."

Garpu dengan daging ikan berhenti separuh jalan menuju mulut Allyssandra. Putri Duke itu melempar tatapan heran ke sang pelayang. "Sungguh?"

"Ya." Mary menelan ludah. "Apa ada yang salah, milady?"

"Tidak ada."

Dia kembali tersenyum. Mata biru hangat memandang satu-satunya pelayan yang mau menemaninya itu. "Seminggu ini, makanan yang kudapat rasanya sangat enak. Terima kasih, ya."

Aneh. Ini sangat aneh.

Namun, Mary hanya mengangguk. Membiarkan diri mengikuti arus pembicaraan.

"Sama-sama, milady. Ini semua usaha dari koki," jawabnya.

"Jangan merendah." Lady Allyssandra terkekeh. "Jika soal koki—ini koki yang sama dengan yang membuatkanku bubur hambar selama bertahun-tahun. Aku tahu kau ada andil."

Mary diam. Kemudian meringis. "Mungkin aku campur tangan sedikit..."

Lady Allyssandra tertawa lagi. Sedikit lebih keras kali ini. Mary menjadi agak lega. Memang, tingkah sang Nona tidak seperti biasa. Namun, rasanya senang melihat sisi ceria lady di depannya itu muncul. Sisi yang jarang sekali terlihat.

Yang terdengar selanjutnya hanya sesekali dentang garpu dan pisau beradu dengan piring. Sampai Lady Allyssandra selesai dan Mary bergegas merapikan alat makannya. Mata mencuri pandang. Tidak sengaja melihat sang lady menyeka keringat dengan lengan baju. Malam itu memang agak panas.

"Maaf, milady," ucap Mary sopan. "Anda terlihat gerah. Saya bisa carikan baju ganti yang—"

"Tidak perlu!"

Jawaban itu datang dengan cepat. Terlalu cepat. Itu pertama kalinya Mary mendengar Lady Allyssandra memekik. Berbeda sekali dengan tutur lembut bibir tipisnya. Sadar dia meninggikan suara, wajah gadis itu melembut. Walau tangan masih menggenggam protektif lengan bajunya.

"M-maaf, aku tidak bermaksud—" Lady berambut perak itu tergagap. Lalu menarik napas. Menenangkan diri. "Aku baik-baik saja, Mary-Anne. Kau boleh pergi."

"Uhm, baik. Selamat beristirahat, milady."

"Kau juga, Mary-Anne. Terima kasih sudah mau menemaniku."

Beribu tanda tanya muncul di benak sang pelayan. Namun, seperti yang dibilang tadi, Mary tidak ingin membuat suasana buruk. Jadi, dia cepat berkemas dan pamit.

Walau begitu, pernyataan terakhir sang lady masih menggerogoti pikirannya.

Kenapa itu terdengar seperti... kata perpisahan?

***

Di salah satu pintu belakang Mansion Lionhart, ada anak tangga tempat John dan Mary-Anne biasa menikmati jatah makan malam masing-masing. Sekarang Mary duduk di sana, tepat di ambang pintu, satu anak tangga di atas John. Di dunia yang lama, Ibu Panti pasti sudah menceramahinya tentang pamali. Tapi, Mary tidak tahu apa konsep pamali ada atau tidak di Aeterran. Jadi dia memutuskan untuk tidak ambil pusing.

Dua anak itu mengobrol santai di sela melahap semangkuk semur dan potongan kentang rebus. Berbicara tentang tugas sampai kuil pada siang tadi. Lama kelamaan, topik berpindah pada Keluarga Lionhart. Dan tanpa sadar, Mary sudah mengoceh tentang peristiwa yang dia lihat. Tentang Othniel dan Allyssandra.

Maaf, Lady Allyssandra. Tapi aku tidak pernah berjanji bahwa aku tidak akan mengatakan ini pada siapapun.

Lagipula, John anak baik. Dia bisa dipercaya.

"Lord Othniel berkata seperti itu?"

Kalimat yang keluar dari mulut John tak lebih dari bisikan. Namun, di tengah keheningan malam, itu masih keras. Sehingga Mary harus menempelkan telunjuk di mulut sebagai peringatan. Bisa bahaya kalau yang lain mendengar gosip mereka.

"Aku tahu, padahal Lady Ally hanya pergi ke sayap barat. Ini rumahnya juga, 'kan?" gerutu gadis itu. "Apa yang salah dengan mereka? Milady tidak melakukan apapun!"

"Bangsawan memang kadang menyebalkan." John mengangguk. "Namun, mereka bisa menghukum kita dengan mudah. Itu sebabnya banyak yang menghindari Lady Allyssandra. Mereka tidak mau mendapat masalah."

Ya, Mary paham itu. Lengket dengan orang yang dibenci bangsawan memang bisa mendatangkan hal buruk. Sayangnya, dalam kasus ini, orang itu adalah Lady Allyssandra. Dan Mary sudah berjanji untuk berusaha membantunya.

Sang gadis mendesah. Ujung garpunya memainkan sepotong kentang. Mata hijau melirik John yang sibuk menggigit wortel.

"John, kalau kau menjadi pelayan, apa kau akan menjauhi Lady Ally juga?"

Anak laki-laki itu menoleh. Dia menelan makanan di mulut sebelum berdehem.

"Sepertinya tidak," ucap John. Memandang Mary. Mata hitam dan hijau bersirobok. "Aku tidak kenal baik Lady Allyssandra. Tapi, jika kau membelanya, aku yakin alasanmu benar."

"Aaaaw, John!" Mary memekik. "Terima kasih! Kau manis sekali!"

Anak laki-laki itu mengangguk santai. "Lagipula, kau bilang sendiri, Lady Allyssandra tidak pernah melakukan apapun yang membuatnya pantas dijauhi."

"Yeah, memang tidak adil," timpal Mary setuju.

Pembicaraan kembali mengalir. Pergi ke topik demi topik lain hingga salah satu dari mereka mulai menguap. Mangkuk-mangkuk kosong dibawa kembali ke dapur. Setelah mengharapkan mimpi indah untuk satu sama lain, Mary dan John berpisah pergi ke kamar masing-masing.

***

Sayang sekali, malam itu, otak Mary kelewat aktif. Dia hanya berhasil memejamkan mata selama beberapa menit, sebelum membukanya lagi. Sudah berkali-kali dia merubah posisi tidur. Tetap nihil. Kantuk tetap tidak datang.

"Sepertinya aku butuh udara segar," gumam sang gadis pada ruangan kosong.

Dia bangkit. Membuka jendela kamarnya lebar-lebar. Angin malam mengibarkan rambut cokelat pendek sang gadis. Mary menarik napas. Menumpukan tangan pada ambang jendela. Dingin menyeruak. Seperti perkiraan, hawa itu perlahan membuat mata menjadi berat.

Namun sebelum kepala Mary jatuh, gemerisik daun kembali membuatnya terjaga.

Tubuh Mary sontak menegak. Mata awas menerawang keluar. Tampak sosok berjubah bergerak dalam kegelapan. Jantung sang gadis terpacu.

"Pencuri?" bisiknya panik. Hampir berlari untuk memperingatkan penjaga.

Sampai dia melihat kilat rambut perak panjang.

Mata hijau Mary membelalak.

Bukan. Orang itu bukan pencuri. Itu-

"Lady Allyssandra?"

Benar saja, di balik tudung itu, wajah putih pucat mengintip. Dua netra biru tampak awas memperhatikan sekitar. Dia menurunkan tudung hingga menutup setengah wajah. Lalu mengeratkan jubah di bahu. Sebelum berlari menembus malam.

"Sial!"

Kepal tangan Mary memukul bingkai jendela. Dia menyambar sepatu. Langsung berderap keluar. Masih dengan baju tidur dan rambut acak-acakan.

Perasaannya tidak enak. Kata-kata Lady Allyssandra sore tadi kembali terngiang di kepala. Meninggalkan rasa pahit pada memori sang gadis. Ditambah lagi, kisah Sylvia yang dia baca tidak pernah menceritakan apapun tentang Lady Allyssandra yang keluar diam-diam.

Apa yang terjadi? Apa aku melewatkan sesuatu?

Ini jelas tidak ada dalam 'Jewels of the Court'!

Tak lama, dia berhasil mengejar sang lady. Namun, Mary memutuskan menjaga jarak. Dia bersembunyi di salah satu pilar mansion. Mengamati dari jauh. Dengan awas memperhatikan gadis berambut perak berjalan ke belakang mansion. Menuju gerbang di dekat pondok Sullivan.

Gerbang menuju hutan.

"Tolong..." Mary berbisik di balik napasnya. "Tolong jangan masuk ke hutan sendirian pada malam hari"

Dan ketakutan sang gadis terlaksana.

Lady Allyssandra menggeser pintu tanpa suara. Melempar tatapan terakhir ke sekitar, dia melangkah memasuki hutan. Meninggalkan gerbang tanpa dikunci. Entah dengan cara apa lady itu bisa membukanya. Penjaga pasti memasang gembok tiap malam.

Mary menarik napas sambil berjalan mendekat. Di balik dinding dan gerbang pembatas, pohon-pohon tinggi tampak tajam bagai tangan kegelapan. Suara-suara hewan asing sudah bisa terdengar dari tempatnya berdiri. Malah menekan keheningan suram yang menguar dari tempat itu.

Hutan jelas jauh lebih menyeramkan tanpa cahaya matahari. Ditambah kejadian burung-bicara siang tadi, Mary masih agak khawatir. Tetapi—

"Demi Lady Allyssandra."

Sang gadis mengelus dada. Menenangkan jantung yang berdentum keras.

Lalu melangkah menuju bayangan.

***

.

.

.

.

.

.

.

.

A.N.:

And thus, the plot kick in.

We are getting into the good bit y'all.

Thank u for reading! :D

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro