The Solver Princess
Semuanya terjadi begitu tiba-tiba. Sebulan lalu, Ayah dengan bersemangat memberitahuku bahwa sebuah senjata api akan dikirimkan menuju negeri kami. Aku yakin senjata itu akan membantu para pengawal. Mereka tidak perlu lagi menggunakan tombak dan alat sederhana lainnya.
Seminggu setelah senjata itu tiba, Ayah ditemukan tak bernyawa karena tertembak peluru dari salah satu senjata bernama pistol. Tak ada yang tahu siapa pelakunya. Ayah pun dikuburkan, meninggalkan putri semata wayangnya sendirian.
Dua hari yang lalu, penasihat kerajaanku mengatakan bahwa banyak yang setuju agar tahta kerajaan dipegang olehku. Dan dalam beberapa minggu lagi, aku akan dinobatkan sebagai ratu.
Semua orang nampak sibuk mempersiapkan hari penobatan. Berbeda denganku yang masih tak bisa memejamkan mata tiap malam, memikirkan siapa yang dengan tega membunuh Ayah tercintaku. Beliau adalah seorang raja yang bijak dan baik hati.
Tak mau tinggal diam, aku selalu bertanya mengenai hasil penyelidikan yang dilakukan oleh beberapa prajurit kerajaan. Namun, hasilnya tetap nihil.
“Ah, mereka tidak terlihat memiliki niat untuk menyelidiki kasus kematian Ayah, Caroline. Tidak mungkin aku hanya berdiam diri menunggu hasilnya!” Aku berteriak frustrasi kepada seekor rusa.
“Apa itu? William? Tidak mungkin William membunuh Ayah! Will adalah penasihat kerajaan yang setia. Kau tahu itu, Anne,” cetusku pada seekor burung biru yang bertengger di atas bahuku.
Aku hendak lanjut berbicara. Sampai tiba-tiba, seseorang mendekatiku. “Tuan Putri? Anda sedang berbicara dengan siapa? Dan omong-omong, air panas sudah siap.” Heleen, salah satu dayang, datang dan membantuku berdiri.
Aku tersenyum dan mengangguk. “Terima kasih. Aku sedang berbicara kepada mereka. Bisa tolong beri Caroline dan Anne makanan? Mereka belum menyantap makan siang,” ucapku lembut kepada Heleen. Ia menatapku, Anne, dan Caroline bergantian. Alis terangkat sebelah. “Uhm, baik, Putri Astrid.”
Aku tersenyum dan berjalan memasuki istana. Samar-samar, aku dapat mendengar Anne dan Caroline bersorak senang.
Iya, aku bisa berbicara dengan para binatang. Namun, zaman semakin modern. Banyak orang yang tidak mempercayainya. Hanya dayang-dayang lama, penyihir kerajaan, dan Ayah yang tahu.
“Uh, aku tidak bisa terus berdiam diri,” bisikku begitu kulitku bersentuhan dengan air hangat. Mataku terpejam. Hingga tiba-tiba, sebuah ide muncul dalam kepalaku.
Aku akan menyelidiki kasus ini sendiri.
***
“Entahlah, Astrid, apa kau yakin kita bisa? Maksudku...,” Salvadore, anak dari penyihir kerajaanku, memandang satu per satu orang yang ada di dalam ruangannya. Ia sudah menjadi sahabatku dari kecil. Begitu pun dengan Caroline dan Anne.
“Kau ingin kita memecahkan kasus kematian sang Raja dengan bantuan seekor burung dan rusa?” tanya Salvadore untuk ke sekian kalinya. Aku mengangguk mantap, terheran mengapa ia nampak ragu.
Salvadore mengangkat kedua alisnya dan meraba leher belakangnya. “Baiklah kalau kau begitu yakin. Pertama, siapa yang bertanggung jawab atas penyelidikan ini?” tanya Salvadore memulai penyelidikan. Aku tersenyum, “William. Tidak ada orang lain yang bisa dipercaya melebihi dia!”
“Baiklah kalau begitu. Lebih baik, kita tanyakan kepada William dahulu. Ayo kita cari dia!” Salvadore bangkit dari duduknya dan membantuku untuk berdiri. Kami pun pergi ke luar dan mencari penasihat kerjaan kami.
Untunglah, William tidak susah untuk ditemui. Dalam kurang dari sepuluh menit, aku dan Vad berhasil menangkap sosoknya yang sedang memeriksa beberapa surat di ruangan Ayah.
“Hai, William! Apa kau sedang sibuk?” Aku membuka pintu dan memasuki ruangan. William langsung menoleh. Ia tersenyum dan menggeleng, “tidak, Tuan Putri. Ada yang bisa saya bantu?”
Aku berjalan mendekati William ditemani Vad di belakangku. “Aku hanya ingin tahu, apa penyelidikan kalian mengalami kemajuan?”
“Oh, itu,” William menjeda, “untuk saat ini, kami berhasil mendapatkan beberapa rekaman yang menujukkan keberadaan Raja terakhir kali. Namun, kami perlu semacam sandi untuk melihatnya.” William menjelaskan.
“Apa kami boleh melihat semua berkas hasil kerja kalian?” tanyaku lagi kepada William. Ia berdeham pelan dan membisikkanku sesuatu.
“Tentu, Tuan Putri. Hanya saja, berkas-berkas ini bersifat rahasia. Tuan Salvadore sayangnya tidak boleh tahu.”
Aku mengangkat salah satu alisku. “Aku yakin itu tak akan menjadi masalah jika Vad ikut melihat. Toh, ia tak akan melakukan apa pun dengan itu. Benar ‘kan, Vad?” Aku menoleh ke belakang dan menatap Salvadore yang melihat William dengan sinis. Ia mengangguk, “ya, jadi lebih baik kautunjukkan berkas ini kepada Astrid segera karena kami tak punya banyak waktu.”
Helaan napas berat keluar dari mulut William. Ia mulai berjalan dan memberi kami isyarat untuk mengikutinya.
Kami memasuki sebuah ruangan di mana para dewan biasa mengadakan rapat bersama Ayah. Di atas sebuah meja besar, William menunjukkan kami beberapa berkas yang berisi catatan-catatan terakhir Ayah, barang bukti, dan masih banyak lagi. Aku membaca beberapa catatan milik Ayah. Tidak ada hal yang janggal, ia hanya menuliskan kesehariannya.
Aku terus membaca lembar demi lembar hingga mendapatkan sesuatu. “William, apa boleh aku memutar kaset rekaman yang kalian temukan? Kurasa aku tahu sandinya!”
William melebarkan matanya dan memasukkan kaset ke dalam alat pemutarnya. Dengan menggunakan semacam alat ketik, aku berhasil memasukkan sandi yang Ayah tuliskan secara sembunyi-sembunyi di dalam catatan. Aku tersenyum lebar dan mulai memerhatikan apa yang terjadi pada Ayah melalui layar.
Ini adalah sebuah rekaman yang menunjukkan suasana kamar Ayah. Ia nampak bersiap-siap untuk tidur. Tiba-tiba, pintu kamar Ayah terbuka. Itu aneh, karena seharusnya Ayah mengunci pintunya. Hanya orang-orang tertentu yang memiliki kunci untuk mengakses kamarnya.
Seseorang memasuki kamar. Dan tepat saat itu, mataku membesar terkejut.
Sosok itu menggenggam sebuah pistol dan menodongnya ke arah Ayah yang sudah terlelap. Hal yang lebih mengejutkanku lagi adalah, sosok itu menggunakan sebuah gaun piyama bercorak rusa. Persis seperti ... piyama favoritku!
Aku menundukkan kepala begitu pelatuk ditarik. Begitu pula dengan yang lainnya. Begitu rekaman dihentikan, aku menoleh.
“William, dengarkan aku, itu bukanlah diriku!” Aku membela diri. William dan Salvadore menatapku. Dua tatapan yang berbeda, namun sama-sama tak bisa dijelaskan. Baru saja aku hendak melakukan pembelaan lagi, namun sebuah suara sudah terlebih dahulu terdengar.
“Pengawal, tahan Putri Astrid!” Beberapa orang dewan nampak menunjukku dari arah pintu. Aku benar-benar tak menyangka bahwa mereka turut melihat rekaman yang dipampangkan dalam sebuah layar besar. Cukup untuk para dewan melihat dari jarak jauh.
“Tidak! Tunggu! Aku bisa menjelaskan! Itu bukan aku!” Aku terus memberontak dari cengkraman para pengawal. Salvadore nampak ingin menolongku. Namun, ia ditahan oleh William. Mataku terasa panas dan air mata akan terjatuh dalam satu kedipan.
Aku tidak membunuh Ayah!
***
“Astrid? Astrid!”
Sebuah suara terdengar, membuat tangisku tercekat. Aku mengangkat kepala dan melihat sosok Anne terbang menyelip di antara sel dan mendekatiku. Sudah seharian aku mendekam di dalam sel, dan Anne-lah yang pertama kali mengajakku berbicara.
“Aku mendengar rapat para dewan. Mereka akan menjatuhkan hukuman mati padamu! Tapi dengar, aku-“
“Hukuman mati?! Apa yang harus kulakukan?! Aku tidak membunuh Ayah, aku bersumpah! Itu bukan diriku, Anne! Aku- aw! Apa-apaan?!” Anne mengibaskan sayapnya dan mengenai wajahku cukup keras. Apa aku baru saja ditampar oleh seekor burung?
“Astrid, dengarkan aku! Salvadore mengamuk karena yakin bahwa kau tak membunuh Raja. Namun, itu malah membuatnya dikurung dalam menara penyihir kerajaan. Sebelum ia dikunci di sana, Vad sempat memberitahuku dan Caroline untuk mengawasi William. Dan kau tak akan percaya dengan apa yang kami dengar!” jelas Anne berapi-api.
Anne kemudian menceritakan apa yang ia dengar dari mulut William. Aku langsung merasa tertampar keras. Tak lama setelah itu, Caroline datang membawa kunci dan membantuku keluar dari sel. Ia juga membawa beberapa bukti atas siapa pembunuh Ayah yang sebenarnya. Sebelum meninggalkan ruang bawah tanah, aku mengambil pistol berpeluru yang kutemukan secara sembarang. Dengan cepat, aku berlari mencari sosok tersebut.
***
“Berhenti, William!” Aku memasuki ruangan para dewan sembari menodongkan pistol. William yang kala itu sedang berapi-api menyalahkanku langsung mengangkat kedua tangannya.
“Putri Astrid, turunkan senjatamu sekarang juga!” perintah salah seorang dewan. Aku menggeleng dan langsung menunjuk William.
“William-lah yang merencanakan semua ini,” ucapku dengan tenang. Tentu saja, mereka semua tidak percaya. Namun dengan cepat, aku mengangkat sebuah surat yang menunjukkan bahwa William membayar seseorang untuk membunuh Ayah sembari menyamar. Semua terdiam dan terkejut. Terlebih lagi William.
“William sudah berencana untuk menghabiskan kami berdua. Ia menyuruh seseorang untuk menyamar menjadi diriku selagi membunuh Ayah. Dengan begitu, aku akan dijatuhkan hukuman yang setimpal. Kedua, William merupakan seseorang yang dipercaya untuk memimpin penyelidikan ini. Tentu saja semua penyelidikannya tak membuahkan hasil, karena ialah pembunuhnya!” jelasku panjang lebar dan tetap mengangkat pistolku tinggi.
Salah seorang dewan berjalan mendekatiku dan membaca surat tersebut. Ia kemudian menatap William. “Bukti ini sudah cukup. Pengawal, tangkap dia!”
Para pengawal menahan William yang tak memiliki perlawanan. Di saat itu juga, dewan-dewan melepaskan hukuman dariku dan memberikan William sebuah hukuman setimpal. William dibawa menuju sel dan hukumannya akan dilaksanakan keesokan harinya. Di ambang pintu, matanya bertemu denganku.
“Putri sialan! Dari mana kau dapat semua itu?!”
Aku menatap William dalam dan tersenyum simpul.
“Seekor burung dan rusa memberitahuku.”
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro