Red Lotus
Awal perjumpaanku dengannya dimulai saat umurku menginjak sembilan tahun. Kala itu, aku berdiri di antara keluarga kerajaan dan para ksatria yang menyaksikan pion-pion ksatria lain beradu pedang di padang rumput luas membentang. Mataku menangkap seorang penduduk yang pisangnya dicuri oleh seorang anak dengan ekor berbulu di pantatnya, tepat di seberang sana. Sontak, aku berlari melewati dua ksatria yang sedang berlatih perang, menuju ke arah larinya si anak berekor.
“Putri Jiya! Anda mau lari kemana?” Aku merasakan derap langkah para ksatria yang berlari mengejarku. Dalam batin aku tak peduli, aku hanya penasaran pada anak itu. Si pencuri pisang kecil yang merenggut atensiku dari pertunjukan latihan perang.
Hutan, pasar, semuanya kulewati tanpa merasa lelah sedikitpun. Tatkala langkah anak itu terhenti di sebuah gang, aku menarik bahunya sampai tubuhnya terpelanting ke atas tanah. Posisiku sekarang tengah berada di atasnya, dengan kedua napas kami yang saling beradu. Begitu kedua mata kami saling berpandangan, mata besar anak itu langsung membulat.
“Ah, Kakak, aku menyerah!” katanya, takut. “Ini pisangnya,” Dia menyerahkan pisang yang dicurinya dengan sebelah tangannya yang tak terkungkung olehku. “Aku janji tidak akan mencuri lagi setelah ini.”
Aku pun melepaskannya, lalu membantunya untuk duduk. Masing-masing dari kami sama-sama duduk. “Namamu siapa?” tanyaku padanya.
“Lucas,” jawabnya dengan binar mata yang lucu.
Saat itu, Lucas kelihatan sangat lapar. Akhirnya, aku mengeluarkan sebungkus kecil roti yang kubawa di dalam saku besar jubahku, lalu memberikannya pada Lucas. Matanya berbinar-binar begitu dia membanting pisangnya di atas lantai dan menyambar bungkusan rotiku. Senyumku mengembang begitu melihatnya makan dengan lahap, sampai tak kuduga bahwa Lucas akan memberikan sisa gigitannya padaku.
“Buatku?” tanyaku saat Lucas menyodorkan roti bekas gigitannya itu. Lucas mengangguk semangat. “Oke, kita makan bersama,” kataku.
Namun, baru saja menyentuh roti bekas gigitannya, para ksatria sudah tiba untuk memisahkanku dengan Lucas. Aku terus merengek pada mereka, sungguh aku tidak rela untuk berpisah cepat dengan teman pertamaku. Para ksatria pun mulai memberitahuku bahwa sesungguhnya Lucas adalah siluman kera pencuri pisang yang selalu berkeliaran di wilayah Kerajaan Luscia, dan seorang putri sepertiku akan dihukum mati apabila berteman dengan siluman. Lucas yang mendengarnya mulai terlihat sedih.
Akhirnya, selama tiga hari tiga malam, aku terus merengek minta dipertemukan lagi dengan Lucas. Aku tidak peduli akan mati, yang penting bisa bertemu dengan Lucas lagi. Hingga Ayah turun tangan dan berkata,
“Sekali lagi kau mencoba untuk berteman dengan siluman kera itu, dialah yang akan mati. Bukan kau.”
Saat itulah aku berhenti merengek. Agar Lucas tidak mati, aku mencoba untuk melupakannya. Selama sepuluh tahun, aku dikurung di dalam lingkungan istana untuk mempersiapkan diri dalam adu pedang dengan Putri Sierra, sepupuku yang juga menjadi kandidat pewaris takhta Kerajaan Luscia. Sampai akhirnya, saat umurku menginjak sembilan belas tahun, aku dibawa ke luar lingkungan istana menuju tempatku menyaksikan latihan pertarungan para ksatria dahulu. Dengan dibawa oleh kereta kuda dan kawalan para ksatria, aku pergi ke padang rumput untuk melakukan latihan khusus dengan panglima wanita.
“Astaga, sudah lama tidak melihat Putri Jiya! Itukah sosoknya?”
Para penduduk berdesak-desakan hanya untuk melihatku yang duduk di dalam kereta kuda. Yang paling terdengar di telingaku adalah puji-pujian mengenai parasku. Berkali-kali aku mendengar mereka berkata, “titisan Dewi Aphrodite dari mitologi Kerajaan Yunani”, atau “ratu masa depan yang cantik”. Para lelaki yang akhirnya berjejer di barisan terdepan pun membungkuk hormat.
Namun, di antara kerumunan penduduk, ada sosok yang menatapku dengan mulut yang sedikit terbuka. Tidak makan waktu lama untuk mengingat wajahnya, karena saat itulah detak jantungku bernada aneh.
“KAKAK!” teriaknya saat kereta kudaku melaju meninggalkan sosoknya. Mataku memandang lurus ke depan, sampai akhirnya teriakan orang lain menghantam gendang telingaku dan membuatku menoleh ke belakang.
“Siluman sial! Jangan ambil pisangku!”
Sosok itu—Lucas—memacu larinya hingga menyamai langkah kudaku. Dia terus menatapku dengan sebuah pisang di tangannya, lalu meminta kereta kudaku untuk berhenti. Tak disangka, kereta yang kutumpangi itu benar-benar mematuhi kehendak Lucas. Namun, tentu Lucas tak diperlakukan dengan baik. Salah seorang ksatria pengawalku merebut pisangnya, lalu memberikannya kembali pada orang yang tadi dicuri pisangnya. “Pisang itu milik Kakak itu! Aku ingin memberikannya padanya!” seru Lucas yang akhirnya membuat lehernya nyaris terhunus pedang ksatria.
“Lancang sekali kau pada Putri Jiya!”
“Aku tidak lancang!” balas Lucas. “Kak Jiya temanku!”
Sudah sepuluh tahun berlalu, tetapi Lucas masih saja menganggap aku temannya walau tak pernah bertemu sekalipun bahkan dalam mimpi. Ada rasa hangat di kedua pelupuk mataku, seperti ada yang ingin turun dari sana. Rasanya sehangat dadaku, dan aku ingin turun dari kereta ini lalu memeluk Lucas. Namun, aku tidak mau dia mati karena berteman denganku. Jadi, maaf Lucas—
“Aku bukan temanmu,” kataku, sedingin es. “Ksatria pengawal, lepaskan saja dia. Nanti aku terlambat untuk latihan dengan Panglima.”
Selama kereta kuda kembali melaju, aku menangis tanpa suara. Selama sepuluh tahun lamanya terkurung dalam lingkungan istana, aku merindukan Lucas. Teriakan Lucas yang memanggil namaku terus terdengar dan semakin mengecil seiring semakin dekatnya derap langkah kuda dengan padang rumput, membuat ruang di dadaku semakin sempit. Namun, rupanya Lucas tak menyerah. Acapkali aku latihan dengan para ksatria di padang rumput setiap harinya, Lucas selalu mendekatiku dan membawakanku pisang buruannya. Dia benar-benar nakal. Dulu, dia pernah berjanji untuk tidak mencuri lagi, tetapi mengapa sekarang dia masih suka mencuri?
“Aku tidak punya uang, jadi aku tidak bisa membelikan Kakak makanan,” Lucas menyodorkan pisang padaku. “Kata orang lewat, Kakak bisa buang air besar dengan baik kalau makan pisang…”
Saat itulah aku memerintahkan para ksatria untuk segera membawa Lucas pergi. Aku juga mengancam Lucas bahwa dia bisa saja dibunuh jika terus mendekatiku. Namun, Lucas benar-benar tebal telinga. Terakhir kali dia mendatangiku yang tengah berjongkok dan menatap pantulan bayanganku di kolam air istana. Entah dari semak-semak mana dia datang, dan darimana dia tahu jalan ke istana. Kala itu dia tidak membawa pisang sama sekali dan hanya berkata,
“Kakak, aku tahu semuanya sekarang tentangmu…”
Para dayang dan ksatria pengawal yang berdiri di belakangku langsung siaga sebelum aku mengangkat tanganku ke atas, sebuah isyarat yang meminta mereka untuk membiarkan Lucas. Lucas tetap berdiri di sana, beberapa meter jaraknya dariku. “Kakak, aku berharap Kakak menang pertarungan besok dan jadi ratu. Aku hanya mau memberikan semangat karena aku tahu Kakak mudah gugup….”
Aku bergeming. Darimana Lucas tahu kelemahanku yang mudah gugup ini?
Bayanganku di air menatapku dengan raut wajah hampa tatkala Lucas pergi. Aku merindukan Lucas, benar-benar merindukannya. Siapa peduli dia siluman kera, yang kutahu dia adalah teman yang pertama kali berkenalan denganku. Bahkan, bunga lotus merah yang mengapung di atas air ikut menatapku dengan tatapan hampa.
Ini adalah tangisanku yang keduapuluhlima kalinya. Semuanya karena Lucas.
--**--**--
Terik matahari membakar padang rumput. Aku berhadapan dengan Putri Sierra, senyum bengisnya membuat tanganku yang tengah menarik pedang dari sarungnya gemataran. Aku mengatur napas perlahan, berusaha melawan rasa gugupku. Kugenggam gagang pedang sembari mengarahkan bilah pedang itu pada Sierra. Begitu orang yang ada di antara kami berteriak “mulai!”, suara dentingan kedua pedang yang saling beradu langsung mengisi keheningan suasana padang rumput.
“Kau biasa latihan di sini, kan? Jangan jago kandang!” seru Putri Sierra di tengah-tengah pertarungan kami. “Kau kenapa diam saja?” lanjutnya sembari menangkis berbagai sabetan pedangku. “Bicara sesuatu, dong! Kenapa tidak mau bicara juga, hm?”
“Berisik!” Aku menangkis pedangnya dengan pedangku begitu Putri Sierra mulai berbalik menyerang.
Senyuman bengis Putri Sierra semakin mengembang begitu pedang di tanganku menghilang tiba-tiba. Aku menatapnya syok. “Kau cu—”
“KAU CURANG! KENAPA PAKAI SIHIR?”
Lucas berjalan ke arah Putri Sierra. Ekornya mencuat, siap untuk menyerang Putri Sierra. Namun, Putri Sierra membuatnya terjatuh dengan sihir dan membuat kakinya terkilir. Lucas berteriak kesakitan, terdengar memilukan di telingaku. Akan tetapi, aku harus melanjutkan pertarunganku.
Tak kusangka, Putri Sierra sudah bergerak cepat dengan pedangnya. Dia mengarahkan ujung pedang yang runcing ke arah jantungku berada. Refleks, aku malah memejamkan mata.
“Lu—Lucas?”
Yang kulihat hanyalah punggung Lucas tatkala kubuka kedua mataku. Dengan raut wajah syok, Putri Sierra mencabut pedangnya dari Lucas hingga Lucas terjatuh di atas tanah. Aku menangkap kedua lengan Lucas, lalu memutar tubuhnya agar dia menghadap ke arahku. Kutatap kedua matanya yang seakan ikut merintih sakit. “Lucas, kenapa kau melindungiku?” Suaraku terdengar bergetar hebat. “Ke—kenapa… kenapa, Lucas?”
Di tengah-tengah rasa sakitnya, Lucas malah tertawa kecil. “Akhirnya Kakak mengkhawatirkanku,” katanya senang. “Aku hanya ingin Kakak terus hidup lalu jadi ratu, walaupun aku yang akan mati. Kebahagiaan Kakak, kebahagiaanku juga.”
Kedua bibirku bergetar hebat karena emosi yang tak terbendung. Aku benci, aku benci pada diriku sendiri. Aku lantas menumpahkan segala penyesalan atas perbuatan jahatku padanya, mengatakan bahwa sebenarnya aku rindu padanya. Namun, Lucas tahu segalanya. Lucas tahu apa yang kurasakan, intuisinya kuat. “Kakak, jangan khawatir. Kita akan bertemu lagi di kehidupan selanjutnya dengan takdir yang lebih baik…”
Setelah mengatakan hal itu, dahinya terantuk di atas pundakku. Aku menangis di tengah-tengah pertarungan, sampai akhirnya aku gelap mata. Tanpa sadar kubanting Lucas yang sudah tak bernyawa, lalu kurebut pedang Putri Sierra dengan kekuatan yang gila sampai Putri Sierra kubunuh dengan pedangnya sendiri.
Akhirnya, aku menjadi ratu. Namun, suatu hari, di depan kolam air istana, aku mengarahkan pedang pada diriku sendiri dengan bunga lotus merah sebagai saksi. Bunga yang melambangkan kasih tanpa pamrih, gairah, kasih sayang, dan kebaikan. Mengingatkanku pada Lucas.
Lucas, tunggu aku. Aku akan segera menemuimu di kehidupan selanjutnya.
--**--**--
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro