Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Putri Malu dan Tupai Yang Cerdik

Dahulu kala, hiduplah seorang putri di kerajaan paling Selatan di bumi. Nama putri itu Nerissa, namun orang-orang mengenalnya sebagai Putri Malu.

Mereka tidak menyamakan anak bungsu raja serendah jenis rumput yang menguncup apabila disentuh. Mereka hanya menyimpulkan watak si putri berdasarkan apa yang mereka lihat dan pahami.

Tidak seperti kedua kakaknya yang cantik dan ceria, Putri Malu lebih tertutup. Ia selalu mengenakan jubah bertudung dan berjalan dengan kepala tertunduk, seakan-akan petak-petak jalanan jauh lebih menarik ketimbang membagi senyum pada rakyatnya tiap muncul di muka publik. Jika kakak-kakaknya senang bercakap-cakap dengan rakyat di pasar, Putri Malu lebih senang menunggu kunjungan keluarga kerajaan berakhir di kereta kuda.

Tertutup dan pemalu adalah nama tengahnya. Namun, jauh di lubuk hati, ia selalu berharap agar dirinya tidak berbeda. Ia tidak ingin berdiri di beranda kamar memandang kakak-kakaknya dan anak-anak dayang bermain engklek di pelataran istana. Ia juga ingin menjadi mereka yang tertawa saat salah satu pemain menginjak garis batas kotak yang dibuat dari pasir. Ia tidak ingin sendirian, tertutup, dan selalu kesepian.

Ia mengatakan keinginannya pada Gus, tupai cerdik yang tinggal di perkebunan kenari istana, juga satu-satunya temannya.

“Gus, kapan ya, saya bisa main seperti anak-anak lain?”

Gus ke luar dari lubangnya, baru saja memarahi semut-semut yang hendak mencuri kenari di tempat penyimpanan makanannya. Ia selalu benci semut. Baginya, semut tidak lebih dari hewan pemalas yang suka mencuri makanan daripada berusaha mengumpulkan.

Gus melompat ke pundak Putri Malu dan mendekat ke wajahnya. Putri mengira ia akan memeluknya, itu cara Gus menghiburnya. Namun, Gus malah menarik jatuh tudung kepalanya.

“Gus!” tegur Putri, segera memasang tudungnya lagi. Matanya awas ke belakang, takut ada orang di sana. “Apa yang kamu lakukan?”

“Ini jawaban saya,” kata Gus. “Bagaimana caranya mereka bisa mengajak Putri main kalau terus menutup diri seperti ini?”

“Tapi, kalau saya membuka tudung mereka akan melihat ….”

“Tidak ada yang berbeda dari rupa putri dengan mereka. Bercak itu cuma pelengkap keunikan putri saja. Apa lagi, kata Ratu tanda lahir itu berasal dari dewa, kan?”

Ia memegang pipinya. Ya, bercak hitam yang memanjang dari sudut mata kanan sampai ke rahangnya, inilah alasannya menutup diri. Kata Ratu, itu adalah tanda kelahiran dari dewa sebagai bukti cinta padanya dan keluarga kerajaan.

“Orang-orang spesial selalu diberi satu keunikan,” begitu kata Ratu. Tetapi, bila mungkin bisa bicara pada dewa, dia akan menyarankan memakai bukti cinta yang lebih indah. Seperti memberinya suara emas atau kecantikan tiada tara, bukannya bercak besar hitam bernama ‘tanda lahir’ di wajah!

“Buat kamu mungkin biasa, tapi ini hal luar biasa bagi manusia.” Putri Malu memegang pipinya. “Wajah rupawan itu hal wajib dipunyai setiap putri. Apa kata mereka bila punya putri berwajah mengerikan seperti ini?”

Gus mengerti kesedihan Putri. Tiap kali datang ke rumahnya, Putri Malu selalu mengeluhkan kesedihan memiliki hal ‘unik’ itu di mukanya. Coba saja ada cara untuk menutupi tanda lahir hitam itu tanpa harus menjauh dari orang-orang.

Mata bulat hitam Gus melebar, mendapat ide. “Bagaimana kalau Putri menutupi wajah dengan sesuatu yang disukai orang-orang?”

Putri menegakkan badannya dari sandaran pohon kacang kenari. “Misalnya, seperti topeng?”

“Iya, seperti itu! Memakai topeng kelinci atau menggambar biji kenari di wajah. Itu akan menakjubkan dan semua orang pasti suka!”

“Itu kurang meyakinkan.”

“Percayalah padaku, tuan putri! Tupai paling cerdik itu Gus, kan?”

Ide Gus cukup masuk akal, tetapi tentu dia tidak boleh percaya begitu saja pada ide seekor tupai. Siapa orang sehat yang bisa menyerahkan keputusannya pada seekor tupai?

Oh, ternyata, ada satu. Dirinya. Hidupnya sudah tidak masuk akal sejak ia bisa bicara dengan hewan. Itu hadiah dari dewa yang paling ia suka dan sekarang ia akan mencoba menggunakan hadiah itu.

Di suatu siang, ketika anak-anak dayang tengah bermain engklek di pelataran istana seperti biasa. Putri Malu menghampiri mereka, lengkap dengan jubah bertudungnya.

Kejanggalan keberadaan Putri Malu di sana, membuatnya disambut mata-mata penasaran dan bingung.

Putri melepas tudung kepalanya. “Hai, semua. Apa aku juga boleh main bersama kalian?”

Mata semua anak melotot, mereka mematung. Lalu, hening lama.

Satu anak di barisan paling depan yang pertama memecah keheningan.
“MONSTER BULU!!!”

Teriakan melengking itu mengawali teriakan-teriakan lainnya. Bersama kepanikan, tangis, dan ketakutan, mereka berlari ke luar pelataran untuk menyelamatkan diri. Hingga tinggalah Putri Malu sendiri.

Gus, si tupai cerdik, turun dari pohon dan menghampiri sahabatnya. Bulu-bulu halus serupa kucing tumbuh di seluruh wajahnya. Ramuan Bebek Penyihir hutan yang ia tukar dengan semangkuk cacing ternyata sangat berhasil.

“Semua orang suka hewan berbulu. Mereka bilang, tupai dan kucing itu sangat menggemaskan. Kupikir, temanmu juga akan suka,” katanya menghibur. Tapi, tidak terdengar sebagai hiburan di telinga putri. Ia merasa marah dan sedih.

“Tenang, tenang,” kata Gus. “Saya punya rencana kedua. Kali ini pasti berhasil.”

Keesokan harinya, mereka datang ke tempat yang sama lagi. Kali ini, para anak bangsawan dan dayang bermain petak umpet. Satu anak berjaga, ia menutup mata dan berhitung mundur. Yang lainnya bersembunyi di sekitaran sana.

Gus memberi aba-aba untuk Putri masuk ke pelataran dengan suitan. Ia mengamati semuanya dari atas pohon. Kali ini ia yakin idenya berhasil. Ia sudah menghadiahi Bebek Penyihir Hutan dengan lima mangkuk cacing untuk mendapat ramuan mujarab itu.  

“Delapan belas, sembilan belas, dua puluh. Siap-siap, waktunya serigala bangun!”

Anak itu membuka mata dan membalik badan. Langsung, sekujur tubuhnya membeku mendapati manusia bertopeng putri dengan mata besar menyala dan gigi runcing tersenyum padanya.

Dengan tergagap anak itu berteriak, “BADUT PUTRI!”

Ia terisak, memojok ke pohon saat badut itu mencoba mendekat. Ketika tangan badut terangkat mencoba memegangnya, ia menangkisnya dengan menampar kepala badut. Jatuhlah topeng itu ke tanah. Nampaklah wajah di baliknya.
Putri panik. Ia berusaha menutupi mukanya. Takut orang-orang melihat wajah telanjangnya dan ketakutan. Anehnya, tidak ada suara apa-apa, hanya cuitan burung terdengar di suatu tempat. Dan, seseorang memegang pundaknya.

“Putri …, Malu?” kata anak itu terbata.

Putri membuka mata. “Iya?”

Anak itu tercengang. “Pantas saja Nona menutupi wajah, ternyata wajah putri ….”

Kata-katanya terputus karena anak-anak dayang keluar dari tempat persembunyian. Putri bertambah gugup.

“Cantik sekali!”

Semua anak berjalan mendekat. Semuanya terpesona pada kecantikan Putri Malu. Bercak hitam di mukanya hilang. Kulit wajahnya putih mulus, matanya bulat, dan berhidung kecil yang mancung turunan dari Ratu.
Semua orang berebut ingin bicara dan segala puji-pujian membanjiri telinganya. Kakak-kakaknya pun ada di sana. Mereka mengajak Putri ikut main petak umpet.

Waktu hampir petang ketika para dayang datang memikul baskom cucian. Para dayang memanggil anak-anak mereka bekerja.

Salah satu anak tidak rela pulang, ia merengek pada Putri Malu karena sedih berpisah. Ketika pamitan, sambil mengangkat baskom cucian, tak sengaja kakinya tersandung batu dan menumpahkan air ke wajah Putri Malu. Jubah, gaun, rambut, bahkan seluruh tubuh Putri basah oleh air cucian.

Menyerang keluarga kerajaan sama hukumannya dengan mati, apalagi menyiram putri bungsu raja. Orang-orang yang melihat merasa kasihan pada anak dayang, tapi itu tidak berlangsung lama karena semua takjub pada perubahan Putri Malu.

Air membasuh habis sihir Bebek Penyihir. Kulit pipi putih yang mulus dan bercahaya berubah menjadi bercak besar hitam di pipinya.

“Wajahnya …,” sahut salah satu anak, menyadarkan Putri pada perubahannya.

Putri menangkup wajahnya, sangat malu. Orang-orang akhirnya melihat wajah aslinya. Kecacatannya.
Ia melihat Gus turun dari pohon, menatapnya dengan sedih dan bersalah.

Ini bukan salah Gus. Ini salahnya sendiri. Ia bersalah telah rakus ingin mendapat sedikit perhatian dari orang-orang. Ia bersalah ingin merasa normal. Selamanya, ia adalah putri raja yang cacat.

Seseorang menutupi kepalanya dengan jubah. Orang itu adalah kakaknya, Putri Nayla.

“Kamu menangis.” Putri Nayla memberitahunya. “Apa dayang itu menganggumu? Kamu mau Kakak memanggil penjaga untuk mengurungnya?”

“Tidak usah. Dia tidak mengangguku.”

Putri Nayla memiringkan kepala, menatapnya penuh perhatian.

“Saya cuma malu.” Putri Malu menangkup mukanya lagi. “Selama ini saya menyembunyikan muka dengan tudung supaya orang-orang tidak perlu tahu putri mereka berwajah jelek.” Putri terisak lagi. “Saya sangat malu, Kak.”

Putri Naysilla, kakak keduanya, ikut berjongkok. Kedua kakaknya memandangnya sedih. Tetapi yang dapat Putri Malu lihat hanyalah wajah cantik mereka.

Putri Naysilla memegang tangannya. “Kecantikan memang hal wajib dipunyai seorang putri. Putri adalah wajah dari rakyat dan kerajaannya.”

Putri Malu paling tahu soal itu. Guru-guru kerajaan mengatakannya berulang kali. Tidak sembarang anak bisa jadi anak raja, mereka harus berhati-hati dalam bertutur dan bersikap untuk menghormati jabatan yang diberi dewa.

“Tetapi, bukan itu yang terpenting,” kata Putri Naysilla.

Ia memegang tangan Putri Malu dan mengarahkannya memegang dadanya.

“Memiliki hati yang menyayangi rakyat. Itulah yang harus dimiliki seorang putri. Bukankah itu yang selalu Ratu katakan?”
Putri Malu terdiam.

“Kita semua punya keunikan, Nerissa. Kakak punya hidung yang bengkok.” Putri Naysilla menunjuk batang hidungnya. “Nayla dengan rambut keritingnya.” Ia menunjuk adiknya. “Dan, kamu dengan tanda lahir hitam besarmu.

“Semua orang unik, karena itulah mereka spesial. Tidak usah terlalu takut menjadi berbeda. Yang perlu kamu takutkan adalah ketika kamu kehilangan jati dirimu sebagai putri. Sebagai putri yang menyayangi dan disayangi rakyat.”

Putri Malu mengangguk. Memeluk kedua kakaknya. Gus melompat ke pundak Putri dan memeluknya. Pada saat itu, ia tak lagi peduli apakah semua anak bangsawan, semua anak dayang, dan seisi istana melihatnya dengan wajah tidak sempurna itu. Sekarang, ia tahu apa yang terpenting.

Mulai hari itu tidak ada lagi Putri Malu. Ia hidup sebagai anak bungsu raja, Putri Nerissa. Ia mulai menerima dirinya sebagai putri yang punya kecatatan di wajah. Ia bertumbuh menjadi putri yang mengabdi kepada rakyatnya.

Sejak saat itu, ia memutuskan hidup sebagai seorang putri yang sesungguhnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro