Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Putri Ameira

“Tidak ada kebahagiaaan tanpa pengorbanan. Raja Arthur harus berlapang dada menjual kebahagiaannya sendiri demi kebahagiaan rakyat.”

Putri Ameira terdiam mendengar ucapan para pengawal istana. Ini kali kesekian kalimat serupa kembali terdengar. Pengorbanan dan kebahagiaan Sebenarnya, apa yang harus dikorbankan untuk kebahagiaan rakyat? Selama ini Putri Ameira memang terbiasa melihat wajah mendung orang-orang di luar istana, tetapi tak pernah benar-benar tahu penyebabnya. Sang ayah hanya mengatakan kalau kemiskinan masih menjadi alasan utama mengapa rakyatnya tak juga diliputi kebahagiaan. Padahal, harta bukan jaminan kebahagiaan seseorang, bukan? Namun saat dipikir lagi, kepergian orang-orang yang mereka cintai karena kemiskinan tentu menjadi alasan terbesar mengapa mereka tak juga mencecap bahagia.

Melihat kehadiran Putri Ameira membuat pengawal yang tadi saling berbisik langsung membubarkan diri. Jika perempuan itu mengadu, bukan tak mungkin Raja Arthur akan menjatuhkan hukuman.

Terdorong rasa penasaran. Ameira menanggalkan atributnya sebagai seorang putri, kemudian berjalan mengendap keluar istana demi mengetahui kebenarannya. Tak jauh dari istana ia menemukan sebuah gubuk yang tampak sepi penghuni. Gubuk itu terletak di pinggir sungai yang tampak mengering. Pohon-pohon di sekitarnya pun nyaris mati. Putri Ameira tak merasa heran karena sejak dilahirkan memang demikian yang terjamah oleh kedua netranya.

Putri Ameira menemui salah satu penghuni gubuk, lantas mengajaknya bicara. “Permisi, Nek. Apakah Nenek sedang sibuk?”

Si nenek tak langsung menjawab, hanya menoleh sekilas dengan wajah tak bersahabat.

“Kalau Nenek tidak keberatan, bolehkah saya menanyakan sesuatu?”

“Apa?”

“Apa Nenek tahu kenapa orang-orang di negeri ini tidak pernah bahagia?”

“Tentu saja karena Raja Arthur. Kalau dia tidak keras kepala mempertahankan putri sialnya, kami mungkin bisa hidup bahagia. Tidak kesulitan seperti sekarang.”

“Putri sial? Apa yang membuat Nenek berbicara demikian?”

“Ratu Amora meninggal saat anak itu dilahirkan. Pangeran Araya—putra pertamaRaja Arthur—tiba-tiba meninggal dalam perang. Padahal, semua tahu kalau dia tak terkalahkan, bahkan digadang-gadang akan menjadi pengganti Raja Arthur di kemudian hari. Penyihir dari Hutan Hujan bersumpah akan menghidupkan kembali Pangeran Araya, asal Raja Arthur bersedia menyerahkan bayi perempuannya. Tapi, Raja Arthur malah memilih mempertahankan Putri Ameira. Penyihir dari Hutan Hujan murka. Dia membuat rakyat Raja Arthur hidup dalam kesengsaraan selama bertahun-tahun. Negeri kami dilanda kekeringan tak berkesudahan. Pertanian lumpuh karena air sulit didapat. Jangankan untuk membasahiu tanaman, untuk kami hidup pun sulit. Hanya Raja Arthur yang hidup sejahtera di dalam istana, sementara kami menderita.

Gadis itu diam. Setelah sekian lama akhirnya ia tahu mengapa banyak yang membenci dan sering membicarakannya. Ternyata bukan alasan yang tak sederhana. “Nek, apakah Nenek tahu kenapa Raja Arthur bersikeras mempertahankan putrinya?”

“Raja Arthur bilang, mustahil menghidupkan orang yang sudah mati. Itu tipuan penyihir dari Hutan Hujan demi bisa mendapatkan Putri Ameira. Ratu Amora titisan Dewi. Darah bayi perempuan yang dilahirkan bisa membuat siapa pun memiliki kecantikan abadi. Raja Arthur tidak ingin kehilangan Putri Ameira karena ketidakpastian. Dia terlalu pengecut. Dia takut kalau penyihir dari Hutan Hujan berbohong dan membuatnya kehilangan segalanya.”

“Kalau ternyata itu benar bagaimana?”

“Semua orang tahu kalau penyihir dari Hutan Hujan sakti. Dia bisa melakukan apa pun. Bahkan menghidupkan orang mati. Hilangnya Putri Ameira dan kembalinya Pangeran Araya bisa mengembalikan kesejahteraan rakyat.”

***

Selang beberapa hari setelah pertemuan dengan si nenek, Putri Ameira memutuskan untuk menemui penyihir dari Hutan Hujan. Gadis itu nekat keluar istana dan berniat menyerahkan diri. Jika memang harus ada yang dikorbankan demi kesejahteraan rakyat dan ternyata itu adalah dirinya, Putri Ameira tak keberatan.

Susah payah ia menyusuri hutan, menuju sebuah rumah penyihir dari Hutan Hujan.

“Mau apa kamu kemari?”

Putri Ameira tersentak saat suara seseorang menyapa gendang telinganya. Gadis itu berbalik dan langsung dihadapkan pada sosok perempuan yang kini berdiri tepat di belakangnya.

“Apa kamu penyihir dari Hutan Hujan?”

“Benar.”

“Aku mau menyerahkan diri. Mereka bilang, kamu menginginkanku. Hidupkan kembali Pangeran Araya, kembalikan kesejahteraan rakyat di negeriku. Berikan kebahagiaan yang kamu janjikan pada mereka.”

“Kamu datang ke sini untuk mati? Kamu tentu tahu betul apa yang harus ditukar untuk menghidupkan kembali Pangeran Araya.”

“Aku tidak keberatan. Tapi, sebelum itu ... bolehkah aku meminta satu hal lagi? Mereka bilang kamu begitu sakti. Tidak ada yang tidak bisa diwujudkan.”

“Tentu. Aku bisa memberikan apa pun.”

“Hapus namaku dari ingatan semua orang. Lebih baik tidak pernah ada, daripada ada tetapi dianggap sumber malapetaka. Hapus namaku dari ingatan Ayah juga. Biarkan dia hidup berselimut kebahagiaan dengan Kakak di sampingnya. Jangan biarkan Ayah hidup dalam rasa sakit karena kehilangan.”

“Itu tidak sulit. Aku akan melakukannya untukmu.”

Putri Ameira mendekat. “Hidupkan dulu kakakku, setelah memastikan dia benar-benar kembali, aku akan mengakhiri semuanya.”

Penyihir dari Hutan Hujan tersenyum senang. Perempuan berjubah ungu itu langsung melakukan ritual untuk menghidupkan Pangeran Araya.
Benar saja. Tak sampai satu jam, Pangeran Araya benar-benar berdiri di hadapan Putri Ameira.

Mata gadis itu berkaca-kaca. Selama ini ia tidak pernah tahu ihwal sang kakak karena ayahnya memang rapat menyembunyikan semua. Ternyata Pangeran Araya memang gagah. Wajar kalau rakyat begitu memuja dan mengharap dia kembali. “Satu lagi. Kembalikan dulu kesejahteraan rakyat. Setelah memastikan kalau mereka kembali pada kehidupan seharusnya, aku tidak akan keberatan untuk mati.”

“Tentu saja. Itu bukan hal sulit.”
Lagi, penyihir dari Hutan Hujan merapal mantra, kemudian mengarahkan pandangan Putri Ameira pada bola transparan di hadapannya. “Lihat, aku sudah menurunkan hujan. Aku bahkan menghidupkan kembali tanaman yang sudah mati. Lahan pertanian yang tadinya kering, sekarang terlihat kembali menghijau.”

Putri Ameira mengangguk. “Baiklah. Aku akan menyerahkan diri.”

Setelah bertutur demikian, Putri Ameira mendekat. “Izinkan aku memelukmu sebelum mengakhiri semuanya. Anggap saja itu pelukan terakhir sebagai ucapan terima kasih karena kamu bersedia menuruti semua inginku.”

Penyihir dari Hutan Hujan merentangkan tangan, meminta Putri Ameira mendekat dan memeluknya. Namun, begitu tubuh perempuan itu tenggelam dalam rengkuhnya, nyeri hebat merambat. Ia merasa pergerakan sekecil apa pun sanggup mengoyak jantungnya. Amis darah terhidu bersamaan dengan meluncurnya cairan merah pekat dari mulut sang penyihir.

“Maafkan aku.”

“Ka-kamu ... membodohiku anak kecil?”

“Aku belum ingin pergi, tetapi aku ingin Kakak dan kebahagiaan rakyat kembali.”

Tubuh penyihir dari Hutan Hujan ambruk lengkap dengan sebilah belati yang masih tertancap di dada kirinya.

“Ka-mu ... tidak ... a-kan bahagia.”

“Dengan semua kembali ke tempat seharusnya, aku bisa bahagia. Terima kasih dan maaf sudah menipumu.”

“Harus ada yang dikorbankan untuk sebuah kebahagiaan. Mereka mungkin kembali. Tapi, aku sudah dulu menghapus namamu dari ingatan semua orang sebelum mengembalikan itu semua. Kamu tidak akan bahagia karena tidak seorang pun mengingat dan menganggapmu ada.”

Selepas bertutur demikian, kesadaran si penyihir terenggut. Matanya terpejam sempurna menyisakan Putri Ameira dalam kepanikan.

“Tidak mungkin! Kamu pasti berbohong!”

Namun sial, si penyihir tak lagi dapat diajak bicara. Pangeran Araya pun sudah tak tampak. Begitu kembali ke tempatnya, Putri Ameira terduduk lesu di depan istana karena benar ... tak seorang pun mengingat dan menganggapnya ada.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro