Pirau
Seberkas sinar matahari lolos dari balik tirai putih berenda, menyergap mataku untuk terus terpejam dan menarik selimut guna menyembunyikan luapan air mata agar tidak serta merta kentara. Terlalu banyak kilas balik di benak, pada setiap memori yang menjejak satu dekade silam, bahwasanya sosok yang menghilang pertama adalah Ibu, wanita yang melahirkanku, menjabat sebagai sang ratu, harus enyah dari kehidupan tanpa ada yang tahu. Disusul anggota kerajaan yang raib. Semua itu seolah menjadi pertanda, namun mereka enggan berpaling muka menekuni musabab kejadian tempo lalu.
Kemudian pekan kemarin, riuh ramai menggelora di halaman kerajaan, semua berpakaian putih, beberapa penjaga meniup terompet. Diriku mematung menyaksikan beberapa ksatria berkuda tanpa baju zirah sedang menuju ke arahku. Peti-peti diusung di belakang dengan kereta kencana, semua sudah terencana, namun hatiku belum bisa ditata, sebab satu-satunya lelaki yang kuharap tak pernah sampai ke acara, tidak ikut bergumul dengan keramaian.
"Izinkan saya memakaikan liontin Nona Iris," pinta Pangeran Dion dengan tutur lembut, berseberangan dengan sorot matanya yang menusuk, seolah ia sedang memberi titah padaku.
"Terima kasih Nona," tambahnya setelah mengalungkan liontin serta memasang cincin perak di jari manis.
Terompet ditiup lagi, rakyat bersorai. Hingga sore tiba, barulah acara bubar.
Lalu kemarin, seseorang pria memohon untuk diampuni, matanya berembun, hidungnya penuh ingus, dadanya naik turun tak beraturan, dengan sesenggukan dia bermohon, "Ampun Yang Mulia, Saya tidak akan mencuri ..."
Ayah tak berpaling muka, wajahnya penuh dengan amuk durja, bibirnya melesatkan kata-kata magis bagi pengeksekusi, "Potong tangannya!"
Tangis pria itu semakin menjadi, begitu pun dengan wanita yang kini tengah berbadan dua, dua anak laki-laki, mereka segera kubawa keluar. Tanganku merengkuh dua anak itu yang tengah merisak, tangannya mencengkeram lenganku kala teriakan pria di dalam menggema. Saat itu tidak kujumpai lagi keberadaan David padahal bapaknya sedang dieksekusi, lelaki itu memang sudah tak sudi menampakkan batang hidungnya di hadapanku.
Tanganku mencengkeram selimut sampai ruas tangan berkeretak. Perihal seringaian dan bisunya Dion kala hukuman itu terjadi, David hilang lalu bapaknya yang mencuri beberapa ikat gandum. Kuseka anakan air mata, kemudian menyingkap selimut, sembari memandang langit-langit dengan ukiran flora menjalar, kelambu yang berhiaskan perak, lantai marmer, dan juga gaun yang bertabur serbuk emas, sementara di luar, beberapa janda dan anak gadis harus melacur untuk selembar roti, para sesepuh harus mengunduh biji gandum, bungkuk-bungkuk mengusung karung.
Kutarik napas dalam sebelum bangkit dari tidur, menjejakkan kaki di lantai dingin, dan bersiap untuk latihan. Usai dengan rutinitas pagi, tanganku mendorong daun pintu dan mendapati meja makan tak berpenghuni, denting pedang di ruang latihan tak terdengar, ruang pribadi raja kosong. Langkahku segera enyah dari sana, sebab setiap pandanganku menyapu seisi ruangan selalu kutemukan bercah merah kehitaman di sana.
“Tidak mungkin ...” seluruh penginderaanku mengecap, bau besi berkarat yang kentara di setiap ruang sangat sama kala Ibu menghilang.
“Selamat makan Putri Iris,” ujar juru masak yang mengantar makananku, kusisipkan koin emas padanya. Sama seperti sebelum-sebelumnya, kupesankan supaya ia memberikan sebagian keping emas itu pada anak-anak yang menggemaskan.
“Frans sudah siap Putri,” kali ini penjaga kuda datang menunduk menghadapku dan kuperlakukan ia seperti juru masak tadi.
“Terima kasih.” Ujarku kala sudah mangkring di bahu Frans---kuda putih kesayangan. Ia berujar hal yang sama dan menunggu derap langkah Frans hingga gerbang istana.
Frans terus berlari, menemaniku bertandang di setiap orang bermukim, memberi beberapa kantung bahan makanan. Lalu di pasar, kuberikan sekantung koin emas pada setiap warung dan pengemis jalanan.
Mereka menunduk ada pula yang menyapa, dan di kejauhan ada yang berbisik-bisik, aku mendengar beberapa ucapan dari mereka, "... malam ramai." Hanya itu, selebihnya aku tak tahu. Kubeli dagangan dari pedagang kecil dan memberi bonus untuk mereka.
Aku melewati jalanan pasar lalu tempat hiburan. Beberapa tempat di mana beberapa janda dan perempuan muda dikerumuni para pria. Saat ada aku, mereka menunduk, dengan berbagai alasan tentang kedudukan perempuan, bahkan putri kerajaan sekali pun, mereka tak mau bersikap menghargai. Kuputuskan untuk memberi uang, namun sebelum itu terjadi, para pria itu mundur dan pergi, para wanita itu merekahkan senyuman dan berterima kasih banyak sebab keping emas itu sekarang ada di tangan mereka.
Kini aku beralih pada tempat tujuan, tempat di mana Bapak George terbaring di atas kasur, dengan tangan yang kini sudah kembali dijahit oleh sang tabib. Sementara, David berpaling muka tak mau menemani. Aku tahu dia terganggu, mungkin sebagian hatinya memang tak rela kala berujar ingin melepasku, kala kalung yang kami tukar sewaktu belia sudah tak melingkar di lehernya, ini semakin membuat hatiku gaduh, rasa nyeri yang bersarang pada ulu hati merambat hingga leher dan kepala, maka dari itu aku pamit undur diri dari rumah yang menaungi kenangan masa kecil kami.
Frans kutunggangi, ia berjalan melewati gapura keluar dari wilayah hunian Kerajaan Plumer, para penjaga menunduk saat kami lewat, lalu kami pergi memasuki hutan. Di sana kabut tebal melingkupi, beberapa hewan menapak di tanah, namun tujuan kami bukan itu, melainkan menikmati gemericik air terjun. Frans terus menapak tilas, membelah sekumpulan ilalang serta memijak bebatuan dan tanah yang dihinggapi lumut. Hingga suara itu semakin jelas, kilat tiba-tiba menyambar, menampakkan akar-akar menyilaukan di langit, kemudian suara guntur menggelegar, angin tertiup kencang menerbangkan ikatan rambutku. Frans panik, kuelus lehernya hingga ia tenang, kemudian kutarik tali kudanya dan beranjak menuju arah yang berbeda.
“Ayo Frans, sebentar lagi sampai.” Frans menapak dengan pelan penuh keraguan, sebab kami mendatangi arah di mana kilat sering menyambar. Kubawa Frans memasuki gua untuk berteduh, lalu kuikatkan tali kudanya pada tumpukan batu. Frans berkelit panik, ia terus memberontak titahku, meskipun kuelus ia tetap berjingkrak-jingkrak ingin keluar. Barang kali ia tidak tahan dengan bau busuk menyengat ini, di sini perutku bergejolak ingin memuntahkan sarapan tadi.
“Frans tenang ya ...” Sepertinya Frans mulai beradaptasi, maka dari itu kutinggal dia di sana memakan beberapa rumput yang meliar masuk. Sementara itu geraman dalam gua benar-benar membuat bulu kudukku berdiri. Temaram dari cahaya di luar memberi kilau pada setiap genangan yang mengental atas pembantaian semalam. Tulang belulang berserakan tidak luput dari botku meskipun sudah menghindar setengah mati. Dadaku diliputi sesak olehnya, bukan perkara bau bangkai busuk yang mulai kering hingga basah, melainkan aku yang membunuh mereka.
Dengan berbagai alasan, mulai dari memakmurkan rakyat, tak tahan dengan aksi penggal dan mutilasi, bahkan argumen egois semacam tak ingin dijodohkan dengan Pangeran Dion yang sama keparatnya dengan ayah. Aku tak ingin kejadian itu terulang, saat janin Ibu diketahui perempuan. Calon adikku lahir lebih cepat empat bulan dari normal, badannya membiru tanpa tangis, sementara Ibu sudah terkapar dengan darah yang merembes di kasur dan lantai. Tak ada siapa pun yang tahu selain anggota kerajaan, ia dibawa kabur ke gua ini dan dikubur di sudut terdalam.
Kakiku melangkah mendekati makam, diiringi rintihan dari ayah yang masih bernyawa. Ia menatapku tajam, kedua tangannya telah lenyap kupenggal semalam. Di sampingnya tanah basah tersiram darah dan beberapa bunga krisan yang terjejer indah. Di situlah jasad ibu bernaung, lolos dari pencarian prajurit kakek.
“Ayah, maaf sebelumnya, tapi memang anda sudah memenggal banyak orang, memutilasi kaki tangan rakyat---“
“Dan kau melakukan apa yang kau benci Nak? Demi cintamu pada rakyat jelata itu kau berdalih. Sungguh menyedihkan, kau membasmi keluargamu sendiri, mengambil tangan ayahmu dan menukarkannya pada George.”
Kilat menyambar, langit bergemuruh, Frans melolong dan terdengar bel di lehernya berbunyi nyaring, samar, lalu menghilang.
“Frans kuda pintar, dia tak ingin mati sekarang Nak ...”
Aku menyernyit, firasatku berteriak untuk segera enyah dari tempat ini, namun sebelum itu kudapati mata ayah menatap nyalang, suara rendahnya menggema menebas keberanian, “Kau akan menjadi kabut, jelaga yang menghitam di tanah subur ini, pirau yang membutakan setiap yang memandang.” Napas ayah terdengar kasar, ia menggapai maut, dan menutup mata saat guntur menyambar meruntuhkan gua ini. Mengeksposku pada udara dingin, ragaku seolah ditarik paksa, udara seolah menembus rongga tubuh, lalu sekejap kulihat tanganku tembus pandang dan semakin menghilang. Kini ragaku termanifestasi pada pekat.
“Tidak, tidak mungkin ... Maaf ...” suaraku kini semakin lirih tak terdengar. Semua amuk sesal menyergap terbendung kebisuan. Aku menghampiri ayah, manifestasi kabutku berusaha menyentuhnya, namun naas ia malah terurai seperti debu. Aku mendongak, awan di atas berkilat menyambar dan menurunkan butiran hujan. Saat itu kudapati beberapa kanopi pohon meranggas, daunnya menguning dan coklat terurai. Batang-batang pohon mulai lapuk menyentuh tanah. Beberapa hewan terdekat berlarian, burung berterbangan menjauh, tetapi satu per satu dari mereka gugur ke tanah, seolah alam memberi pertanda bahwa keberadaanku tak lebih dari gumpalan gas beracun.
Sekian lama akhirnya guntur mulai tak terdengar, rintik hujan lenyap, awan hitam menyingkir akan membuka jati diriku sebagai kabut pirau penyendiri.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro