Oak Leaves
"Cinta yang sesungguhnya memerlukan pengorbanan, bukan hanya sekadar pernyataan"
~Antares~
****
Aquila terletak di pusat Negeri Octans, sebuah wilayah yang cukup subur untuk ditanami semua jenis tanaman. Kerajaan dengan lambang bunga anggrek itu merupakan kerjaaan terbesar dengan rakyat yang hidup makmur dan sejahtera.
Aquila dipimpin oleh seorang raja yang bijak bernama Alpha Centauri. Sang istri telah meninggal sejak dua puluh tahun yang lalu karena melahirkan putrinya—Adara. Seorang gadis yang cantik jelita, wajahnya putih berseri bak purnama, alisnya tebal dan rapi bak semut beriringan, pun tubuhnya ramping dengan tinggi semampai.
Namun, ketenangan penghuni istana Aquila terusik dengan kedatangan Capella—penyihir tersohor seantero Negeri Octans. Kedatangannya kali ini bersama putra tunggalnya—Hamal. Dua puluh tahun lalu, wanita itu diasingkan ke hutan Centaurus karena terbukti membunuh beberapa rakyat demi menyempurnakan ilmu sihir yang dimiliki. Kedatangan penyihir itu tentu saja menimbulkan kehebohan di lingkungan istana, terutama Alpha—raja Aquila.
"Apa yang membuatmu datang ke istanaku?" Raja Alpha memberi kode pada seluruh prajurit untuk waspada.
Paham dengan itu, para prajurit mengepung wanita berjubah hitam dengan tatakan permata itu.
Bukannya menjawab, Capella justru menyeringai. Tak menyangka kedatangannya ke kampung halaman justru disambut dengan buruk oleh penguasa Aquila itu.
"Kedatanganku bukan untuk menemuimu, tetapi menemui putrimu. Aku ingin mempersuntingnya sebagai istri dari putraku." Capella melangkah maju.
Raja Alpha menggeleng tegas, tak mungkin membiarkan putri semata wayangnya dipersunting oleh putra dari penyihir yang sempat mengusik ketenangan rakyatnya.
"Aku tak sudi bermenantukan putramu, ada banyak pemuda di luar sana yang jauh lebih baik dibanding dia." Alpha menunjuk Hamal yang sejak tadi hanya terdiam.
Mendengar hal itu, wajah Capella berubah menjadi merah padam karena merasa direndahkan.
"Jika ingin rakyat dan putrimu selamat, maka kau harus menerima pinanganku atas Putri Adara. Aku tak segan membinasakan kalian semua apabila pinanganku ditolak." Capella mengancam.
"Bagaimana mungkin aku menyerahkan putriku pada putramu? Kau telah mengusik ketenangan dan membunuh rakyatku demi kepentingan pribadi."
"Selama aku masih hidup, tidak akan pernah menyerahkan Adara pada putramu!" Raja Alpha berbalik pergi.
Mendengar jawaban sang raja, Capella mengepalkan tangan hingga buku-buku jarinya memutih. Tongkat sihir di tangan kirinya diayunkan ke udara sembari bibir hitamnya merapal mantra. Dalam hitungan detik, lelaki berjubah emas itu berubah menjadi pohon mawar.
Prajurit yang tadinya bersiaga, menyerang Capella dengan pedang di tangan mereka. Namun, semua sia-sia karena penyihir itu mengubah mereka menjadi berbagai jenis tanaman.
Putri Adara menyaksikan semuanya, bagaima sang ayah dan penghuni istana disihir menjadi beraneka tanaman. Ia hanya mampu terpaku dengan air mata yang menggenang di pelupuk mata. Capella yang menyadari kehadiran gadis itu segera menghampiri dan membuat penawaran.
"Putri Adara, menikahlah dengan putraku. Jika kau menerima pinangan ini, maka aku akan mengembalikan mereka semua ke wujud semula." Capella menunjuk tanaman yang berserakan.
"Bebaskan mereka semua atau aku tidak akan segan untuk–"
"Untuk apa Adara? Kau tidak punya pilihan lain selain menerima, mereka tak akan kembali ke wujud semula apabila purnama minggu depan tak ada yang bisa mematahkan mantraku!" Capella terbahak diikuti oleh Hamal.
"Jadi, bagaimana keputusanmu calon istriku? Bersediakah kau menikah denganku?" Hamal mendekati Putri Adara.
Adara memundurkan langkah sembari menghunus pedang pelangi. Hamal yang tak siap pun terlukai. Pedang itu menggores lengan putih pemuda itu cukup panjang dan dalam, sehingga darah mengucur deras dari sana.
"Putraku!" Capella meraih tubuh putranya.
"Berani-beraninya kau melukai putraku, kau harus merasakan akibatnya. Jika putraku tak bisa memilikimu, maka tak ada seorang pun pemuda yang bisa memilikimu."
Capella mengayunkan tongkat sihirnya sembari membaca mantra. Dalam hitungan detik, kamar itu berubah menjadi menara yang menjulang tinggi. Bukan hanya itu, seluruh lapisan dinding luar ditumbuhi oleh firethorn—sulur berdaun jarum yang tajam dan beracun.
"Hiduplah dalam menara ini sampai kau mati, hanya cinta sejati penuh api keberanian yang mampu mematahkan mantraku. Selamat tinggal Putri Adara!"
Capella dan Hamal menghilang begitu saja, tersedot oleh cahaya sekelam batu kecubung wulung hitam. Meninggalkan Adara yang terduduk di lantai meratapi nasib.
"Tuhan, apa yang harus kulakukan untuk menyelamatkan Ayah dan penghuni istana yang disihir oleh wanita itu? Aku sendiri saja tak mampu menyelamatkan diri.
Kabar ditawannya Putri Adara di menara menyebar cepat ke penjuru negeri. Seluruh pangeran dan pemuda di wilayah itu berusaha untuk membebaskan sang putri, tak terkecuali Antares. Seorang pangeran yang telah lama menaruh hati pada sang putri yang terkenal pandai pun rupawan.
Mereka tiba di kerajaan Aquila ketika matahari hampir terbenam, ternganga ketika menyaksikan menara yang mengurung Putri Adara.
"Bagaimana caranya kita bisa naik ke atas sana, puncaknya saja tak terlihat dari sini." Pangeran Altair mengusap wajah frustasi.
"Pasti ada cara untuk bisa sampai ke puncak menara dan menyelamatkan sang putri," ungkap Antares penuh keyakinan.
Semua mengangguk, membenarkan Pernyataan Antares. Namun, ragu lebih mendominasi jiwa mereka karena rasanya mustahil memanjat dinding setinggi itu. Seluruh permukaannya pun tumbuh sulur firethorn yang berduri lagi beracun.
"Kita tidak akan pernah tahu apabila tak mencoba. Setiap niat yang baik pasti akan mendapatkan kemudahan dari Tuhan." Antares kembali menyemangati.
Beberapa dari mereka menebas sulur-sulur itu dengan pedang, sedangkan sebagian yang lain hanya berperan sebagai penonton. Mereka memilih menyerah karena merasa bahwa perjuangan itu hanya akan sia-sia. Lagi pula tak ada hadiah apa pun yang dijanjikan sebagai imbalan atas kerja keras itu.
Keanehan terjadi, membuat mereka yang hadir tercengang. Batang sulur yang telah tertebas pedang, tumbuh lebih lebat.
"Jika kita terus menebas sulur itu, maka batangnya justru akan semakin lebat. Jadi, apa yang harus dilakukan?" Aldebaran mendesah.
"Pasti ada cara untuk menyingkirkan sulur ini." Antares penuh keyakinan.
Pangeran beriris biru itu tampak berpikir, hingga sebuah senyum cerah terpatri di bibir ranum nan tipis itu.
"Pangeran Ares, apakah kau telah menemukan cara?" Rigel menatap Antares.
"Satu-satunya cara hanyalah memanjat sulur berduri itu, dengan begitu sulur ini tak akan bertambah lebat."
Mereka terkejut mendengar jawaban dari Antares. Bagaimana mungkin memanjat sulur berduri lagi beracun dengan ketinggian yang tak bisa dijelaskan.
"Apa kau gila? Menara ini jauh lebih tinggi dari menara pengawas Aquila yang tingginya 250 meter."
"Mustahil, apalagi duri sulur itu tajam dan beracun. Kita hanya akan menyerahkan nyawa dengan sia-sia."
"Semua keputusan ada di tangan kalian, aku hanya sebatas memberi saran. Aku yang akan mencobanya," ucap Antares.
Adara, aku pasti akan menyelamatkanmu apa pun yang terjadi. Walaupun harus mempertaruhkan nyawaku, tak akan pernah ada penyesalan nantinya, batin Antares.
Antares terus memanjat dinding menara, tak peduli pada duri-duri tajam yang melukai kulitnya. Pangeran bertubuh jangkung dan berkulit putih itu tak menghiraukan rasa sakit yang menghujam akibat racun yang mulai menjalar di pembuluh darah.
Kulitnya mulai membiru dengan wajah pucat, seluruh tubuhnya telah dibasahi oleh keringat dingin. Namun, Antares masih berusaha untuk tetap melanjutkan langkah memanjat sulur firethorn.
"Cinta sejati dengan api keberanian yang akan berhasil mematahkan mantra."
Sebuah suara terdengar dari langit, tetapi tak ada satu pun yang tahu siapa pemilik suara itu. Belum sirna keterkejutan mereka, sesosok peri bersayap putih transparan tampak terbang menghampiri Antares.
"Kau berhasil mematahkan mantra Callepa dengan menunjukkan cinta penuh kobaran api keberanian."
Peri itu mengayunkan tongkat di tangannya, cahaya putih berkilau keluar dan melingkupi seluruh penjuru istana Aquila termasuk menara di mana Putri Adara ditawan. Dia beralih meraih tubuh Antares dan mengepakkan sayap menjauh.
Sementara, pemuda lainnya berlarian menjauh ketika tanah yang dipijak terasa bergoyang bak dilanda gempa. Dalam waktu lima menit, semua telah kembali seperti semula. Namun, tidak dengan Antares. Racun firethorn telah menyebar di seluruh tubuh, sehingga tak lagi bisa diselamatkan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro