Namaku Putri
Kucatut diriku di cermin dengan pandangan menajam. Bibir merah merona, bulu mata lebat karena maskara, bedak tebal menempeli muka, tetap saja jerawatku tampak nyata. Aku mendengus, berkali-kali mengecek video tutorial merias yang aku ikuti—tapi tidak berguna sama sekali. Sial, aku memang tidak cantik.
Mendadak pintu di belakangku terbuka, dengan Ayah melongo di sana, mengedip, menggaruk pipi, lalu bertanya dengan ragu-ragu, “Eum, maaf, Bu. Anda siapa, ya?”
Aku melotot. Ekspresi yang muncul karena rasa marah, kecowa dan tidak percaya. Iya, kecewa. Anda tidak rabun rupaya. Tapi pokoknya begitu.
“Saya istrinya Pak Sugeng, Pak, Pak RT kampung sebelah,” seruku seraya tersenyum kaku. Sebenernya ingin memukul kepala Ayah—seandainya tidak dosa.
“Eh?” Ayah terkejut lagi. Aku tidak yakin Ayah tengah berlakon atau tidak. “Istri Pak Sugeng kan Bu Laksmi, Bu Zainab, sama Bu Tukijah. Ibu isteri keempatnya, ya?”
Sekarang mataku berkaca-kaca. Segera, kuambil boneka terdekat dan kulempar ke arah Ayah sambil menjerit, “Ayah! Ini Putri!” Lalu mulai menangis.
“Eh?”
Ah, sudahlah. Aku sudah tidak terkejut lagi dengan keterkejutannya atau kebobrokan isi kepalanya. Kemudian kuambil tisu basah, kuusap kasar wajahku. Terserah jerawat sebesar bisulku pecah. Dan, “Aw!” Serius, pecah! Aku pun menangis menjadi-jadi.
--
Sepuluh menit kemudian wajahku sudah kembali seperti semula, bersih—kecuali bagian setengah bisul setengah jerawat di salah satu pipi yang kini membengkak, juga mata dan hidungku yang merah.
Ayah duduk di sampingku, tersenyum. Wajahnya mengatakan bahwa ia merasa bersalah, lucu, sekaligus miris. Sekarang aku masih ingin sekali menempeleng wajahnya—tapi tidak berani.
“Kamu tuh ngapain dandan begitu, Putri? Biasanya anti sama yang begituan,” tanya Ayah dengan hati-hati.
Sambil sesegukan aku menjawab dengan parau, “Ada acara pemilihan putri sekolah. Kandidatnya semua anak paling cantik di sekolah, Ayah. Masalahnya, mereka itu cuma serombongan buntalan tai yang dikasih bedak. Ngerti ‘kan maksud aku? Tukang bully, otak jongkok, yang kebetulan kaya dan cantik. Kalau salah satu dari mereka menang, orang itu pasti akan lebih semena-mena.”
Ayah manggut-manggut. “Oh. Kalau begitu, jangan jadi putri.”
“Hah?”
“Memangnya apa itu putri?”
Aku diam, kemudian Ayah menepuk kepalaku pelan. “Pikirkan, ya? Tapi sekarang, ayo makan malam.”
--
Sejujurnya, aku masih memikirkan kata-kata Ayah, ketika makan, buang hajat, atau seperti sekarang, saat berjalan di koridor sekolah. Sejujurnya yang aku tahu sebatas putri itu cantik. Tapi jika memandang jabatannya sebagai anak raja, yang kupikirkan justru tanggung jawab besar memimpin sebuah negeri. Dan dalam posisi itu, bukankah kecantikan jadi nyaris tidak berarti?
Ketika benakku memikirkan tentang segala macam kualifikasi menjadi putri—kecuali soal kecantikan—saat itulah aku melihat sebuah pementasan drama dadakan di tikungan koridor menuju kantin.
Di sana, ada Dona sebagai pemeran utama—dengan selusin wanita yang tengah berkerumum sebagai penonton. Dan yang lain, seorang gadis berambut bob yang berdiri ketakutan sambil memainkan ujung kemeja sekolahnya. Kudekati mereka, kemudian kusadari gadis itu adalah Elisa, sahabatku.
“Ma-maaf, Don,” cicit Elisa sambil menahan tangis.
“Maaf, maaf pala lo peyang? Lu kira maaf bisa bikin jus mangga gua balik lagi?”
Kuperhatikan sekitar. Yah, ada ceceran air berwarna oranye di lantai di dekat kaki mereka, lengkap dengan gelas plastik dan sedotannya.
“Aku bakal ganti, kok,” Elisa bicara lagi.
“Lu kira gua miskin?”
“Tapi tadi—“
“Lagian liat nih seragam gua yang mahal? Kotor!”
Aku menatap sengit Dona. “Mahal dari mana, babi? Itu seragam yang kita pake semua. Harganya sama! Lagian itu bukan ketumpahan, cuma kecipratan.”
Kini semua orang menatapku dengan pandangan ngeri. Hah, kenapa?
Dan tiba-tiba saja Dona melompat ke arahku, menjambak rambutku sambil menjerit-jerit. Aku ikut menjambak rambutnya pun sambil menjerit-jerit. Elisa menangis semakin kencang karena tak bisa melerai. Anak-anak perempuan mulai mengambil video kami sambil terkikik senang. Anak-anak laki-laki yang kebetulan lewat sekonyong-konyong ribut karena membuat taruhan dadakan. Dan yang terakhir, Pak Damar, guru muda paling ganteng seantero sekolah tapi paling galak sejagat raya muncul.
“Berhenti!” teriaknya.
Anak-anak perempuan menyembunyikan ponsel mereka, laki-laki diam dan pura-pura tidak tahu, tapi Elisa masih tetap menangis karena takut. Sedangkan aku dan Dona tidak berani bergerak.
“Kalian, ikut saya,” titahnya mutlak.
“Mampus.”
--
Singkat cerita, Dona keluar dari ruang BK dengan maskara dan dempul yang luntur, sedangkan aku keluar setelahnya sambil merangkul Elisa yang masih sesegukan sehabis menangis. Semua ini lantaran Pak Damar—orang yang disukai Dona—tahu kebobrokan anak sok cantik itu sekarang.
Sayangnya, masalah tidak berhenti di situ. Suara anak kucing mengganggu pendengaranku. Dan benar saja, ketika melihat ke arah pohon yang tak jauh dari tempat kami berada, kulihat Jeki—kucing kampung yang jadi preman sekitar sini—terjebak di atas sana. Jeki mengeong memanggilku. Tampangnya yang biasanya seperti perempuan pramenstruasi, mendadak seperti bayi.
Aku cemberut, mengenang betapa mengesalkannya Jeki jika bersamaku. Dia—kucing gemuk berbulu abu-abu—itu suka minta makan tapi pura-pura tidak kenal kalau berpapasan. Bahkan, ketika kupanggil kupingnya bergerak saja tidak. Pernah sekali aku ingin mengelusnya, dia meraung dan marah-marah sebelum pergi.
Tapi—oke, Jeki mulai mengeong lagi. Jadi tanpa berpikir dua kali aku melangkah menuju pohon itu, melepas sepatu dan kaus kaki, lalu mulai memanjat. Di tempatnya, Jeki tampak ketakutan. Kedua kakinya memeluk batang pohon kuat-kuat, ditambah dengan kuku-kuku tajam menancap dalam.
“Jeki,” panggilku pelan seraya mengulurkan tangan. “Jeki, ayo sini.”
Tapi Jeki terlalu takut untuk mendekat.
“Jeki.” Dan tidak peduli berapa kali aku memanggilnya, dengan nada halus, keras, atau merajuk, Jeki tetap bertengger. Lalu, kuingat sesuatu. Kuambil sosis yang kusimpan dalam saku kemeja—yang untungnya, tidak jatuh. Barulah Jeki mulai beranjak, dan tepat ketika dia mulai melahap sosis di tanganku, kutangkap ia. Sialnya, Jeki berontak. Asal kalian tahu saja, aku pandai memanjat, tapi tidak pintar terjun payung, apalagi tanpa parasut. Dan, yap, aku jatuh.
Aku berteriak sambil memejam, sampai kurasa seseorang menangkapku—yang tentu saja masih membawa Jeki. Ketika membuka mata perlahan, kulihat wajah pangeran. Dia tampan. Senyumnya menawan. Hatiku tertawan. Sampai dia berkata, “Jelek, gua tahu kok kalo gua cakep.”
Anjiiir!
Dia menurunkanku sambil tersenyum sok ganteng, memberi kedipan mata buaya sebelum pergi. Aku melongo.
“Mau muntah gua, bego!” teriakku padanya. Tapi yang dilakukan orang itu adalah mengirimkan hati melalui kecupan di tangan dan melemparnya. Aku menepisnya kemudian merinding. Segera, kuberlari pergi.
Sebenarnya aku tidak tahu siapa dia, sampai pembukaan acara pemilihan putri sekolah dimulai, dan dia naik ke panggung sebagai ketua OSIS. Sekarang aku mengerti, tidak hanya putri, tapi pangeran pun tidak harus ganteng. Intinya, dia bukan pangeran berkuda putihku, karena dia tidak punya kuda, apalagi yang warnanya putih. Dan sekalipun aku putri baginya, tapi itu tidak akan bisa, karena aku bukan anaknya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro