Jarum dan Benangnya
"Baginda Raja telah di tusuk!" suara teriakan seseorang terdengar.
Aku yang berada tak jauh dari kamar Raja, lantas berlari. Bagaimana mungkin ayahku yang sangat kuat itu ditusuk? Apa karena ini sudah malam, dan dia menjadi lengah? Namun, baru sampai di dekat pintu, kudengar suara pengkhianat tertawa.
Tanpa pikir panjang, aku langsung mengambil pedangku dan berlari ke arah panglima Kerajaan Murai, Chou, saat ia melewati kamar Baginda Raja beberapa saat lalu.
"Bisakah kamu menurunkan benda itu?" tanya Chou sambil melihat pedang yang mengacu ke arahnya.
Tanpa mau menuruti kata-kata Chou, aku langsung menusuk perut sang pria. Namun, respon yang ia miliki terlalu cepat, sehingga dirinya dapat menghindari serangan. Di saat yang sama, Chou lantas mengeluarkan senjata yang sama denganku dari pinggangya.
Chou terus-menerus menahan seranganku tanpa menyerang. Dia malah menggiringku masuk ke dalam kamar Raja.
Apa yang dia rencanakan?
"Tidakkah kau harus memastikan apa benar ayahmu telah tertusuk?" tanya Chou.
Aku yang telah sadar sedang menginjak genangan darah, seketika terdiam. Tak jauh dari tempatku berada, seorang pria paruh baya yang seringkali kusebut pahlawan itu terkapar kaku—telah tiada. Di sampingnya, tampak Raja Klein tengah tertidur pulas dengan pisau berdarah yang masih ia pegang.
Melihat itu membuat amarahku semakin memuncak, bagaimana bisa dia tertidur setelah membunuh seseorang? Namun, belum sempat aku menyerang, para prajurit istana yang berkhianat menarikku ke halaman, diikuti oleh Chou di belakangnya.
Aku yang mengerti, langsung melepaskan genggaman dengan kasar dan menusuk semua orang. Meski mendapat perlawanan, ini bukan apa-apa. Manusia di dalam kamar itu masih harus kubunuh!
Lagi-lagi, setelah mengalahkan semuanya, hadangan baru datang. Chou kini bersiap menyerangku. Aku pun memulai pertarungan dengan mencoba menebas tangan kanan Panglima itu.
Baru saja memulai, Chou berhenti. "Bagaimana jika kau menjawab sebuah pertanyaan ini, bila berhasil, kau boleh masuk dan membunuh Rajaku?" Aku yang sudah lelah bertarung langsung mengangguk.
"Jumlah perhiasan perjanjian, luas tanah yang pernah direbutkan kedua kerajaan, penduduk total kerajaan Murai, dan batas laut bagian timur kerajaanmu?"
"Lima juta keping emas, 3.523 meter, 3.567.890 jiwa, dan tiga tebing raksasa!" aku menjawab semua pertanyaan itu sambil berlari ke arah Chou dan menusuk perutnya dengan pisau yang pernah kusembunyikan. Namun dengan mudah, ia menarik kembali senjataku dan membalas perbuatan yang baru saja kulakukan.
"Sepertinya kau harus membaca lebih banyak buku lagi," ucap Chou pelan, "Buang dia ke hutan Rose!" Chou memberi perintah setelah berhasil menyebarkan racun dari pisaunya, ke tubuhku.
Perlahan, indera penciumanku mulai memburuk, dan mataku tak dapat melihat dengan baik. Semuanya mulai menggelap, meski aku masih bisa mendengar suara dan merasakan sakit saat kereta baru saja melindas sebuah batu.
Aku berada dalam perjalanan menuju hutan Rose, hutan menyeramkan penuh kematian yang selalu diceritakan para penduduk. Tidak ada yang pernah kembali hidup dari sana. Semua orang yang pernah pergi, selalu ditemukan mayatnya di jalan masuk hutan.
Kereta berhenti, menandakan mematianku akan segera datang. Tidak lama kemudian, kurasakan tubuhku melayang sebelum menghantam tanah yang bergetar—para prajurit telah pergi.
Tidak lama setelah itu, kurasakan kehadiran seseorang mulai mendekat sebelum kesadaranku benar-benar hilang.
"Bukan hanya racun, tapi dia menambahkan sihir."
•
Sudah dua tahun lebih terhitung aku tinggal bersama Bibi Sonia—orang yang menyelamatkanku, saat aku berada di ambang kematian akibat racun dan sihir dari Chou.
Dia wanita peracik obat baik hati yang tinggal di menara tinggi dan suka mengoleksi banyak buku. Perkerjaannya menjual ramuan buatannya dan "menukar" kelinci liar yang ada di hutan Rose.
Aku tidak pernah ikut Bibi berdagang karena khawatir akan ada orang yang mengenalku. Namun begitu, hampir semua ramuan yang Bibi jual adalah hasil racikanku, yang tentu saja, belajar dari bibi terlebih dahulu. Aku juga membantu bibi memburu kelincinya.
Tidak sia-sia aku pernah mengikuti pelatihan lari para prajurit.
Selama tinggal di hutan Rose, aku tahu ternyata tempat ini tidak begitu menyeramkan. Bibi Sonia bilang bahwa kebanyakan orang yang tidak selamat adalah karena tertusuk duri beracun yang banyak tumbuh di hutan ini, tetapi obatnya pun tumbuh di sini. Dia juga mengatakan bahwa yang membawa orang-orang tidak selamat ke luar hutan adalah dirinya, sebelum aku datang dan membantu dia mengangkat orang-orang nakal yang memaksa masuk ke dalam hutan.
Selama tinggal di menara ini, aku banyak membaca buku tentang peperangan masa lalu. Aku juga mulai membaca buku-buku rumit untuk bisa "membaca pikiran" seseorang. Bisa dibilang, aku tengah merencanakan pembalasan.
Aku menyimpan teh hangat di atas meja, dan kembali membaca buku. Namun, belum satu kalimat membaca, sebuah suara menginstrupsi.
"Camila, berapa umurmu sekarang?"
Aku langsung menutup bukuku, "sembilan belas."
"Berapa banyak orang yang kamu tolak?" tanya Bibi Sonia kedua kalinya.
Aku terdiam tidak paham.
"Kamu 'kan, cantik," ucap Bibi Sonia.
Ah, aku paham. "Tiga belas … mungkin? Kebanyakan udah tua, Bi. Ada juga yang tampan sih, masih muda, tapi dia tidak pandai bertarung." Hal biasa yang dilakukan para bangsawan—perjodohan.
"Mau bertarung denganku?" tanya Bibi Sonia secara tiba-tiba dengan wajah serius. Ia mengambil tongkat kayu dan memutarkannya dengan lihai.
Aku yang sudah lama tidak berkelahi, merasa tertantang. Aku juga mengambil tongkat kayu dan mengikuti alur yang diinginkan Bibi Sonia. Walau banyak barang yang berjatuhan, kami terus saling menyerang, hingga aku terpojok, kami berhenti.
"Sejak kapan Bibi bisa bertarung?!" tanyaku kaget.
"Sejak kapan, ya? Hehe." Bibi Sonia menjawab sambil menggaruk tengkuknya karena malu.
Selama aku tinggal dengannya, Bibi Sonia tidak pernah memperlihatkan kemampuannya dalam bertarung, bahkan kecepatan pergerakannya pun, aku tidak pernah benar-benar tahu. Satu hal yang pasti, dia dapat mengecohku dengan sikap dan pergerakannya yang dapat berubah tiba-tiba.
"Ajari aku bertarung!" pintaku bersemangat.
"Jika besok kita masih bisa bertemu."
"Maksudnya?" tanyaku yang lagi-lagi tidak memahami perkataan wanita yang telah membantuku selama 26 bulan ini.
"Aku pasti melatihmu, kok. Kamu 'kan, banyak menolongku. Sekarang, mari kita masak makan malam!" ucapnya girang tanpa mempedulikan ruangan yang tampak seperti kapal pecah ini. Padahal biasanya, ia sangat cerewet dengan ruangan yang berantakan.
Setelah makan malam, Bibi Sonia kembali bersikap aneh. Ia menceritakan tentang masa lalunya dengan bahasa yang sulit kupahami. Ia mengatakan tentang matahari dan cahaya langit malam. Lalu pemuda yang selalu menyelinap ke dalam ruang pelatihan. Ada juga pria gagah yang memiliki ribuan kuda dan banyak prajurit yang setia. Pembicaraannya ditutup dengan pertanyaan, "kamu suka pria yang seperti apa?"
"Kenapa Bibi menanyakan hal seperti itu? Tidak biasanya."
Bibi Sonia tersenyum, "Bibi hanya ingin tahu. Jadi, cepat ceritakan."
"Aku tidak pernah memikirkan hal seperti itu. Namun, yang harus ia miliki tentu bisa bertarung dan kecerdasan."
"Bagaimana dengan kemurnian hati?"
"Aku tidak berpikir bahwa orang cerdas akan berjalan dengan sombong. Jika ia benar-benar cerdas, seharusnya dia tahu, bahwa dirinya hanya manusia kecil di hadapan milyaran kalimat yang belum pernah ia temui."
"Jadi?" tanya Bibi Sonia memancingku. Aku tahu jelas dia mengerti apa yang kumaksud.
"Orang cerdas memiliki hati yang baik."
Bibi Sonia kembali tersenyum dan memberikan sebuah jarum jahit, "Jarum itu mempunyai benangnya." Setelah mengatakan itu, ia menyembunyikan wajah di kedua tangannya dan tertidur.
Entah kenapa, aku merasa malam ini begitu panjang.
•
Saat aku membuka mata di pagi hari, bibi Sonia telah pergi. Ia membersihkan semua tempat dan menyimpan piring berisikan dua butir telur mata sapi dengan daging ayam di atas meja.
"Bibi?" tanyaku sembari memanggil. Akan tetapi, tidak ada jawaban.
Makanannya panas, seharusnya bibi masih ada di sekitar. Aku lantas mencarinya di semua ruangan yang ada di menara. Begitu pula di bagian hutan yang selalu ia kunjungi untuk membuat obat.
Dia tidak ada di sini. Tidak biasanya. Dia selalu pergi saat siang hari, tapi kali ini, matahari pun belum menampakan diri sepenuhnya. Apa mungkin dia memiliki urusan mendadak?
Akan tetapi, dia tidak kembali dalam waktu seminggu ini, tanpa memberitahu apapun. Hal terakhir yang dia tinggalkan adalah sepiring makanan dan sebuah sapu tangan bergambar kepala kelinci yang belum selesai dijahit. Apa malam itu dia memberiku pesan untuk menyelesaikan jahitan kepala kelinci ini dengan menggunakan jarum yang ia berikan?
Baiklah. Mari kita menjahit! Meskipun jarum ini tampaknya sangat tajam, tapi benda ini yang ia berikan. Lagipula, tidak ada jarum lain yang dapat ku gunakan.
•
"Permisi, aku diminta ibuku untuk membawa jarumnya yang tertinggal di sini. Apa ada orang?"
Ratusan anak tangga dinaiki oleh seorang pemuda. Ia datang ke menara untuk mencari benda yang ditinggalkan ibunya selama mencari ilmu obat-obatan di sini. Namun, hal tak terduga terjadi. Selain menemukan jarum, pemuda itu juga menemukan seorang gadis cantik yang tengah tertidur, namun ia tahu bahwa gadis itu tengah sekarat sekarang.
Ia lantas mengambil jarumnya saja, eh, dan membawa gadis itu pergi ke kerajaannya untuk di obati, tapi sayangnya, tak ada tabib yang dapat menyembuhkan sang gadis.
"Ibuku bilang, benang untuk sapu tangannya adalah benang milikku," ucap si pemuda sambil menjahit sapu tangan ibunya yang belum selesai di samping Camila.
"Entah kenapa lebih mudah menjahit daripada memerintah seseorang."
"Bukankah memang begitu?" Camila tiba-tiba sadar, membuat pangeran yang sedang menjahit di sampingnya—Valens—terkaget.
"Aku dengar tentangmu dua tahun lalu, dan tentangmu dua tahun setelahnya. Kamu keren." Valens berucap dengan nada sok keren.
"Terima kasih."
"Tadinya kami ingin merebut wilayah kalian, tapi, benang yang menemani jarum berjalan," ucap Valens serius, wajah yang tadinya menjengkelkan seketika berubah dingin.
"Aku paham."
Matahari, Raja, dan penyusup kecil adalah tempat ini.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro