HIGANBANA
Terletak di kepulauan Ryuku, terdapat sebuah kekaisaran Jepang bernama Aomori. Dipimpin oleh seorang Kaisar yang bijaksana, rakyat di sana hidup sangat makmur. Dengan mengandalkan bertani dan bercocok tanam, mereka tak pernah kekurangan pangan apa pun.
Sebagian hasil panen akan mereka jual, untuk membeli kebutuhan lain seperti pakaian, peralatan memasak, hingga perkakas untuk berkebun. Pajak yang ditetapkan kekaisaran pun tidak besar. Para rakyat hanya wajib membayar sekitar lima persen dari hasil panen mereka.
Selain kehidupan rakyatnya yang makmur. Kaisar dan Permaisuri juga dikaruniai seorang putri cantik. Penduduk di sana meyakini bahwa pemimpim mereka telah dianugerahi oleh Sang Dewa. Walaupun sang Permaisuri tidak dapat kembali memberikan keturunan. Kaisar merasa sudah cukup dengan kehadiran putri semata wayang mereka. Bagaimanapun, berkah Dewa harus tetap disyukuri. Kaisar hanya berusaha agar tidak menjadi pemimpin yang tamak.
Hingga waktu tak terasa, sang Putri telah tumbuh dewasa. Tiba saat baginya untuk menempuh bahtera rumah tangga. Kaisar akhirnya mengenalkan sang Putri pada Pangeran dari pulau seberang. Dua keluarga dari kekaisaran masing-masing dipertemukan dalam suasana hikmat. Para rakyat menyambut dengan sukacita, kala pemberitaan tentang pertunangan sang Putri mulai menyebar luas.
Rin—Putri sang Kaisar—ikut terharu kala pertemuan itu berjalan dengan baik. Dia bahkan berusaha menahan pandangannya, agar tak melirik laki-laki gagah di hadapan gadis itu. Diam-diam dia mengulum senyum. Ini adalah pertemuan pertama mereka. Namun, sang Putri merasa sudah jatuh hati pada Pangeran yang diketahui bernama Aoki.
Dalam hati Rin terus merapalkan doa, semoga Dewa memberkahi hubangan mereka.
***
Awal musim panas, pernikahan tidak bisa dilangsungkan. Mereka percaya, akan lebih baik jika melangsungkan pernikahan ketika musim semi tiba. Itu berarti masih ada dua musim lagi yang dilewati. Hubungan Aoki dan Rin semakin mengerat. Tak jarang Putra Mahkota mengunjungi tunangannya. Bahkan para pelayan dan penjaga sampai dibuat iri dengan kedekatan mereka.
“Kausuka menyulam?” Sang Pangeran membuka suara. Tatapannya fokus pada sulaman yang berada di tangan Rin.
Sang Putri mengangguk. “Dengan menyulam atau merangkai bunga saya dapat merasakan ketenangan.”
Aoki mengulum senyum. Dia kemudian mengalihkan pandangan pada aliran sungai di hadapannya. Air jernih begitu menyejukkan mata.
“Aku berharap Dewa memberkahi pernikahan kita.”
Rin menjeda kegiatannya. Kemudian mengalihkan tatapan kepada sang tunangan. Dia mengulum senyum hangat. “Sebagai calon pemimpin dari dua kekaisaran, saya berharap Ouji-sama menjadi Kaisar yang bijaksana.”
Keduanya kini saling memandang. Menatap dalam bola mata pasangan. Kesungguhan menghiasi tatapan mereka.
“Ouji-sama, Hime-sama, maafkan atas kelancangan kami. Hanya saja Ouji-sama harus segera kembali.”
Aoki dan Rin spontan mengerjapkan mata mereka. Sang Pangeran menatap dua pengawalnya—yang tengah ber-ojigi. “Aku terbiasa pulang saat matahari terbenam. Ada apa ini?”
“Terjadi sedikit masalah di wilayah kita. Untuk mencegah terjadi sesuatu kepada Ouji-sama, akan lebih baik jika kita kembali lebih awal.” Salah satu dari dua pengawal itu kembali bersuara.
“Kembalilah. Kita masih bisa bertemu di lain waktu.” Sang Putri ikut bersuara.
Aoki menatap Rin cukup lama. “Besok, aku akan datang lagi.”
Gadis itu mengulum senyum. Kemudian mengangguk. Dia mengantarkan sang tunangan hingga pelataran istana. Ini bukan kali pertama lelaki itu menghilang dari pandangannya, tetapi Rin merasakan sesuatu yang menyesakkan berusaha masuk ke dalam dada. “Wahai Dewa, hamba mohon lindungilah setiap langkah kami.”
***
Hari kian berganti. Musim panas sudah memasuki waktu pertengahan. Rin tengah digeluti rasa khawatir. Janji yang dilontarkan oleh tunangannya kala itu tak kunjung terpenuhi. Hingga kini, mereka belum bersua kembali. Ia kerap mengutus pengawalnya untuk mengunjungi kediaman sang Pangeran. Namun, tak ada yang berani memasuki wilayah itu. Mereka berkata di kekaisaran seberang tengah terjadi konflik antar rakyat. Musim panas kali ini membuat gagal panen di beberapa wilayah. Salah satu wilayah paling buruk terkena dampaknya adalah kediaman sang tunangan. Walaupun berbagai bantuan silih berdatangan, hal itu masih belum cukup meredam kekacauan yang tengah terjadi.
Pikiran buruk mulai menyelimutinya. Kian hari, dadanya semakin sesak. Seperti ada sebuah benda yang menyumbat pernapasannya. Rin bahkan sudah mengalihkan pikirannya—dengan menyulam atau merangkai bunga—tetapi semua sia-sia. Dia semakin dirundung ketakutan.
“Hime, kau belum tidur?” Permaisuri memasuki kamar sang putri. Tampak jelas raut khawatir di wajahnya yang mulai menua.
Rin menoleh. Dia berusaha menetralkan pernapasannya. “Haha-sama, maaf karena saya telah membuat khawatir.” Gadis itu spontan ber-ojigi kepada sang ibunda.
Permaisuri memegang kedua bahu putrinya, agar berdiri tegak. Kemudian membawa Rin untuk duduk di atas futon. Dia mengelus lembut rambut hitam milik Rin yang terurai. “Haha tahu kau begitu mengkhawatirkannya. Percayalah, dia akan baik-baik saja. Kau hanya perlu bersabar menunggunya.”
Rin memejamkan matanya. Menikmati setiap elusan lembut dari sang ibunda. Rasa sesak di dadanya mulai berangsur membaik.
Perlahan Permaisuri membaringkan tubuh mungil putrinya. Dia pun ikut berbaring di sebelah Rin. Dengan begitu lembut ia mengusap bahu sang putri. “Istirahatlah. Kau harus percaya kepada Dewa, semua akan baik-baik saja. Dewa sudah meberkahi kalian.”
Rin kemudian menutup mata, berusaha menghilangkan rasa khawatir dan sesak yang menyelimuti. Dia berharap Dewa mengizinkannya bertemu dengan sang tunangan, walau hanya melalui mimpi.
Pagi menjelang. Rin merasakan dadanya kembali sesak. Sekujur tubuh gadis itu terasa panas. Dia bahkan tak mampu mendudukkan diri. Pelayan yang hendak membangunkannya seketika dibuat panik. Pelayang itu meminta bantuan untuk dipanggilkan tabib istana.
Permaisuri dan Kaisar memasuki kamar putri mereka denga raut khawatir. Bersamaan dengan itu, tabib istana menyusul di belakang mereka.
Dengan sigap tabib tersebut memeriksa keadaan sang Putri. “Ini aneh, Hime-sama hanya terkena demam biasa.” Dia menatap Kaisar dan Permaisuri secara bergantian.
Permaisuri mendekati putrinya. “Hime, katakana sesuatu. Bagian mana yang sakit?” Dia memegang lembut telapak tangan Rin—yang terasa panas.
Gadis itu menggeleng lemah. Tenggorokannya tercekat. Dia tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun.
“Ouritsu ishi, periksalah sekali lagi. Pasti ada kesalahan. Kaulihat, putri kami bahkan tak dapat berbicara.” Kaisar memberikan tatapan memohon kepada tabib tersebut. Dia rela harga dirinya jatuh, asal putri mereka kembari sehat seperti sedia kala.
“Saya akan membuatkan obat herbal. Selebihnya, kita serahkan segalanya kepada Dewa.” Tabib tersebut memohon undur diri dari hadapan mereka.
Rin membalas lemah genggaman tangan sang ibunda. Rasa panas di sekujur tubuhnya membuat gadis itu kehilangan tenaga. Dadanya pun kian sesak. Dia merasa tengah diawasi oleh Dewa Kematian. “Wahai Dewa, apakah ini akhirnya?” Gadis itu bergumam dalam hati. “Hamba mohon, berikan satu kesempatan agar dapat melihatnya.”
Permaisuri mengelus pelan dahi putrinya. Pangkal rambut Rin begitu basah oleh keringat. Kaisar hanya mampu menatap sendu. Dia bahkan tidak tahu harus melakukan apa. Dalam hati dia terus merapalkan doa kepada Dewa. Memohon diberikan jalan terbaik demi kesembuhan sang putri.
***
Musim panas segera berakhir. Belum ada tanda-tanda sang putri Kaisar akan kembali sembuh. Gadis itu masih setia terbaring di atas futon. Wajahnya begitu tirus, dengan badan yang semakin mengecil. “Wahai Dewa, bila Engkau tak berkenan atas kesembuhanku, tolong ambil nyawa ini sesegera mungkin. Hamba sudah tidak bisa menahan rasa sesak dan panas ini.”
“Hime ….”
Panggilan seseorang mengalihakn tatapan gadis itu. Kendati hanya bola matanya yang bergerak. Air mata Rin menetes kala melihat sosok yang kini terduduk di sampingnya.
“Maaf. Maaf karena aku baru bisa menepati janji. Karena kekacauan yang terjadi beberapa waktu ini. Aku ditugaskan bertapa oleh Outo-sama, untuk meminta bantuan Dewa.”
Wajah lelaki itu mulai berkaca-kaca.
Rin ikut menatap haru. Tak lama kemudian rasa sesak kembali menyerangnya. Kali ini lebih menyekitkan. Napas gadis itu mulai terputus-putus.
Aoki menatap khawatir. Dia beberapa kali berteriak meminta bantuan. Lelaki itu memeluk erat tubuh kurus kekasihnya. Seketika dia membatu kala mendengar bisikan, “Aku mencintaimu.” Kata itu terucap lirih dari mulut Rin. Hingga dia kembali dibuat terdiam, kala tak dapat merasakan deru napas dari sang tunangan.
Permaisuri menjerit kala melihat putrinya sudah terbujur kaku. Kaisar membatu di tempatnya. Tatapan pria itu kosong. Dia masih tak percaya Dewa memberikan jalan keluar seperti ini.
Aoki bangkit dari duduknya. Dengan gontai dia melangkah menuju tepi sungai. Tempat biasa dia menghabiskan waktu bersama kekasihnya. Dia menatap kosong aliran sungai yang sedikit mengering. Tatapannya kemudian menghadap langit yang mulai diselimuti awan hitam. “Wahai Dewa, ambillah tubuhku. Jika itu mampu mempertemukanku dengannya kembali.”
Sebuah cahaya dari langit melingkupi tubuhnya. Perlahan lelaki itu menghilang ditelan cahaya. Bersamaan dengan itu, hujan deras turun membasahi bumi. Para rakyat yang dilanda kekeringan menyambut dengan sukacita.
Pun dengan tubuh sang putri yang ikut menghilang ditelan cahaya. Permaisuri, Kaisar, beserta orang-orang di sana menatap tak percaya. Cahaya tersebut memenuhi pekarangan istana. Seiring dengan derasnya hujan yang turun. Beberapa bunga mulai tumbuh memenuhi halaman istana. Bunga itu berwarna merah darah, dengan kuncup berbentuk seperti kaki laba-laba.
“Higanbana.” Kaisar berujar dengan tatapan terpaku pada pemandangan di hadapannya. “Itu adalah bunga lambang kematian.”
Permaisuri memeluk erat tubuh suaminya. Mereka telah merelakan sang putri kembali ke sisi Dewa. Tangis pedih masih melingkupi mereka. Namun, mereka tidak mampu melawan garis takdir.
***
Dipenghujung musim panas, bunga higanbana akan tumbuh diiringi hujan badai. Hingga kini, rakyat percaya, pada saat itu pula Pangeran Aoki dan Putri Rin dipertemukan oleh Dewa.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro