Bramacorah
Halilintar berkilat bagai cemeti yang membelah bumantara, menyibak mega-mega tanah Mayapada malam itu. Suara tangis bayi merah yang baru menjejakkan kakinya di marcapada tak kalah nyaring dengan gemuruh halilintar yang menghiasi bumantara. “Aku memberinya nama Dyah Adnyana Harimurti!”seru pria yang tengah menggendong bayi cantik itu, penuh rasa bangga. Adnyana adalah putri yang telah dinantikan Prabu Harimurti dan Ratu Kalandara selama puluhan tahun.
“Putri kita sangat cantik ya, Kanda?” ucap sang permaisuri yang masih tergolek lemah di atas ranjang. Tangannya meraih surai sang putri yang hitam legam, lebat berkilauan, sangat cantik. Adnyana adalah hadiah terindah dari Sang Hyang Widi di usianya yang mulai senja. Kalandara dan Harimurti tak lagi muda, setelah hampir dua puluh tahun pernikahan mereka baru diberikan kesempatan memiliki keterunan. Itu pun mereka peroleh melalui pertapaan yang cukup panjang.
“Adnyana akan menjadi ratu termahsyur di seluruh penjuru Mayapada, Adinda. Lihatlah! Seluruh kebajikan terpancar di wajah mungilnya. Dia bukan hanya putri kita, dia Mahadewi yang dititipkan Sang Hyang Widi pada kita melalui Kalpataru,” ucap sang raja penuh kagum melihat sosok putrinya.
Semenjak hari itu Istana Mayapada semakin berwarna dan riuh dengan hiruk pikuk kesibukan para dayang dan prajurit yang mengabdi pada tuan putri kecil mereka yang penuh pesona. Hingga tanpa terasa beberapa dasawarsa berlalu begitu saja. Sahih memang apa yang dituturkan para pujangga dalam syair-syairnya, bila mana masa akan berlalu begitu saja ketika sukma sarat akan bahagia.
Adnyana tumbuh menjadi gadis yang rupawan nan menawan, tak ada sedikit pun cacat atau cela yang terlihat pada dirinya. Adnyana sosok periang yang selalu dipuja setiap mata yang memandangnya. “Ampun Ndoro Putri,” ucap seorang dayang yang tanpa sengaja menabrak tubuh Adnyana dan menumpahkan segelas susu di baju sutra sang putri. Adnyana tersenyum memandangi bajunya yang kini basah, kemudian menatap lekat ke arah dayang yang tanpa sengaja mengotori bajunya. Tak lama, ia tersenyum simpul sembari berucap “Tak apa. Siapa namamu? Biar aku ingat-ingat.”
“Sri, Ndoro,” jawab dayang itu, takut-takut. Adnyana berlalu masih dengan senyum yang merekah kea rah Sri yang justru menunduk. Adnyana dikenal sebagai putri yang lembut dan baik hati, sehingga tak ada satu pun dayang atau prajurit yang berani melakukan kesalahan karena takut membuat sang putri kecewa.
Gelitanya buntara menelan sang bagaskara di ufuk barat marcapada. Tanah Mayapada malam itu diselimuti halimun akibat guyuran hujan sejak senja. Tak ada yang aneh atau mencurigakan malam itu, tapi entah mengapa hewan-hewan di sekitar istana terlihat gelisah seolah hal besar akan terjadi.
“Sri, kamu disuruh Ndoro Ayu mengantar wedhang dan makanan ini ke pos jaga!” Sri yang sedari tadi duduk melamun sontak berdiri mendengar ada perintah dari sang putri. Tanpa banyak bicara Sri segera meraih nampan yang berisi wedhang dan kudapan yang hendak ia antarkan ke pos penjaga. Sudah larut malam, tidak biasanya Ndoro Putri memberi perintah tengah malam begini, batinnya. Sepeninggalan rekannya, Sri bergegas mengantar nampan tersebut. Ia berjalan dengan langkah tergesa-gesa karena merasa ada sosok yang mengintainya.
“Aaa ….” Teriakan nyaring itu terdengar menggelegar, memecah heningnya malam hingga menyadarkan seluruh penghuni istana yang sudah terlelap dalam tidurnya.
“Ono opo? Ono opo?” Riuh suara penghuni istana yang menanyakan apa yang sebenarnya terjadi.
“Sri. Itu kalian lihat Sri di halaman istana!” seru seorang dayang yang tadi berteriak. Para dayang dan prajurit bergegas menuju halaman istana untuk melihat apa yang terjadi dengan Sri. Alangkah kagetnya mereka melihat tubuh Sri yang sudah tak berdaya bersimbah darah di pelataran istana. Siapa gerangan yang tega menghabisi nyawa rekan mereka? Begitulah kiranya arti tatapan setiap pasang mata yang menyaksikan potongan tubuh Sri.
Durjana. Satu kata itu sanggup merepresentasikan si biadab yang tega memisahkan kepala dari lehernya, lengan dari bahunya, kaki dari pangkal pahanya, dan jari jemari dari tangannya. Dengan sigap, para prajurit menyatukan setiap keping tubuh dayang itu. “Ada apa rebut-ribut?” Suara sang putri menginterupsi mereka.
“Ampun, Ndoro. Keributan kami mengganggu istirahat Ndoro Ayu. Kami tidak sengaja menemukan tubuh Dayang Sri di pelataran istana,” ucap salah seorang dayang sembari memberi akses bagi sang putri untuk melihat kondisi Sri.
“Astaga!!” Sang putri membekap mulutnya, tak kuasa memandang tubuh dayang setianya begitu mengenaskan. Ia segera berjongkok membantu para prajurit mengumpulkan bagian tubuh Sri yang masih berserakan. “Bramacorah! Siapa laknat yang tega menghabisi dayang kesayanganku?”
“Mohon ampun, Ndoro. Kami pun tidak tahu siapa bramacorah di istana ini,” ucap salah seorang prajurit.
“Segera kita kremasi jasadnya. Ini semua salahku, tak seharusnya aku memerintahkan Sri keluar istana saat larut begini.” Adnyana memalingkan wajahnya, membuat seluruh dayang dan prajurit takzim akan empatinya yang luar biasa.
“Bukan, Ndoro. Ini bukan salah Ndoro Ayu. Kami yang lalai,” ucap salah seorang prajurit.
“Aku minta, sebelum Rama Prabu dan Ibu Ratu kembali esok pagi, jasad Sri harus dikremasi. Jangan ada yang membicarakan masalah ini lagi!” ucap sang putri dengan tegas.
“Sendika dawuh, Ndoro,” jawab mereka, serempak.
Baskara terbangun di ufuk timur, kokok ayam bersautan menandakan hari sudah pagi. Pagi ini sebelum raja dan ratu kembali ke istana, tubuh Sri akan dikremasi. Namun, ada bagian tubuhnya yang belum ditemukan sampai detik ini. “Ampun, Ndoro. Kami sudah mencarinya, namun kami tak bisa menemukan kedua bola matanya,” ucap salah seorang dayang yang menemui Adnyana di balainya.
“Lanjutkan kremasinya!” perintah Adnyana tanpa menoleh ke arah dayang itu. Dayang itu terlihat ragu dan hendak menyangkal perintah, meminta tambahan waktu hingga bola mata rekannya dapat ditemukan. Saat hendak berbalik pergi, tanpa sengaja dayang itu menjatuhkan kotak coklat yang tadinya berada di sebelah Adnyana.
Dayang itu terkejut melihat apa yang dicarinya berada di dalam kotak itu. Lebih mengejutkan lagi, ada jari bercincin yang hilang dari jasad salah seorang prajurit yang tewas pekan lalu, bahkan ada sepasang daun telinga dan bibir dalam kotak itu. Dayang itu perlahan mundur, tak berani menatap Adnyana yang sedari tadi tersenyum ke arahnya. Senyum manis yang biasa membuatnya takzim, kini membuatnya bergidik ngeri setengah mati.
“Ah …, kamu sudah mengetahui koleksiku rupanya. Harus ada yang kamu berikan sebagai bayaran karena telah lancang melihat apa yang tak seharusnya kamu lihat,” ucap Adnyana. Matanya berkilat, senyum yang tadinya merekah kini telah musnah. Sang putri yang selama ini terlihat begitu baik ternyata menyimpan misteri yang begitu besar, dialah sang bramacorah yang selama ini dicari seluruh penjuru negeri.
Sejak belia Adnyana memang sosok sempurna, ia terbiasa dengan kesempurnaan. Adnyana tak pernah menyukai kesalahan. Baginya sesuatu yang salah harus disingkirkan, karena kesempatan dan perbaikan bukan sifat kesempurnaan. Ia menerjang sang dayang yang telah tersudut di pojok ruangan, mencabik tubuh mungil dayang itu dengan sebilah belati hingga darah segar membanjiri ruang kamar. Bau anyir darah segar yang selalu membuat Adnyana merasakan aroma kemenangan, satu lagi ketidaksempurnaan telah dia singkirkan. Tak ada yang boleh tahu bahwa ada iblis dalam dirinya, seluruh negeri hanya perlu tahu bahwa sang putri adalah wanita paling anggun dan paling baik yang pernah mereka kenal.
Adnyana begitu asik menguliti tubuh yang sudah tidak lagi berdaya hingga ia tak sadar ada sepasang mata yang menyaksikan aksi bringasnya. Tanpa ada rasa bersalah dalam sanubarinya, Adnyana memotong tubuh si dayang dan memasukkannya dalam tempat sampah, tak lupa ia menyimpan bagian dari tubuh si dayang yang dianggapnya bersalah. “Tangan dan matamu telah lancang mengetahui yang tidak semestinya kamu tahu,” ucap Adnyana disertai seringaian sembari memasukkan sebelah tangan dan bola mata si dayang ke dalam kotak cendananya.
Sang putri tersenyum penuh kemenangan, menjadi bramacorah membuatnya merasa begitu sempurna dan menang. Tak ada yang tahu, taka da yang menolak pesona Adnyana bahkan Raja dan Ratu sendiri. Adnyana, Sang Putri Mayapada seorang bramacorah.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro