Long Journey to the Stars
Cahaya matahari menerobos melewati vitrase transparan warna putih, menerpa tempat tidur putih dengan selimut krem yang dirapikan Maia. Meraih Teddy Bear dari clientnya ia tersenyum ke arah kamera.
"Buat yang ingin membeli barang ini, udah ada di akun shopee aku yah, beneran ini efektif banget buat nyedot debu, dan ini, teddy bear ini juga ada di akun shopee aku, lucu banget kan?
Suara hembusan nafas yang lembut terdengar saat akhirnya proses shooting berakhir dan Maia menekan tombol post.
"Okay! Selesai!"
Mengingsut ke laptop, Maia membuka g-sheet permintaan endorse untuk check list pekerjaan. Revenue disitu seharusnya 50 juta tapi di online bank tidak ada. Jemari cantiknya cekatan mengirimkan email pelunasan bayaran.
"Nah, beres."
Ketuk di pintu membuatnya kecut, tapi tak urung, dibukannya juga.
"Mau kemana?" Ibunya masuk dan mengambil setrika.
"Pekerjaan bu" Jawab Maia sekilas, mengambil deodoran dan menyemprotkannya.
"Cafe lagi?"
"Iya bu"
"Maunya ibu kamu punya pekerjaan yang jelas. Yang pergi ke kantor, yang ada titel. Kalau yang ini, enggak kerja, ya nggak ada uang. Coba kalau PNS, kan bolos atau sakit juga dapat uang"
Ibunya melipat baju baju teronggok di luar kamar dan membereskannya.
"Ibu malu kalau ditanya anak ibu kerja dimana."
"Iya bu." Maia mengangguk, lalu mengambil handphone. "Berangkat dulu bu"
Diciumnya tangan ibunya, setengah berlari menuruni tangga ke lantai dasar. Dekat garasi, didengarnya pembantu tetangganya berbisik keras.
"Puluhan juta dari Instagram mustahil kalo gak tidur sama pejabat! "
Badannya gemetar, mau rasanya dia tampar orang itu tetapi akhirnya dia hanya membanting pintu mobil keras-keras. Meskipun sulit, akhirnya bisa juga dia meluncur di jalanan, berteriak dalam mobil.
"BANGSAAAAAAAAAAAAT!!!!!GOSIP AJA LO TERUS GOSIP! MAKAN TU GOSIP!"
Tiba lebih awal di Cafe, Maia mendatangi pemilik cafe untuk konfirmasi kehadiran. Kebetulan photographernya datang lebih awal jadi mereka bisa langsung mulai.
"Liat kesini.. yakk, okay.." CEKREK. "Tangannya tolong dibuat lebih aestetik, yah.. betul seperti itu, jemari tolong dibuka sedikit"
"Okay terimakasih banyak ya Maia, silakan dinikmati hidangannya, nanti tolong dicek aja BCAnya yah"
Dua jam berlalu sudah. Maia mengangguk, berterimakasih lalu menyelusuri sudut cafe, menemukan tempat menyendiri. Jemarinya menyelurusi menu hingga akhirnya memilih semacam simple Korean barbeque dan matcha green tea. Ketika gadis cantik itu sedang sibuk bergaya dan membuat beberapa selfie, sebuah tepukan keras di bahunya membuatnya terlompat.
"Maia?"
"Eh? Poppy?!" Maia langsung menarik Poppy untuk cipika cipiki. "Udah mesen belum?"
"Udah Mai, ini sedang jalan pulang. Kemarin ketemu mamah katanya masih serumah yah? Kamu kok nggak kerja ya? Atuh kasian Mamah Mai, udah ngebiayain sekolah..."
Katanya mencerocos.
Maia bergerak jengah, tertawa sambil menggeleng.
"Enggak kok, aku sekarang lagi kerja ini"
"Disini??"
Maia tertawa kebingungan. "Ya disini? Kerja di Cafe? Foto-foto."
Poppy tertawa keras. "Oh iya ya, di cafe. Aku juga kerja looh, di taman lalu lintas. Bisa aja kamu. Tapi Mai, yang bener dong. Kan sayang, cantik, pinter, nggak ada yang mau, gak jadi apa apa. Tapi sudah yah, itu udah ditungguin, dadahh"
Mengantar Poppy yang berlari ke arah ojek online, ia melambai dengan penuh semangat, meninggalkan Maia yang tersenyum palsu dengan hati remuk redam.
Kakinya gemetar ketika Maia berjalan ke mejanya, dan duduk.
Dia sama sekali tidak memberiku kesempatan menjawab...
Tangannya bermain dengan daging iris, tak kuasa memakannya.
Apa aku salah memilih profesi ini?
Pikirannya melayang ke jajaran cowok yang tiap malam melayangkan DM penuh cinta.
Apa cowok-cowok hanya melihat aku sebagai gadis gampangan?
Maia menarik nafas dan sebuah isak lepas, bersama dengan sebutir air mata yang cepat cepat dihapusnya.
Aku kuat, .... Aku bisa. Aku bisa.
Bersandar ke bantal besar halus yang memeluk dan menghiburnya dalam kesendirian, ia membiarkan dirinya hanyut sesaat dalam isak tertahan sambil menahan airmatanya.
Aku perlu solusi, bukan cuma sekedar mental fortitude. Kerjaan aku halal, menghasilkan banyak uang, apa lagi sih yang salah?
Mengapa jadi PNS yang ongkang-ongkang tapi dapat uang itu lebih membanggakan?
Beban berat masih terasa mengganjal di dadanya.
Gua udah bener. Gue kudu pede aja. PEDE, AYO MAIA KAMU BISA!
Aku harus pindah , lingkungan rumah udah gak kondusif buat mentalh health gua.
"Salah apa itu daging? Udah gak usah dibunuh dua kali."
Kata-kata seorang lelaki membuat perempuan berusia duapuluh dua tahun itu terlonjak kaget, sebelum mengusap matanya. Si lelaki duduk didepannya,bertutur meremehkan.
"Idih nangis. Beuh, entar curhat lagi lo"
"Anjir, gua juga manusia!" Tapi dia tertawa, sayang, tawanya penuh isak, dan air matanya membanjir kali ini, tanpa permisi.
Mengabaikan airmatanya, Adri langsung menyomot daging tanpa permisi dan mengunyahnya.
"Si Mamah yah?"
"Ah shut up"
"Lo kudu pindah. Bisa sakit jiwa."
"Masih banyak yang belom ngerti kerjaan gua" Katanya pedih. "Dikira ngepet lah, jual body lah"
"Jual body lu ke gua aja." Adri mengulurkan tissue.
"Najis" Maia mengambilnya dan mengusap air mata, tertawa. "Gua gak mau jual bodi!"
"Dibayar dengan seperangkat alat sholat, kontan."
Maia mencibir. Adri terbahak.
"Okay, fine, baiklah."
"Emang gua suka ama lo?"
"Buktinya lo nangis terharu... the cold Maia gitu"
Maia terbahak.
"Gue malas jadian sama cowok cold macam elo, gue sedih lo gak ngehibur, dasar brengsek" Air matanya tumpah lagi.
"Apa gue segitu... enggak berharganya? Apa pekerjaan gue itu salah?"
Tersedu kali ini akan tetapi suaranya tertahan, nafasnya tersentak ketika dirasanya badannya terjatuh, terbungkus dalam rangkulan Adri. Rasa hati ingin pergi, tetapi tangan kuat lelaki itu menekankan kepalanya ke dada bidangnya, dan tetiba semua terasa damai, menyerah, menutup mata dan membiarkan Adri menyisir rambut hitamnya diantara jemarinya.
"Lo terlalu berharga bangsat" Suara Adrian begitu lembut. "Gua takut mau meluk."
"Tapi semua orang bilang gue..."
"Semua orang siapa? Masih banyak ratusan, bahkan jutaan orang yang percaya sama lo."
"Gue lelah." Air matanya tumpah lagi. "Kayaknya yang penting pindah dari tempat yang toxic deh"
"Pindah itu solusi baik Mai."
Adri menarik nafas panjang. "Kadang, gue merasa lo sangat butuh pelukan kalo lagi ketemu, tapi gua mawas diri, soalnya kadang pengen dibikin penyet." Maia terkekeh.
Adrian menggumam "Anjir, bangsat, perasaan ini ... bangsat banget, lo ngasih harapan sama gua, aduh tolong."
"Ah shut up" Maia tertawa.
"Jadi Pacar gua ya?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro