hanya Sejenak (2)
Bianka membuka mulutnya, Haechan memasukan sesuap bubur.
"Aduh aku jelek banget," ucap Bianka malu.
"Idih apasih, dari dulu juga udah jelek," ejek Haechan membuat Bianka merengut kesal.
"Haechan, kamu balik kapan?" tanya Ibu, Haechan tersenyum, "jam 7 bu, aku balik ke Singapur dulu baru lanjut ke Korea,"
Ibu tersenyum, "jangan lupa bawa kripik kentang ini, bundamu pasti suka, ini juga buat kamu, kornet, ada tiga, simpen aja, di korea pasti mahal, sama ada semangka juga.."
Haechan tertawa ganteng.
"Makasih bu, jadi ngerepotin.."
"Salam buat bunda kamu, dia jarang ke sini tapi selalu nanyain keadaan Bianka.."
Bianka mengerutkan dahinya.
Ia tidak tahu kalau bunda sekhawatir itu dengan dirinya.
"Kamu bisa tau kamarku dan aku dirawat dimana dari siapa?"
Haechan terlihat berpikir, "rahasia?"
Bianka memukul pundak Haechan, "nyebelinnya nggak berubah!"
•••
"
Eh, ada nak Lisa sama nak Arkan!"
Haechan dengan cepat menaikan kembali maskernya, ia berdiri dari tempat duduknya.
Badannya yang cukup jangkung menjadi perhatian Lisa dan Arkan yang baru datang menjenguk Bianka.
"Ini tante ada buah, kita mampir sebentar aja, soalnya Arkan ada urusan di rumah sakit sebelah,"
Ibu mengangguk, Bianka melambaikan tangannya.
"Hihih kayak tikus!" Arkan menunjuk Bianka, membuat Bianka tertawa kecil.
Sedangkan Haechan masih setia berdiri disamping kanan Bianka.
"Oh, ada temen ya? Maaf ganggu.." Lisa merasa tidak enak, Haechan menggeleng dan membungkuk.
"Ini namanya Gilang, hehe," Bianka menunjuk Haechan.
"Udah enakan?" tanya Arkan, Bianka mengangguk.
Haechan memperhatikan Arkan.
Badannya tinggi, tegap dan terlihat tegas.
"Ini gue bawain puyo, hehe, rasa leci, kesukaan!"
Haechan rasanya ingin mengumpat.
"Makasih!" Bianka mengambil kumpulan puding itu dan menaruhnya diatas pangkuan.
"Maaf tante cuman bisa sebentar, saya ada ketemuan sama dosen di Rumah Sakit sebelah,"
Ibu mengangguk, "nggak papa, makasih udah jenguk,"
Lisa menggenggam tangan Bianka, "gws beb,"
Bianka mengangguk.
"Kami duluan—" Lisa melihat kearah Haechan, Haechan dengan cepat mengulurkan tangannya untuk menjabat tanya Lisa dan Arkan.
Lisa melirik gelang Haechan.
"Wow, itu gelang mahal," bisiknya tidak tahu malu.
Arkan langsung menutup mulut Lisa.
Bianka tertawa.
"Maaf anak ini suka nggak tahu malu,"
Lisa tersenyum garing.
"Ah, nggak kok, nggak mahal,"
Bohong, padahal itu seharga 150 dolar.
Haechan membelinya untuk membantu anak-anak yang kesusahan.
"Iya gelangnya bagus," Bianka memegang pergelangan tangan Haechan.
Arkan yang tadi tengah menertawakan Lisa mendadak terdiam.
"Udah nih daripada telat, kita balik dulu ya Bianka! Gilang! Tante!"
•••
Bianka masih sibuk memperhatikan gelang Haechan yang tanganbya kini ada diatas pangkuan Bianka.
"Kamu beli mahal?"
Haechan mendongak, "enggak kok, 150 dolar aja,"
Bianka menoyor kepala Haechan, membuat pria muda itu kesakitan.
"Enak aja itu mulut, 150 dolar itu mahal Hyuck!"
Haechan menyengir.
Ia memperhatikan tangannya yang kini digenggam-genggam oleh Bianka.
Ia perlahan menautkan jari-jemarinya dengan milik gadis itu.
Sempurna, batin Haechan.
"Dulu tanganku sama besarnya sama kamu. Sekarang tanganku kecil banget," Bianka tertawa.
"Eh, ini pudingnya! Kamu mau makan sama aku?"
Haechan memandang Bianka lamat-lamat.
Ia baru saja melihat jam tangan rolex miliknya.
4 jam lagi, dan dia harus pulang.
"4 jam lagi, kasih aku waktu 4 jam lagi, aku harus pulang,"
Ibu melihat dua anak muda yang kini tengah saling bertatap itu, ia tersenyum kecil.
Sepertinya do'a ibu dan ibunda akan segera terkabul.
"Ibu ke atm dulu," Ibu beranjak dan tersenyum sebelum akhirnha menghilang dibalik pintu.
Bianka yang tadi tengah memandang ibunya keluar ruangan kini kembali memandang Haechan.
"Aku tahu, 4 jam, kasih aku waktu 4 jam untuk bercerita," Bianka memandang lamat-lamat Haechan.
Haechan menghela napas, ia lalu melepas gelang yang tengah ia pakai itu.
"Mungkin aku baru bisa ke Indonesia taun depan, atau entah kapan. Aku akan ada projek dengan Dream tahun ini, dan aku tidak tahu apakah aku akan bekerja lebih keras lagi tapi kayaknya perusahaan minta aku seperti itu,"
Haechan mengalungkan gelang yang baru ia lepas ke pergelangan tangan Bianka.
"Hadiah,"
"Haechan airpod kemarin udah cukup—"
"Airpod itu sekedar barang, ini lebih dari itu," bisik Haechan, ia lalu tersenyum lembut.
Bianka tiba-tiba menggerakan tangannya untuk mengelus surai coklat Haechan, sedangkan Haechan seakan menikmati itu.
Perlahan Bianka menangis.
Air matanya jatuh.
Untuk pertama kalinya dalam setahun.
Pembatas hatinya runtuh.
Diluluhlantakkan oleh kehadiran seorang teman lamanya.
Yang sepertinya bukan lagi menyandang status itu kini dihatinya.
"Jangan pernah berubah.." bisik Bianka diantara isak tangisnya, telapaknya kini berada di pipi Haechan.
"Nggak, nggak akan.." bisik Haechan balik, ia mengusap air mata Bianka yang akhirnya runtuh.
•••
"Kamu nggak papa bawa ginian?"
Haechan mengangguk, "nggak papa, nanti aku beli tas kertas aja di bandara, aku nggak mau ini ketinggalan, susah cari di Korea tahu!"
Bianka teetawa, ia menghela napas.
"Jangan lupa dipakai jaketnya. Jangan sakit, nanti nggak ada yang suapin,"
Haechan mendelik, lalu kemudian terkekeh.
"Tolong panggil suster, aku pengen ikut anter kamu kebawah.."
•••
Haechan memasukan tas serta bawaan yang diberikan oleh ibu.
Bianka memandang punggung pria itu dari belakang, dirinya kini berada di kursi roda.
"Makan yang banyak," Bianka memukul lengan Haechan yang kini keras akibat work out.
"Kamu juga, jangan diet,"
Bianka terbahak.
"Aku duluan bu," Haechan memeluk ibu, yang dibalas oleh ibu dengan pelukan hangat dan tepukan dipunggung.
"Aku pergi dulu," Haechan mengelus kepala Bianka dan berjalan menuju taksi bandara yang ia pesan.
Dari dalam mobil ia melambaikan tangan.
Tanpa Haechan ketahui ia meninggalkan separuh hatinya disana.
Pada seorang gadis yang kini melambaikan tangan balik, bersamaan dengan gelang yang beradu dengan angin.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro