Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Faith on Fate

Bianka membungkuk saat manager memasuki salah satu ruangan dimana ia dan Haechan berada.

"Aku tidak akan lama disini," Manager duduk didepan kedua orang yang kini duduk bersebelahan itu.

"Akhir-akhir ini sedang banyak kerjaan," manager tertawa kecil, "tapi sepertinya yang satu ini harus segera diselesaikan," ia lalu memandang Haechan dan Bianka.

"Kalian ini sebenarnya ada apa?"

Bianka masih terdiam, Haechan seperti memikirkan apa yang harus ia katakan.

'Demi Tuhan aku akan menghajarmu kalau kau membuat kak Bianka menangis keluar dari ruangan itu,'

Suara Jeno menggema didalam kepala Haechan.

"Bang, kamu tahu kan aku dan Bianka hanya teman saja?"

Bianka mengerjapkan matanya, pandangannya kedepan mendadak kosong.

"Beberapa kali ini memang kami sempat terlihat bersama, tapi abang tahu kan kalau itu karena kami adalah teman?"

Pikiran Bianka mendadak kosong, ia menoleh menatap Haechan yang kini tengah memandang managernya.











"Kita hanya teman, tidak lebih," 









Suara Haechan seakan terdengar hilang timbul ditelinga Bianka.







"Bagaimana?"









Bianka mengerjapkan matanya kembali, ia memutar kepalanya kembali memandang sang manager.

"Ah?"

"Bagaimana menurut kamu? Haechan bilang kalian hanya teman," manager memandang Bianka. Sedangkan Bianka hanya bisa memandang sang manager dengan tatapan kosong.

Apa yang harus ia lakukan?

Mengapa menjadi seperti ini?

"Ah.. ya, kami hanya teman," Bianka tersenyum sendu, menunduk dan memandang kedua kakinya yang kini terapit rapat. 



Gadis itulalu kembali mendongakkan kepalanya, dan tersenyum lembut meyakinkan.









"Kami hanya teman, tidak lebih,"











Sepertinya itu jawaban yang cukup, karena sekarang sang manager sudah  bangkit dari duduknya. "Baiklah, terimakasih sudah datang, aku tunggu di ruang latihan,"

Pintu tertutup.

Bianka masih terdiam, namun perlahan ia menoleh kearah Haechan.

"Bi.." Haechan memandang Bianka, "kamu mau dengerin aku dulu kan?"

Bianka tersenyum, lalu mengangguk. "Aku dengerin.."

"Kamu tahu kan kita nggak bisa menjadi apa yang orang lain diluar sana lakukan? Bersama?"

Kenyataan menampar Bianka dengan keras. Ia memandang Haechan dengan tatapan bertanya.

"Tapi maksudku bukan itu Bi," Haechan seketika paham bahwa ia sepertinya salah memlilih kalimat.

"Nggak, kamu, kamu bener,"

Kali ini kenyataan yang menampar Haechan.

"Kita nggak bisa kayak gini, Haechan,"

Haechan memandang Bianka dengan tatapan terluka.



Gadis itu memanggilnya dengan sebutan Haechan. 



Gadisnya. Memanggilnya dengan sebutan Haechan.



Nama panggungnya.

Bukan Hyuck.

Bukan Donghyuck.



"Bi-"



"Kamu bener, Haechan, kita nggak bisa kayak gini," Bianka tersenyum kecil, ia mengelus pundak Haechan, "risiko harus diambil bukan? Ini risikonya, dan aku harus mengambilnya," ia mengelus pipi Haechan perlahan, memandang Haechan dengan mata sayunya. 

"Maksudku bukan gitu Bi, kita bisa cari jalan lain kan?" Haechan mulai panik, ia membawa kedua tangan Bianka yang berada di pipinya kedalam genggaman tangannya. Hatinya mencelos saat Bianka perlahan melepaskan genggaman tangan pria itu.

"Kamu harus latihan kan? Latihan dulu ya? Kita bicarain ini nanti?" Bianka tersenyum lalu bangkit dari duduknya.

"Bi, please, maksud aku nggak gitu," Haechan mengejar langkah Bianka yang kini sudah berjalan menuju pintu keluar.

Bianka berbalik, ia memandang Haechan dengan tatapan semeyakinkan mungkin.

"Aku nggak papa, kita bicarakan lain waktu ya? Kamu latihan dulu," Bianka menepuk-nepuk lengan Haechan pelan sebelum ia tersenyum kecil dan berjalan keluar dari ruangan.

Meninggalkan Haechan dengan segala penyesalan yang ada.

***

Bianka dengan cepat berjalan menuju lift. Sesaat gadis itu memasuki lift, semuanya runtuh.

Pertahanannya runtuh.

Apa yang ia tahan akhirnya runtuh.

Gadis itu terisak dalam diam.

Ia salah.

Dan ia tahu itu.

Tidak seharusnya ia mencintai Haechan.

Itu adalah kesalahan terbesar yang pernah ia buat dalam hidupnya.

Ponsel Bianka bergetar menandakan seseorang tengah menelponnya, namun gadis itu memlilih untuk terisak dalam diam, menutup sebagian wajahnya dengan sweater rajut besar miliknya.

Saat lift mencapai lantai dasar, Bianka keluar dengan kepala tertunduk. Gadis itu benci menjadi lemah. Tapi hari ini sepertinya sebuah pengecualian.

Angin kencang menampar pipi gadis itu sesaat ia berjalan keluar dari gedung agensi, mendung menyapa dirinya. Sebentar lagi mungkin hujan, namun Bianka sepertinya tidak terlalu memikirkan hal tersebut. Biarlah hujan, ia ingin airmatanya tidak terlihat, ia ingin air matanya bercampur dengan hujan dan menyatu saat menyentuh tanah.

Bianka terduduk di kursi halte, menghela napas, rasanya oksigen menipis disekitarnya. Gadis itu menyeka air mata yang masih sesekali turun di pipi tembamnya itu, masih merasa bodoh dengan apa yang barusan ia lakukan : pura-pura baik saja didepan Haechan.

Apakah Haechan memintanya datang ke Seoul untuk ini? Bukankah itu tidak adil?

Bianka tertawa kecil, lalu menggigit bibirnya sembari memejamkan mata. Hatinya pilu.

Sepertinya sore ini pemandangan langit dibalik kursi pesawat adalah yang ia butuhkan.

Bianka ingin pulang.

***

Haechan terjatuh menabrak kursi kerja studio.

"Bajingan,"

Haechan menyentuh bibirnya yang kini terasa asin. 

Darah.

"Bangun!" Jeno menarik kerah jaket Haechan.

"Tadi kamu bilang apa ke kak Bianka? Kenapa aku telpon dia nggak bisa hah?" Jeno mendorong Haechan hinggapria itu terhuyung.

"Jangan bilang kamu bilang kalo kalian cuman temenan?" Jeno menunjuk Haechan, sedangkan yang ditunjuk memilih untuk menunduk dan terdiam.

"Bangsat,"

Jeno kembali meninju pipi Haechan, membuat pria itu kembali tersungkur.

Suara jatuh Haechan membuat Jaemin dan Renjun yang baru saja sampai memasuki studio dengan cepat.

"Hey!" Jaemin menarik Jeno agar ia menjauhi Haechan.

"Jen, kamu janji nggak kayak gini!" Renjun membantu Haechan bangkit.

"Aku nggak!" Jeno masih dengan tegap berdiri sedangkan Jaemin menjaga dibelakang bersiap jika Jeno melakukan pergerakan diluar kontrol.

"Brengsek," Jeno memandang Haechan dingin.

Haechan masih terdiam. Ia menerima ini semua ini, karena ia sadar, ia pantas mendapatkannya.

Jeno menarik kaus Haechan dan memberikan tinju terakhir. Sebelum ia akhirnya memandang Haechan dari atas.

"Kapan kamu bakalan dengerin aku hah?" tanya Jeno yang kini berdiri di depan Haechan, menjulang tinggi dengan jaket kulit dan topi hitamnya.

"Kamu tahu kan apa yang bakal aku lakuin?" Jeno masih menunduk memandang Haechan yang kini terduduk di lantai.

"Selamat bersaing."



"Kuharap kamu masih yakin akan takdirmu dengan Bianka," Jeno berbalik lalu menutup pintu studio dengan keras.



Renjun dan Jaemin saling melempar pandang.



"Bodoh," Haechan tertawa kecil sembari mengusap darah diujung bibirnya, membuat Renjun dan Jaemin mengernyit kebingungan.









"Kalau Bianka takdirku, apa yang bisa kamu lakukan? Lee Jeno?"

***

hello how are you guys? i'm sorry for the lack of updates, this is probably the chapter that will lead to the end of the story, another round one or two chapeters? idk but let see! but i want to say thank you to every each of you who has been with me until this far 🥺💕


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro