Chapter 12 - Cinta Pertama
+┉┉┅┄┄┈•◦ೋ•◦❥•◦ೋ
Seorang gadis muda ditemukan tewas bunuh diri di kamarnya setelah mengalami depresi selama berbulan-bulan sejak kematian calon suaminya.
Ketika kelak mentari yang semula malu-malu di ufuk barat telah membumbung tinggi di atas langit dan perlahan mulai tenggelam di ufuk timur, masa kanak-kanak yang kita alami hanya akan tampak sebagai mimpi indah kala malam dalam benak sosok dewasa yang telah banyak beranjak tumbuh, masuk semakin jauh ke dalam alam bawah sadar, rasanya seperti tak nyata, imajinasi yang menyebalkan, namun foto-foto dan ingatan orang-orang di sekitar cukup meyakinkan bahwa itu adalah kenyataan.
Masa yang tak akan pernah kembali pada kita bagaimana pun seseorang berusaha.
"Nanti setelah latihan pulang ke rumah lagi, 'kan?"
Itu adalah pertanyaan Krisna yang kesekian kalinya yang dia ajukan pada Cherry, beberapa pertanyaan bahkan hanya copas dari pertanyaan sebelumnya dengan arti serupa.
"Bagaimana kalau tak boleh pulang dan harus menginap?"
Tiba-tiba nada bicaranya berubah panik.
"Kalau begitu ya aku tinggal menginap saja, apa susahnya?"
Cherry menatap Krisna sinis, remaja itu duduk bersandar dengan tangan bersedekap di atas ranjang birunya.
"Di sana pasti banyak nyamuk."
Krisna menegakkan badannya, berpikir alasan yang logis agar tetangganya itu tak jadi berangkat ke perusahaan sialan itu.
"Kan ada obat serangga."
"Bagaimana kalau tidak ada yang menjualnya? Atau kehabisan stok sehingga kulitmu nanti bentol-bentol, Cherry?"
Krisna memasang mimik muka serius.
"Ayolah, kalau cuma bernyanyi dan menari kan kau bisa melakukannya di rumah?"
"Aku akan membawanya dari rumah." Cherry mulai kesal.
"Lalu berhentilah mencegahku pergi! Kalau aku berhasil trainee dan debut, aku akan menjadi bintang besar, seorang superstar, kau harusnya bangga dan mendukungku."
"Kau tega meninggalkan Paman Park sendirian di rumah?"
"Diam lah! Ayah mendukung penuh semua keputusanku!"
"Shit!"
Krisna turun dari ranjang, melewati Cherry yang tengah mengemas pakaian dan keluar dari kamar gadis itu tanpa pamitan.
Dari kejauhan, sepasang telinga caplang Cherry bergerak-gerak kecil, kemudian tiba-tiba memerah kala tak sengaja mendengar bahwa di sepanjang jalan menuju rumahnya sendiri, laki-laki itu terus mengumpat dengan bahasa Inggris.
"Yeah, juara umum debat bahasa Inggris cara mengumpatnya memang beda."
Park Chanyeol atau yang sudah berganti nama menjadi Cherry Angel sejak memutuskan untuk menjadi wanita seutuhnya sejak remaja itu, Minggu lalu memenangkan sebuah ajang fashion show dan langsung ditawari untuk trainee disebuah agensi besar, LSM Entertainment.
Dia senang, keluarganya bahagia, bahkan alam pun ikut bersukacita dengan kabar itu hingga paginya semua tanaman Cherry yang hampir mati tiba-tiba saja tumbuh bermekaran penuh bunga-bunga.
Kala gadis itu menunjukkan apa yang terjadi pada kebun kecilnya, dia mendapati Krisna tengah mengobrol dengan sang ayah. Awan yang semula cerah mendadak berembusnkan angin kencang, awan mendung mengambil alih senyum Cherry yang semula berpendar indah. Bulu kuduknya merinding.
Entah sejak kapan sampai akhirnya dia mulai menyadari bahwa laki-laki itu iri padanya, meski sama-sama memiliki orang tua yang telah bercerai, tetapi tak sekali pun Cherry merasakan kurang kasih sayang. Berbeda dengan Krisna, dulu atau pun sekarang, sama sekali tak ada bedanya.
Setidaknya itu yang Cherry ketahui selama mengenalnya, lalu antara polos atau memang bodoh, gadis itu menyeret sang dominan pergi ke belakang sekolah mereka yang dekat dengan area pemakaman.
Dia berdiri di bawah pohon yeow tua dan berucap, "Kau juga ingin memiliki ayah yang penyayang seperti ayahku, 'kan?" tanya Cherry. "Mengaku sajalah."
"Apa maksudmu?" bingung Krisna.
"Sudahlah, jawab saja, yang jujur, ya!"
"Tidak, kok," elak Krisna.
"Pembohong!"
"Tidak. Aku berkata yang sebenarnya."
Cherry menatap manik mata Krisna tajam, yakin bahwa apa yang Krisna ucapkan adalah kebohongan. Kedua tangannya bersembunyi di belakang punggung sementara kedua kakinya berjalan semakin mendekati laki-laki itu.
"Yakin dengan perkataanmu sendiri, Tuan Wilson?"
Krisna melangkah mundur hingga punggungnya menyentuh pohon yeow, dia lalu menghela napas kesal.
"Kalau iya, memang kenapa? Ada masalah?"
Dengan mata berbinar dan senyum mengembang, Cherry menjentikkan jarinya tepat di depan wajah Krisna.
"Nah? Kalau begitu solusinya sudah ketemu!"
"Hah? Sintingnya kumat, ya?"
Krisna menyentuh kening Cherry dengan punggung tangannya; memastikan sesuatu.
"Panas, sih. Pantas."
Dia mengernyit dan makin cemberut kala menatap senyum Cherry.
"Kan kamu ingin memiliki ayah, bagaimana kalau sudah dewasa nanti ayahku juga jadi ayahmu saja?" kata Cherry.
"Kenapa harus menunggu sampai dewasa, memangnya kalau sekarang saja tidak bisa, ya?"
Krisna tersenyum miring, senyuman itu seakan menantang sang lawan bicara.
"Ya nggak tahu pasti sih, katanya di TV-TV harus menunggu dewasa dulu," jawab Cherry polos.
"Jadi kalau sudah dewasa nanti kita akan menikah?"
"Huh, menikah ... apa—!"
Ctaaaaaaaaaaarrrrrrrrrrrrrrrr~! Ctaaaaaaaarrrrr~!
Kedua pelajar itu dikagetkan oleh suara petir yang tiba-tiba menyambar pohon tempat mereka berteduh, suaranya sampai menggetarkan tanah dan hampir membakar pohon yang sudah berdiri sebelum sekolah itu dibangun.
❦❦❦
Semuanya berjalan seperti hari-hari biasanya, meski ada beberapa hal asing, tetapi itu bukan masalah besar, namun seiringnya waktu rasa tak nyaman akibat sesuatu yang baru itu mulai mengusik salah satu diantara mereka.
Berkali-kali Krisna meyakini dirinya sendiri bahwa Cherry akan menepati janjinya, tetapi apa yang bisa kamu harapkan dari janji anak ingusan di masa lalu? Sementara masa depan yang terpancar terang menunggu di depan sana?
Krisna gelisah sejak terakhir kali Cherry mengatakan padanya bahwa debut mereka sudah dekat, itu memang belum jelas, tetapi keberhasilan boygroup rookie agensi itu membawa angin besar bahwa girlgroup juga sebentar lagi akan lahir. Cherry adalah salah satu kandidat debut paling kuat, dan Krisna khawatir akan hal itu.
Apa jadinya jika Cherry berhasil meraih mimpinya dan gadis itu akan meninggalkannya demi kariernya?
Ya, Krisna memang egois. Tapi menurut laki-laki itu, Cherry lebih egois, karena dia lah yang pertama kali membuat janji itu. Sebuah janji harus ditepati!
Dia akan melakukan apa pun agar janji itu terlaksana.
"Krisna apa yang kau lakukan di sini?!"
Cherry marah mendapati tetangganya itu ada di loby agensi.
"Mengaku sebagai pacarku di depan anak-anak lain? Kau gila, ya!"
"Maaf, tadi aku hanya iseng untuk mengetes reaksi mereka."
Itu bukanlah yang pertama dan terakhir, pada Minggu-Minggu selanjutnya Krisna jadi semakin menyebalkan.
Dia membuat kebohongan tentang ayahnya yang kecelakaan, anjingnya yang mati, mendadak ingin bertemu di tengah malam, memberinya banyak cemilan, hingga dengan sengaja menumpahkan minuman ke dalam lirik lagu yang sudah Cherry tulis selama sebulan.
Membuat gadis itu benar-benar tidak ingin mempercayai lagi apa pun yang Krisna katakan.
Namun puncaknya adalah akhir bulan lalu ditanggal November kala salju pertama mulai turun dari surga ke bumi, kali ini Cherry hampir dikeluarkan karena banyaknya catatan merah akibat terlalu sering absen, penurunan bakat hingga berat badannya yang naik.
"Jangan teriak-teriak, nanti tetangga terganggu."
"Sepertimu yang selalu menggangguku itu?" sengit Cherry.
"Ayo masuk, di luar dingin."
Krisna berusaha menarik telapak tangan Cherry, tetapi gadis itu menepisnya.
"Aku hampir dikeluarkan karena mu!"
Krisna menunduk merasa bersalah, tetapi dia diam-diam tersenyum.
"Maaf."
"Aku hampir dikeluarkan," ulang Cherry lirih.
Kedua tangannya yang terbungkus sarung tangan terkepal kuat. Uap tipis keluar dari hidung dan mulutnya.
"Apa masalahmu?"
"Boleh minta peluk?" ucap Krisna.
"Hanya sebentar, tapi kalau tak mau ya sudah—" perkataan Krisna terpotong ketika tiba-tiba saja tubuh Cherry menabraknya; memeluknya.
"Aku juga kedinginan," kata Cherry, "balas pelukanku."
"Dipinggang?" tanya Krisna memastikan.
"Hmm."
Ayah Cherry yang sejak tadi mengawasi keduanya dari lantai atas tersenyum tipis sebelum akhirnya menutup gorden kuning tersebut, memberi privasi kepada sang putri.
Semakin malam salju semakin lebat turun, jejak sepasang sepatu boots itu dari pagar dan berhenti di bawah tangga besi yang menghubungkan ke atap rumah.
Di atap itu, Cherry dan Krisna tengah duduk bersisian memandang jalanan komplek yang sepi. Lampu-lampu taman berjajar, berpendar terang dengan ratusan salju berjatuhan.
"Ulang tahunku tanggal 27 November."
Tangan mereka saling bergandengan erat.
Krisna melirik Cherry dan berkata, "Ulang tahunku tanggal 6 November."
"Sekarang tanggal berapa?" Cherry hendak memeriksa ponselnya, tetapi Krisna mencegahnya.
"Anggap saja 11 November," katanya.
"Eeerrr dasar aneh, berapa suhunya sekarang?"
"Mungkin sekitar 3 derajat celcius?"
"Aku butuh alasan atas semua yang kau lakukan akhir-akhir ini." Cherry menghela napas. "Apa kau ketakutan?"
Krisna menoleh. "Ke-ketakutan?"
Cherry menelan salivanya. "Mungkin semacam mimpi buruk yang menghantuinmu akhir-akhir ini semakin parah."
Dia melepas genggaman tangan mereka sepihak, memeluk lututnya dan memandang wajah tampan Krisna dari balik lutut.
"Sejak dulu aku tak mengerti mengapa lebam-lebam itu selalu ada ditubuh mu."
Krisna gelagapan, Cherry mengernyit kala Krisna seperti tengah menyembunyikan sesuatu dibalik lengannya.
"Ada sesuatu yang tengah berusaha kau sembunyikan dari semua orang?"
Krisna menggeleng, mulutnya seakan terkunci dan kelu, dia tersudut.
"Dariku?"
Cherry menghadap Krisna, menarik pundak laki-laki itu dan menarik dagu lancipnya agar sepasang mata tajam itu menatapnya.
"Aku tahu masalah yang kau hadapi tak mudah, tapi masalah tak akan selesai jika kau hanya diam, aku sebenarnya bukan tipe orang yang suka ikut campur masalah orang lain, tetapi masalahnya kau menjadikanku pengalih apa yang saat ini tengah kau hadapi!"
Cherry meremas pundak Krisna hingga membuat laki-laki itu meringis.
"Jujur padaku—"
"Cherry Angel."
Krisna berusaha menyingkirkan tangan Cherry dari pundaknya.
"Aku akan berhenti menemui mu, sekarang kau tak perlu ikut memikirkan ku, maaf jika aku membuatmu terganggu—"
"Mau jadi pacarku sungguhan?" tawar Cherry.
"Hah?"
Tentu saja hati Krisna langsung berdebar kuat, tetapi apa yang gadis dihadapannya ucapkan itu sungguh-sungguh?
"Tapi jangan sampai ketahuan agensi atau teman-temanku di agensi, pokoknya cuma kita dan salju malam ini yang boleh tahu hubungan kita," ucap Cherry memberi syarat.
"Kenapa?"
"Aku mencintai cita-citaku."
"Lalu mengapa mengajakku berpacaran?"
"Karena aku serakah," balas Cherry, "aku mencintai dan ingin memiliki kalian berdua."
Krisna tersenyum miring. "Kalau publik tahu, kau akan hancur."
"Kalau begitu jangan sampai mereka tahu." Cherry tersenyum tipis. "Aku pastikan bukan hanya aku yang akan hancur di sini."
Krisna tertawa lepas mendengar perkataan Cherry.
Sementara itu, di rumah sebelah, disebuah jendela yang sejak tadi terbuka mengintip, memperlihatkan sebuah mata lentik yang tampak sinis memperhatikan keduanya sedari tadi. Kala sepasang bibir itu menyatu tanpa mempedulikan guyuran salju yang kian lebat mengenai kepala mereka, gorden tersebut tiba-tiba ditutup kasar.
Dalam ciuman itu, mata Krisna tiba-tiba terbuka lebar, ada ketakutan di dalam sana, Cherry melihatnya begitu dekat, merasakan betapa Krisna meremas baju bagian belakangnya kuat. Sesuatu tidak selamanya baik-baik saja.
Ketika Krisna kembali pulang ke rumahnya, dia tak mendapati sosok sang ibu yang biasanya selalu menungguinya. Keesokan harinya, Cherry kembali ke agensi dengan diantar sang ayah, Krisna membuntutinya diam-diam, perasaannya tak nyaman, sejak malam itu, dia sudah membulatkan tekat tak ingin kembali pulang ke rumah.
Tetapi, apa mungkin dia benar-benar dapat hidup jauh dari rumah? Ke mana ia harus berteduh dari dinginnya salju?
Di dunia ini tak seorang pun yang dapat Krisna percayai, itu sudah tertanam sejak kecil. Dia tahu bahwa seseorang telah murka dan itu akibat ulah dirinya yang terlalu egois.
"Aku tak akan menjadi laki-laki pengecut lagi."
Dan dengan itu, Krisna memutuskan untuk kembali pulang, dia tak akan kabur dari masalahnya, dia tak begitu yakin cara apa yang dapat memperbaiki semuanya, tetapi dia yakin mampu mencegah hal yang jauh lebih buruk terjadi meski pun dia lah yang akan menjadi tumbalnya.
Pintu gudang itu Krisna buka perlahan, gelap, aroma darah, tembaga, dan bau-bauan lain yang sudah tak asing diindera penciumannya merebak masuk kehidung.
Di tengah-tengah ruangan terdapat ranjang berukuran sedang, spreinya berwana putih bersih namun terdapat bercak darah yang telah mengering di sana sini.
Krisna menyalakan saklar lampu, seketika ruangan yang semula remang-remang menjadi terang benderang.
Banyak benda-benda asing berjajar rapi di meja, tetapi jika dilihat lebih jauh semua benda-benda asing itu adalah seks toy.
Kire mencintai dan terobsesi terhadap putranya sendiri.
Sejak kecil, Krisna sudah menjadi alat pemuas nafsu bagi ibunya sendiri.
Bahkan jika dia berkata jujur pada semua orang, tidak akan ada satu pun yang mempercayainya, seperti beberapa tahun silam kala ayahnya masih terlihat seperti manusia dan belum suka memukulinya.
Bagi Krisna, Kire adalah Iblis sekaligus ketergantungannya.
═════ ◈ ═════
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro