Prologue : Welcome To My Life
Do you ever feel like breaking down?
Do you ever feel out of place,
Like somehow you just don't belong
And no one understands you?
No, you don't know what it's like
Welcome to my life
Aku harus mengatakan ini. Hidupku sudah hancur. Semua hal yang ada di dunia ini hanya omong kosong untuk menghina kehidupan malangku. Aku benci kehidupanku.
Hal kedua yang aku benci adalah orangtuaku. Aku benci mereka semua. Aku benci karena aku dilahirkan. Aku benci aku dibesarkan tak ubahnya sampah yang bisa mereka permainkan. Aku benci saat mereka tidak pernah menganggapku ada. Aku benci saat mereka tak pernah berlaku sebagai orangtua. Aku lebih benci mereka saat mereka tak ada untukku saat aku mengalami depresi berat. Mereka, oke, mulai saat ini aku akan mempersempit kata mereka menjadi Mom. Dari kecil aku selalu bersama Mom, semenjak Mom dan Dad bercerai saat usiaku 2 tahun. Aku tak tahu wajah ayah kandungku. Mom tak meninggalkan satu fotopun yang berkaitan dengan Dad. Waktu umurku 7 tahun aku bertanya pada Mom, "Kenapa aku tidak boleh melihat Dad?"
Kalian tahu apa yang Mom katakan? Kata-katanya sungguh kasar. Dia tidak menjawab. Dia hanya mengumpat, dan mulai menyalahkan semua hal padaku yang saat itu masih polos.
Mom sudah menikah 3 kali (dihitung dengan pernikahan dengan Ayah kandungku). Dua pria yang menjadi Ayah tiriku semuanya hanya sampah. Ayah tiri pertamaku menikah dengan Mom saat umurku 5 tahun. Awalnya semua berjalan lancar, kita layaknya keluarga kecil bahagia yang sering orang impikan. Tapi, dua tahun kemudian semuanya kebahagiaan hanya tampak sebagai sampul indah dengan isi yang busuk. Ayah tiriku mulai sering mabuk-mabukan, menampar Mom sudah makanan wajib, dia suka membentak segala hal yang dilakukan Mom dan aku. Ya, bahkan aku yang saat itu masih berusia 7 tahun sudah diperlakukan dengan sangat kasar. Semua hal tentangku selalu salah dimata pria brengsek itu, hadiah tamparan untuk Mom setiap malam tak ada apa-apanya dibanding dengan perlakuan yang aku dapatkan.
Pria brengsek itu mulai berperilaku brengsek saat dia kehilangan pekerjaan. Saat Mom bekerja, tinggalah aku dan dia di rumah. Kalian tahu apa yang aku terima? Dia mungkin menampar Mom saat dia mabuk, tapi dia menampar, memukul, menendangku saat dia tengah sadar. Dia membentakku sebagai biang masalah, menyebutku sampah, memanggilku manusia tak berguna, menyuruhku mati. Ya , Mati. Bahkan dia pernah menyiapkan tali dan menyuruhku gantung diri di ruang bawah tanah. Aku memang masih kecil waktu itu, tapi aku belum ingin mati. Usiaku masih terlalu muda untuk mati (Oke, sekarang aku menyesal karena menolak ajakan mati dari dia). Saat itu aku menolak, berlari menuju kamarku dan mengunci pintu sampai Mom datang.
Sejak pria brengsek itu bertindak kasar, Mom mulai tak memperdulikanku. Dia sadar tentang luka-luka di wajahku, memar di tubuhku tapi dia hanya menganggapnya sebagai angin lalu.
Mom dan orang yang tak layak disebut Ayah itu akhirnya resmi bercerai setelah dua bulan aku mengalami siksaan fisik dan batin. Setelah itu, Mom tidak pernah bicara padaku. Hidupnya didedikasikan untuk bekerja. Menghasilkan uang yang banyak. Memang selama ini aku hidup mewah, tapi apa uang dapat membeli kebahagiaan yang tak pernah aku kecup? Rasanya tidak.
Saat aku mulai menampaki masa remaja, Mom menikah untuk kedua kalinya. Kali ini dia memilih seorang partner bisnisnya, bukan seorang dengan pekerjaan tak jelas seperti mantan ayah tiri pertamaku. Walaupun aku tak dekat dengan Mom, tapi aku berharap pernikahan ketiga itu berjalan lancar. Sayangnya, sekali lagi, takdir tak mengharapkan adanya kebahagiaan hinggap di keluargaku. Bahkan pria ini lebih parah. Dia sering meninju Mom tanpa sebab, membawa beragam gadis ke rumah yang di antaranya remaja seumuranku. Dan tentu saja dia sering merayuku, tapi aku selalu berhasil lari dari dia walaupun akhirnya aku sering mendapat hukuman pukulan dan tendangan yang sudah tidak asing. Oh, ya... Aku lupa hal yang paling menarik atau menyedihkan - aku tak bisa mendeksripsikannya- , Mom melihat dengan mata kepalanya sendiri saat aku dipukul dan ditendang. Dia bahkan menonton itu dengan sangat tenang. Terlalu tenang untuk seorang ibu kandung melihat anaknya disiksa.
Kadang aku berpikir, apa Mom bukan ibu kandungku? Apa mungkin semua ibu berperilaku seperti itu pada anak kandungnya? Memang aku salah apa? Apa aku salah karena dilahirkan oleh dirinya? Entahlah, semua hal itu membuatku muak.
Pernikahan ketiga Mom berlangsung hanya 3 bulan. Pria brengsek itu mendekam di penjara seperti pria brengsek pendahulunya. Dan setelah itu, Mom memutuskan untuk pindah ke Sydney. Dimana masalah lain mulai mendatangiku.
Dari kecil aku selalu senang saat waktu sekolah, karena di sekolah aku tak mendapat hadiah menyedihkan dari mereka yang menyebut diri mereka orangtua. Aku memang tak pernah punya teman dari dulu, tapi setidaknya aku tak pernah disiksa seperti yang para murid di Sydney ini.
Sejak aku melangkahkan kakiku pertama kali di sekolah itu, aku sudah disambut dengan penghinaan luar biasa. Aku dibentak, aku ditimpuki hal-hal menjijikan, setiap aku lewat pasti mereka memandangku layaknya sampah berjalan.
Aku tak tahu dimana letak kesalahanku. Apa aku sebegitu memuakannya? Mom tak menganggapku ada, Dad entah berada dimana (mungkin dia juga muak denganku), dan kini semua orang memandangku dengan jijik. Apa semua itu layak disebut kehidupan?
Kalau takdir kejam ini tak membiarkanku hadir di dunia, kenapa pula aku selalu lolos percobaan bunuh diri?
Bukan sekali dua kali aku berniat untuk mati, aku benar-benar ingin mati karena setiap aku menghembuskan napas, aku selalu merasa bernapas hanya akan menambah kebencianku pada dunia memuakan ini.
Aku pernah ingin meloncat dari ketinggian 50 meter, tapi seseorang menangkapku. Aku pernah ingin meminum obat dengan dosis berlebihan tapi Helen - Pekerja di Rumah besarku menangkap basahku.
Aku pernah ingin menusuk perutku dengan pisau tapi lagi-lagi Helen menghalangiku. Ah, aku lupa bilang. Setidaknya hanya Helen, yang masih menganggapku manusia. Menyedihkan bukan, hanya satu orang yang sadar aku ini manusia bukan sampah?
"Perhatikan langkahmu, idiot! Apa kau terlalu bodoh untuk menggunakan matamu? Apa kau sebegitu idiotnya?" Suara itu terdengar tidak asing. Siapa lagi yang mempunyai suara dingin seperti itu kalau bukan dia.
Aku menaikan wajahku. Sedikit merutuki kebodohanku berjalan sambil menunduk. Wangi parfum pria yang aku tabrak dadanya ini sungguh familiar. Oke, aku memang sudah tahu siapa pria ini, tapi bolehkan aku berharap dia bukan dia?
Sial!
Mata hijaunya memandangku tajam, seringai mulai muncul di bibirnya. Demi Tuhan, ini terlalu pagi, bel saja belum berbunyi tak bisakah dia melupakan niatnya untuk mengangguku di pagi hari yang cerah ini?
"Ma... Maaf." Sial untuk kedua kalinya. Kenapa suaraku gagap dan serak seperti itu?
Aku mengepalkan tangan dan menggigit bibirku sekencang-kencangnya untuk meredakan rasa gugupku. Aku tak peduli tanganku mendingin karena kuatnya kepalan tanganku, dan aku lebih tak peduli jika bibirku berdarah akibat gigitan kencangku. Aku saja ingin mati, buat apa aku peduli dengan tubuhku?
Pria berambut pirang dengan tindikan di bibirnya itu tertawa kencang mengundang beberapa orang mulai mengelilingi tempat yang akan menjadi saksi pembullyan di pagi- yang sialnya- cerah ini. Ah bahkan dua orang teman tercintanya sudah mulai mendampinginya. Oh... Tidak bisakah bel cepat berbunyi?
"Kalian lihat, anak ini meminta maaf sambil tergagap. Apa yang kau bilang tadi? Ma... Ma... Ma.. Maaf?" Sindir Luke membuat semua orang tertawa. Hah? Bahkan ini tidak pantas disebut lelucon dan mereka tertawa untuk semua ini? Oke, dunia yang sudah tak waras naik ke level tak waras, aneh, dan gila.
Luke adalah pembully nomor satuku. Dia selalu tersenyum saat melihatku karena setelah itu dia bebas menghinaku dengan kasar di depan murid lain. Dia yang memulai mempercundangiku di depan anak lain. Aku sudah tak peduli alasan mengapa dia melakukan hal ini padaku. Mungkin dia terkena sindrom "Benci pada pandangan pertama". Nah, ini baru pantas disebut lelucon. Saat roman picisan menyihir kalimat, "Cinta pada pandangan pertama" mendunia, disinilah aku berada. Mendapat istilah yang hampir sama dengan arti yang jauh berbeda. Daridulu aku tak pernah kenal arti cinta. Semua yang aku tahu adalah tentang kebencian. Dan sekarang aku mendapat hal terhormat "Benci pada pandangan pertama" dari pria terpopuler di sekolah ini. Selamat Cher! Kau sungguh hebat!
Seorang gadis berjalan mendekati tempatku berdiri, gadis yang terlalu cantik menjadi seorang iblis. Dia menaikan daguku agar mataku memandang mata birunya yang indah, "Oh... Malang sekali dirimu. Kau tak cuma idiot tapi kau lupa menggunakan otakmu. Ah, apa otakmu sudah tak berfungsi, jalang?"
Jangan menangis! Jangan menangis! Kata-kata dia makanan sehari-harimu bukan? Kau tak mungkin menangis untuk hal sepele ini. Kau sudah terlalu banyak menangis, Cher!
Suara dikepalaku menyemangatiku untuk tidak menangis walaupun air mata rasanya sudah akan mengalir membasahi pipiku. Aku memang sudah sering menghadapi hal semacam ini tapi sering bukan berati aku menjadi biasa menanggapinya.
"Kau itik jelek, apa kau tahu kesalahan terbesarmu?" Tanya gadis itu lagi masih tak melepaskan tangannya dari daguku.
"Jawab!" Seru laki-laki di belakangnya, laki-laki berambut keriting yang selalu ada di sebelah Luke. Dia bernama Harry. Harry bahkan lebih kasar dari Luke. Luke mungkin hanya menyindirku dengan kata-kata tajam, tapi Harry sering menamparku. Sehari tanpa tamparan darinya maka bumi sudah berhenti berputar. Artinya mustahil.
Aku menggeleng dan tetap mempertahankan keteguhanku untuk menahan tangis. Britanny atau lebih populer dengan sapaan Brit melepaskan tangannya dari daguku. Dia mengeluarkan tissue dari tas tangan yang dibawanya, membersihkan tangan yang tadi menyentuh daguku, "Sial, aku sudah mendapat kuman-kuman menyebalkan di pagi hari. Kau saja yang mengurus dia, Harry. Aku tak mau kuman-kumannya terbang melayang ketubuhku. Aku tak mau menjadi pecundang sepertinya."
Britanny mundur dan kembali berdiri di sebelah Luke yang hanya melipat kedua tangan di dada sambil bersandar di dinding dan menonton semua hal yang ia dan seluruh anak yang mengelilingi lingkaran anggap ini lucu. Harry menggantikan posisi Brit untuk berhadapan denganku. Seringai Harry melebar, "Kau tidak tahu kesalahan terbesarmu, jalang?" Pertanyaannya sama, dengan orang yang berbeda, dengan intonasi berbeda, dengan tingkat kebencian yang berbeda tapi jawabanku tetap sama. Aku hanya menggeleng.
"Kau memang idiot kelas tinggi! Kesalahanmu adalah terlahir di dunia ini, idiot!" Harry berbicara dengan bentakan yang cukup kencang. Aku tak menjawab. Mulutku bungkam karena aku tahu kalau aku membuka mulut aku akan mengiyakan segala hal yang diucapkan Harry. Aku memang tidak pantas ada di dunia ini.
Perkumpulan itu bubar ketika bel berbunyi. Aku menghela napas panjang, setidaknya tidak ada tamparan di pagi hari. Selamat, Cher!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro