Chapter 7 : Friendship Based On Hateful
Aku membuka mata pelan. Mimpi aneh masih terbayang di memoriku. Aku tak begitu ingat detail mimpinya tapi aku jelas ingat akhir dari mimpi itu. Menjijikan sekali mimpinya. Bahkan dalam mimpi saja itu terlihat terlalu berlebihan. Kau tahu, aku tadi bermimpi sedang berciuman dengan Luke!
Menjijikan? Memang.
Memalukan? Sudah jelas.
Mimpi itu aneh sekali. Maksudku, kenapa dari semua pria harus dia yang merebut ciuman pertamaku, well, walaupun itu dalam mimpi tetap terhitung sebagai ciuman 'kan?
Mungkin otakku sedang tak beres akibat benturan kencang Cassie. Bahkan tadi aku pun sempat mendengar Luke bilang akan menjadi pelindungku, aku tak tahu ini masih dalam kategori di mimpi atau malah itu kenyataan. Tapi aku sungguh berharap kalau itu mimpi juga. Tidak, aku tidak berharap.... Aku yakin itu bagian dari mimpi!
Logikanya begini bagaimana mungkin seorang yang benci padaku selama hampir satu tahun ini tiba-tiba saja bertingkah baik sekali. Dia sering menolongku, dan memberi pertanian kecil padaku, dan dia bilang dia akan menjadi malaikat pelindungku? Semua siklus ini terlalu aneh. Aku bukan anak bodoh. Aku tahu kalau pasti ada apa-apanya di balik kebaikan Luke atau senyum ramah Harry kemarin.
"Kau sudah bangun?" pertanyaan retoris tak perlu aku jawab.
Luke menyodorkan botol air minuman padaku. Karena tenggorokanku memang sangat kering, aku ambil dengan kasar botol itu.
"Bagaimana keadaanmu?"
Aku menyipit memandang Luke. Pria ini kenapa sih? Kenapa dia selalu menanyakan keadaanku, bukankah kalau aku tiada dia adalah orang pertama yang akan tertawa girang?
Emosi memuncak di ubun-ubunku. Dengan kesal, aku melempar botol yang tinggal setengah tepat ke mukanya, aku bahkan tak perlu repot-repot menutup kembali botol minuman itu hingga air dari botol langsung membahasi wajah dan baju Luke dengan cepat.
"What the F-" dia berhenti bicara. Dari raut wajahnya aku yakin sekali kalau dia itu marah.
"Kau marah saja. Kembalilah ke Luke yang biasa."
"Tidak mau." Luke menggeleng, "Maksudku, aku tidak bisa." katanya membenarkan.
"Aku mohon, kembalilah seperti biasa!" gertakku kencang. "Aku tidak butuh ibamu atau teman-temanmu itu. Ingatlah kalau kau membenciku! Jangan kau peduli kan aku, aku sungguh tak butuh rasa kasihanmu. Aku bisa berjalan sendiri tanpa bantuan siapa pun."
"Aku tidak bisa, Cher! Aku... aku merasa jahat sekali padamu."
"Sudah terlambat untuk kata-kata maaf. Hatiku sudah mati, tidak bisa dihidupkan lagi. Ingat kau turut andil dalam hal itu."
"Cher. Aku tahu aku bodoh dulu! Tapi sumpah saat ini aku sangat ingin berubah. Aku ingin membuktikannya padamu. Aku bisa berubah."
"Apa maumu sih? Kau mau aku terbuai dengan kebaikanmu lalu kau bisa dengan seenaknya menjatuhkan aku ke dasar jurang?"
"Bukan itu. Aku benar-benar menyesal atas semua hal yang sudah terjadi."
"Kenapa kau baru menyesalnya sekarang, kenapa tidak dari dulu?!" kenapa tidak saat aku butuh orang untuk berpegangan, tambahku dalam hati, yang tentu saja tidak akan pernah aku suarakan.
Luke memegang kencang kemudi mobil. Dia terlihat sangat kacau. Rambutnya basah, bajunya basah, matanya memerah, dan diselimuti raut wajah orang kebingungan. Aku benar-benar tak mengerti semua ini. Ingin aku bertanya padanya, tapi aku yakin dia toh takkan menjawab pertanyaanku. Jarang sekali ada seorang pria yang bisa membuka dirinya pada seorang wanita. Pria bukan pria namanya kalau dia tidak punya rahasia.
Mata Luke berkaca-kaca, dia memandang satu arah dengan rahang tegasnya. Tapi aku yakin pikirannya sedang berkelana menghilang dari raganya saat ini.
"Belum..." Luke menundukkan wajahnya ke kemudi. Dari bahunya, dia terlihat seperti orang yang terisak. Luke bisa menangis? Ini konyol sekali!
"Apa nya yang belum?" desakku tak sabar menghiraukan tangisan yang ia utarakan.
"Belum saatnya, Cher." Luke menghantam kepalanya berkali-kali ke setir di depannya. "Kau belum saatnya untuk tahu."
"Lalu, untuk apa aku bisa mempercayaimu kalau kau tak memberitahuku hal-hal yang seharusnya aku tahu!"
"Masalahnya rumit. Berat. Menyesakkan. Aku takut kalau kau sampai tahu, kau akan merasa lebih tidak adil." Luke sudah mengangkat wajahnya, dia tak memandang ke arahku tapi aku tahu ada bekas air mata disana.
"Kau pikir hidupku selama ini adil!" aku mulai terpancing emosi. "Kau..." Terlalu banyak kata makian yang tersusun rapi di kepalaku tapi cukup dengan satu kalimat sudah mewakilkan bagaimana perasaanku padanya. "Aku benci sekali padamu!"
"Kau memang harus membenciku. Aku memang sepantasnya dibenci."
"Luke." Aku kembali mendesaknya, "What's wrong with you?"
"Cher... Just... please forgive me."
Aku tetap pada keputusanku untuk menggeleng, "I don't mind if you keep up your secret which is I know that's connected with me. I'll forget this conversation and let's start again. Go back to the start. Go back to yourself. Please, hate me."
"Why you aren't accept my apologize?"
Aku menghembuskan napas berat untuk kesekian kalinya. Pertanyaan ini terlalu mudah dijawab dengan kalimat-kalimat kasar dan makian, tapi untuk sekarang aku ingin memakai kata lembut. Aku tak mau terlalu terpancing emosi. I am not a Damn Bipolar!
"So simple. You are too late to say sorry. And by the way. If you hate me, honestly, It doesn't bother me again. I am lucky if you hate me."
"But. How about you and Harry?"
"Harry? Really?!" aku melotot lebar, " I hate him as I hate you. You blind or something? Don't you see my tragedy with Cassie? Does Harry come to help me? No. He doesn't. And I know that he never gonna put his damn finger for help me. He hate me. I hate him. End of the story."
"But yesterday I saw that you and Harry were very close enough."
"Yeah. I was so dumped, I know. But, it never gonna happen again."
Harry menatap lekat ke mataku meminta pengharapan padaku. "Apa kita bisa jadi teman?"
"There's no friendship based from hateful!"
"I don't hate yo-"
Aku langsung memotongnya, "Please, sudahi basa-basimu."
"Okay. But, I still want us to be a friend."
" We're cannot be a friend, okay?! Kita itu musuh. "
"Baiklah. Bagaimana kalau kita buat saja pertemanan yang berlandaskan kebencian?"
"Itu tidak bisa. Lagipula aku tak mau menjalin pertemanan dengan siapapun."
Luke dengan seenak jidatnya mengambil tanganku. Aku mencoba untuk melepaskan diri, "Apa yang mau kau lakukan!" seruku tajam saat tangan Luke yang kuat itu membawa tanganku ke daerah dadanya.
"Aku akan memulai perjanjian di atas dadaku bahwa kau dan aku akan berteman mulai dari sekarang."
"What did you say?"
Luke makin mengeratkan tanganku di dadanya yang berdebar sangat kencang. "Perjanjian ini dibuat di atas detak jantungku. Ini artinya, perjanjian ini terikat oleh hidupku."
"Apa sih yang mau kau katakan!" tuntutku kembali emosi.
"Artinya, kalau kau meninggalkanku, aku akan terjun bebas dari jurang ini."
Aku baru sadar kalau sekarang aku tepat berada beberapa meter dari tepi jurang. Kemana Luke membawaku?Kenapa Luke membawaku kesini?
Mungkin dia tadi bersikap baik padaku hanya untuk basa-basi sebelum menerjunkan aku ke jurang tinggi ini. Omongan Luke yang bilang kalau dia yang akan terjun dari jurang ini juga tak bisa dipercaya. Luke membenciku , dia ingin aku mati dan aku senang dengan fakta ini.
"Lepas topengmu sekarang juga. Aku tahu kau ingin membunuhku. Dan kalaupun kau membunuhku sekarang aku benar-benar hutang terima kasih padamu."
"Kenapa kau sekali skeptis padaku. Aku bersumpah takkan menyakitimu lagi. Aku sudah meminta maaf padamu!"
Aku memutar mataku jengkel. Hatiku seperti ingin meledak karena amarah sekarang. Minta maaf memang mudah, tapi memaafkan adalah proses yang sangat sulit. Aku sudah terlanjur sakit hati atas sikap Luke atau pun anak-anak lainnya. Karena mereka aku merasa tak layak ada di dunia ini. Mereka sukses membuatku tak percaya pada diriku lagi. Mereka sukses menghancurkan diriku. Lalu, setelah hancur Luke bilang minta maaf? Tidak semudah itu.
"Kenapa kau membenciku?"
Aku ingat kejadian itu. Aku seorang anak baru yang mempunyai ekspektasi tinggi terhadap sekolah baru, berharap kalau di tempat itu aku bisa merasa kebahagiaan yang selalu tertutup di hidupku. Semua harapanku buyar begitu saja sesaat aku melihat Luke. Wajah Luke antara kaget dan marah, lalu tanpa sebab, tanpa aku tahu dimana kesalahanku, Luke mendekat ke arahku didampingi oleh Zayn, Liam, dan Michael. Aku mengira mereka mendatangiku karena ingin mengajak berkenalan, tapi aku justru langsung mendapat hinaan dari Luke.
"Aku benci padamu!" sahutnya kencang. Luke membisikkan sesuatu pada Liam yang sedikit membuat Liam terkejut. Lalu dengan sangat cepat tangan Liam mendarat tepat di pipiku. Tamparan itu masih terasa sakit sampai sekarang, memoriku selalu sakit mengingat kejadian itu.
"Kenapa kau harus ada di dunia ini!" tambah Luke selagi tangan Michael menahan tubuhku. Liam menancapkan kuku jarinya di pipiku memaksaku mendongak menatap ke arah Luke yang berdiri dingin di sebelah kananku.
Insiden itu dilihat banyak sekali orang, tapi tak ada satu pun yang punya hati nurani. Selesai aku berurusan dengan orang-orang itu, aku malah diserang oleh seisi sekolah. Aku ditertawakan, aku dijadikan bahan lelucon, dan aku terlalu sering disamakan dengan sampah oleh mereka.
Kejadian itu memang sudah lama, tapi rasanya baru terjadi beberapa hari yang lalu. Pahit kejadian itu masih berasa sampai detik ini.
"Aku tak bisa memberitahumu." Luke kembali mengambil tanganku membawaku dalam tangan yang sekarang sudah mendingin, "Atau belum. Waktu yang akan menjawabnya, Cher."
"Asal kau tahu saja, aku selalu benci dengan waktu yang tak pernah berhenti. Masa lalu, masa kini, masa depan, tetap saja hidupku akan selalu seperti ini. Dunia dan seluruh isinya membenciku karena aku lahir di dunia ini."
"Aku akan membahagiakanmu. Aku janji."
Aku menggeleng menolak, melepas tanganku dari Luke, "Aku tidak akan pernah bahagia lagi." Kembali aku tatap dalam mata lembut Luke, "Walaupun aku bahagia pada akhirnya, aku tak mau kau ada di dekatku. Kau sumber semua masalah yang aku hadapi. Aku benci padamu."
"Aku memang pantas dibenci." desah Luke pasrah, "apa yang bisa aku lakukan agar kau percaya aku tulus ingin menjadi temanmu?"
"Tidak ada."
Luke membuka pintu mobilnya. Dia berjalan ke tepi jurang. Awalnya aku kira dia bercanda tapi kemudian dia melepas sepatunya dan melempar sepatu itu terbang melintasi gravitasi bumi. Luke merentangkan tangannya... oh tidak!
Buru-buru aku menyusul ke tempat Luke. Apa dia gila?! Untuk apa dia bunuh diri. Yang pantas bunuh diri itu aku, bukan dia.
Aku memeluk Luke dari belakang. Tangan Luke kembali ada di samping tubuhnya. Dia membelai pergelangan tanganku, aku tahu dia sedang tersenyum penuh kemenangan di depan. Kalau dia kira hanya karena aku tak ingin dia mati dia bisa menang, tentu saja tidak. Aku tahu aku yang akan menang pada akhirnya karena aku percaya umurku takkan lama lagi. Aku akan pergi lebih dulu dari dia. Itu baru definisi kemenangan yang benar.
"Kau tak layak bunuh diri!" seruku tajam ketika kita berdua kembali duduk di mobil Luke. Senyum tak pernah lepas dari wajah itu. Senyum itu sangat manis, makanya aku tak mau langsung menatap tepat ke arah Luke. Sama seperti kasus dengan Harry, aku tak ingin jatuh ke pesona Luke. Setampan atau sepintar apapun Luke, dia tetap saja Luke Hemmings, orang yang pertama aku benci di dunia ini.
"Kenapa aku tak layak?"
"Bunuh diri itu keputusan yang berani dari orang-orang yang patah harapan, dan orang yang benar-benar ingin keluar dari dunia ini karena mereka memang tak diinginkan dimana pun dia berpijak di dunia." aku membasahi bibirku yang mendadak kering, "Kalau kau, kau tak layak untuk bunuh diri. Masih banyak orang yang sayang padamu di dunia ini."
Rahang Luke mengeras, matanya berubah menjadi gelap, "Kau tak tahu apa-apa tentang diriku!" umpatnya tajam dengan suara kencangnya. Ini dia Luke yang sebenarnya. Aku sudah berhasil memancing emosinya, ini pertanda bagus. Semoga saja dia makin tersulut emosi dan pada akhirnya kembali menjadi Luke yang normal.
"Aku memang tak tahu apa-apa tentang dirimu karena aku tak peduli pada kehidupan mu. Sepasang musuh itu tidak berhak mencampuri urusan pribadi lainnya."
"Aku kira kita sekarang sudah resmi untuk berteman."
Aku tak mau mengucapkan kata apapun. Aku terlalu malas menjelaskan kalau aku membencinya, sudah aku bilang berkali-kali kalau aku tak ingin menjalin pertemanan, apalagi bersama musuh sendiri. Ini terlalu salah sebenarnya. Untuk sekarang biarlah dia berasumsi sesuka hatinya tentang hubungan kita yang aneh ini, aku tak mau peduli. Mau dia bilang status kita berteman atau apapun, aku tetap akan bersikap dingin padanya.
"Cher." panggilnya lembut menghipnotisku untuk menoleh. Senyum kembali dia pancarkan, senyum itu memang tak seindah milik Harry tapi senyum itu jelas lebih tulus daripada punya Harry. "Aku akan berusaha sampai kau percaya padaku."
"Can I ask you something?"
"Yeah. Go on."
"Bagaimana masa lalumu bisa terhubung denganku?"
Raut wajah Luke menegang seketika. Kalau diperhatikan baik-baik, ada setitik air menumpuk di matanya. Luke langsung mengalihkan pandangannya menghindari tatapanku. Aku kira dia tidak akan menjawab pertanyaan sensitif ini, tapi aku salah besar.
"Tidak secara langsung mengarah padamu, tapi tetap terhubung denganmu."
"Apa maksudmu?"
Luke mendesah panjang, dia terlihat kacau sekali. Dia mengacak rambut belakangnya kasar, tangannya terkepal di atas setir. Mungkin kalau situasinya normal dia akan meninju kepalan tangan itu padaku. "Belum saatnya, Cher."
"Lalu, kapan aku akan tahu?"
"Tunggu semuanya jelas dulu. Aku juga belum paham situasi ini."
Aku mengerutkan bibir sebal. Aku paling tak menyukai misteri atau rahasia seperti ini. Dari kecil aku sudah haus akan segala hal, kalau aku tak tahu tentang suatu masalah aku akan memecahkannya hingga ke akar-akarnya. Kalau sampai dahaga keingintahuanku tak bersambut dengan baik, aku bisa gila. Serius!
Aku ingat dulu sekali waktu itu umurku masih tujuh tahun. Waktu itu aku sedang tergila-gila pada permainan rubik, sampai malam mainan itu tetap berada dalam genggamanku. Seminggu aku mencoba, tak ada hasilnya sama sekali. Lalu aku melihat salah satu temanku berhasil memecahkan permainan itu dalam waktu satu menit. Aku jelas marah. Aku tak suka dikalahkan, apalagi anak itu sombong sekali. Aku terus berusaha sampai-sampai ubun-ubunku memanas tapi usahaku tetap tak berjalan dengan baik. Sampai sekarang aku masih belum bisa memecahkan teka-teki permainan itu, ini sungguh hal yang menyedihkan.
"Kenapa kau melamun?" tanya Luke membuyarkan lamunan masa kecilku.
Aku menggeleng dengan cepat, "Nothing. Bisakah kau mengantarku pulang sekarang?"
"Apa kita tak seharusnya bermain dulu? Maksudku ini hari pertama kita berteman, seharusnya kita melakukan hal-hal yang dilakukan teman. Hang out misalnya."
"Kau lupa satu hal," aku mengingatkan penuh dengan penekanan di tiap katanya agar dia paham dengan situasi aneh di antara kita, "We are friends based on hateful. Jadi, kita masih tetap saling membenci. Dan orang yang saling benci tak seharusnya pergi bersama."
"Okay."
Luke jelas kecewa tapi dia tetap mengangguk dan menyetujui pilihanku untuk pulang ke rumahku. Luke mengemudikan mobilnya dengan sangat hati-hati, padahal mobil ini seperti mobil Harry, yaitu mobil sport tapi cara Luke mengemudikannya seperti ia tengah menunggang kuda yang tengah cedera kaki. Ingin rasanya aku berteriak di depan mukanya untuk menaikkan speedometer mobil ini. Tapi hal seperti itu tidak mungkin aku utarakan. Aku malas membuang suaraku percuma untuk orang seperti Luke. Makanya, sampai di depan rumahku tetap tak ada suara yang berdengung. Hanya sepi yang membusungkan diri menjadi satu-satunya sumber suara.
"Thanks." ujarku cepat langsung masuk ke dalam rumah. Aku mendengar Luke meneriakkan namaku tapi aku berlari makin kencang.
Saat ini yang ada di pikirkanku adalah aku ingin menghukum diriku. Hari ini adalah kejadian tergila yang pernah aku lakukan. Aku berbicara dengan Luke dan aku menyetujui saran dia agar kita menjadi teman.
Aku jadi penasaran bagaimana dia akan mengumumkan ke seisi sekolah tentang hubungan kita. Apa kelompoknya akan tidak setuju? Akankah sikap semua murid bisa menjadi baik karena Luke sudah menasbihkan aku sebagai temannya? Atau yang paling buruk-yang aku harap ini terjadi, Luke akan dianggap gila dan dia akan diperlakukan seperti sampah sepertiku. Aku yakin pilihan ketiga takkan pernah terjadi. Sampai dunia berhenti mengitari matahari juga Luke Hemmings akan menjadi sumber kegilaan para gadis di sekolah. Seandainya Luke menjadi aktor atau penyanyi atau apapun yang berhubungan dengan dunia entertain, dia pasti akan menjadi bintang besar. Semua orang akan mendukungnya. Dan kalau dia benar-benar serius, mungkin dia akan sukses besar dan jutaan manusia dari seluruh penjuru dunia akan mengelukan namanya.
→→→Lonely Lullaby←←←
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro