Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 6 : What the hell they're up to?

And suddenly I become a part of your past
I'm becoming the part that don't last
(The Fray - Over My Head)

"Why are you cutting yourself?" Harry menidurkan badannya di tempat tidur. Aku bisa tahu dari nada suaranya kalau Harry tak begitu berminat pada diriku.

"It's not your business anyway. And I'm pretty sure you're don't give a single fuck for my well being."

Harry terkekeh, "You're right. Tapi apa mungkin kau melukai dirimu karena tingkahku dan yang lain?"

"Uhm, not the whole thing. Just part of it. Aku punya masalah bukan hanya dengan kalian saja." Aku menoleh ke belakang menatap Harry yang memandangku dengan tatapan mata yang begitu intens, "But, thank you tough. Bukan untuk kebaikan hatimu saat ini, tapi terima kasih karena kau sudah membuatku hidup dalam neraka selama ini."

"Uhm... Aku bingung harus bilang apa."

"Then, don't. Just hate me."

"Well, okay. I hate you."

"Thank you."

Aku merasa nyaman berbicara dengan Harry. Harry tidak menunjukkan sisi lembutnya padaku, dia masih membenciku tapi saling keterbukaan begini membuatku merasa untuk pertama kalinya senang berbicara dengan orang lain. Harry tak menunjukkan dia peduli padaku, dia tak menceramahiku agar aku berhenti bersikap tolol, Harry tetap Harry yang benci padaku. Dan aku senang akan hal itu.

Di luar sikap perhatiannya yang aneh. Aku tak merasakan keganjilan. Sebagian besar sisi di hatiku mengatakan agar secepatnya pergi dari kandang ular berbisa ini, tapi anehnya aku tetap bertahan di tempat ini.

Rumah Harry yang besar sama sepinya dengan rumahku. Paling hanya ada tiga orang asisten rumah tangga di tempat ini dan satu orang koki italia bernama Fabio. Aku kaget sekali Harry bisa bersikap sangat ramah dengan Fabio, dia bahkan ikut membantu Fabio di dapur.

Aku menghabiskan waktuku hingga malam di rumah Harry. Tak banyak yang kita bicarakan, Harry lebih sering mengobrol dengan ketiga asisten rumah tangganya yang mayoritas ada di rentang tiga puluhan, dan dia lebih sering bercanda dengan Fabio, mungkin karena umur mereka yang berdekatan. Mendengar tawa antara Harry dan seisi rumah ini saja sudah membuatku betah berlama-lama. Tak jarang aku dijadikan bahan lelucon Harry dan ajaibnya sama sekali tak ada rasa sakit hati seperti yang biasa aku rasakan. Biasanya aku selalu takut pada Harry di sekolah, tapi lihatlah sekarang aku dan Harry bisa melebur begini. Aku yakin keajaiban ini hanya bertahan untuk malam ini, tidak mungkin Harry akan berbicara tanpa memukulku besok di sekolah. Mustahil.

Aku dan Harry duduk di meja makan panjang untuk makan malam. Fabio dan tiga orang asisten rumah tangga Harry datang satu persatu membawakan hidangan yang biasanya aku jumpai di restoran berbintang Michelin. Aku tak bisa berhenti berdecak kagum saat melihat hidangan demi hidangan mendarat di meja makan ini.

"Bagaimana kita akan habiskan ini semua?"

"Tidak perlu dihabiskan. Dicicipi saja sudah membuat Fabio senang. " Harry melemparkan senyum memabukkannya lagi membuat pipiku memanas tanpa bisa aku cegah.

"Apa kau tinggal sendiri disini?" Aku mengalihkan pandanganku ke steik di depanku. Semakin lama aku memandang Harry, bisa-bisa aku benar-benar jatuh cinta padanya.

"Nope. Ada satu orang lagi. Saudara tiriku."

"Kau punya saudara tiri?"

"Yeah, sudah dua tahun."

Belum habis keterkejutanku tentang fakta yang aku yakin tak ada satu pun murid di sekolah tahu, suara pria berdengung ke sekeliling ruangan. Suara yang familiar. Aku membentuk huruf o sempurna setelah melihat pria pirang dengan tindikan di bibirnya sekarang mengambil kursi persis di sebelahku dan berhadapan langsung dengan Harry di seberang. Harry memutar matanya jengkel melihat Luke.

"So, you and Luke-"

Belum sempat ucapanku selesai, Luke memotongnya, "Wow. So you two are like friends right now?"

"Nope. Absolutely fucking no. He hates me and I hate him. Simple as that." aku menoleh ke Luke yang tersenyum miring melihat Harry, "Dan hal itu berlaku untukmu juga." senyum miringnya menghilang.

Luke terkekeh sambil bersiul kencang, "Wow. Jadi, kau sudah berani sekarang? Jangan kira kalau kau sudah bersama bocah itu kau bisa bebas melawan atau menentangku." tantang Luke dengan rahang tegasnya.

Aku melihat Harry tak peduli satu pun ucapan saudara tirinya itu, dia hanya menautkan alis ke atas sambil menjejalkan potongan steik ke mulutnya sangat tenang. Kalau Harry tak mau bersuara membela diri, biar aku saja. Entah kenapa aku semakin berani saja pada dua orang ini, mungkin karena ini bukan di lingkungan sekolah. Tak ada pendukung mereka yang menyebalkan.

"For your damn information. Aku dan Harry tidak bersama dan tak akan pernah bersama. Kedua, aku tak berniat melawanmu. Aku juga tak peduli kau mau menghukumku sesuka hatimu jika kau merasa aku terlalu lancang."

Giliran Harry yang bersiul, "Someone in pissy mood right now. Aku harap ada yang segera sadar diri sekarang untuk secepatnya pergi dari sini."

"Shut the fuck your mouth up!" Luke berdiri dari tempatnya dan pergi keluar ruang makan dan berlari kembali ke luar rumah megah ini.

"Baguslah kau segera sadar untuk pergi." kata Harry walau Luke sudah membanting pintu rumah dengan suara yang sangat kencang. "Jangan pedulikan dia. Makan saja makananmu."

"Aku tak suka dengan dia."

"Kau tak sendiri."

"Aku juga tak suka denganmu."

"I'm glad to hear that."

"Aku tak menyangka kalian saudara tiri."

"Aku juga tak mau mengakuinya." Mata tajam Harry terarah padaku, "Biarlah fakta ini menjadi rahasia. Jangan kau beritahu siapapun. Kalau tidak..."

"Tenang saja. Aku juga tak berminat pada hubungan kalian."

"Baguslah."

Sebenarnya bohong kalau aku bilang tak berminat. Banyak sekali pertanyaan yang ingin aku ajukan tentang fakta ini. Luke dan Harry saudara tiri? Bukankah berita yang aku dengar hubungan orangtua Luke sangat akur. Ah, ya... pantas saja Harry tak pernah terkena detensi walaupun dia selalu membuat keonaran, pasti karena ayah tirinya. Tunggu apa ayah tiri Harry adalah ayah kandung Luke atau ibu tiri Harry yang ibu kandung Luke? Kalau aku dekat dengan Harry pasti aku akan menyerbunya dengan beragam pertanyaan. Sayangnya, status kita berdua hanya sepasang musuh. Tak ada musuh yang peduli pada kehidupan pribadi musuhnya.

Ponselku bergetar untuk kesekian kalinya. Aku selalu mengabaikan panggilan yang sudah tentu dari Helen atau Carlos ini, tapi karena sekarang sudah malam, aku akan menjawabnya. Sekalian aku ingin meminta Carlos menjemputku.

Mataku membulat begitu aku melihat nama yang tertera di ponselku. Nama ini nama yang tabu dalam ponselku. Dengan hati-hati aku mengangkat ponselku berharap aku mendengar perhatian dari ibu kandungku sendiri walau aku tahu itu hanya terjadi dalam mimpi. "Hallo Mom."

"Charlotte, where the fuck you are right now!" aku tak bisa menahan senyum di wajahku. Nada suara Mom menyiratkan satu hal yang selalu aku nantikan : panik. Mom akhirnya khawatir tentang keberadaanku.

"Aku sedang ada di rumah teman, Mom."

"Teman? Kapan kau punya teman! Kalau dalam satu jam kau tak memunculkan wajah di rumah, jangan harap kau bisa masuk ke rumahku lagi."

"Baik. Aku akan bersiap untuk pulang sekarang."

Tak ada balasan. Mom langsung mematikan sambungan tapi aku tetap mempertahankan senyumanku. Baru kali ini aku merasakan kebahagiaan seperti ini. Ini perasaan yang sudah lama aku tunggu, dan akhirnya Tuhan mengabulkan doaku. Aku kira Mom tak mengharapkan diriku, aku kira Mom senang aku tak tampak di depan mukanya, tapi dari nada suaranya tadi sudah jelas kalau Mom peduli padaku. Jadi, reaksi bahagiaku sangat wajar saat ini.

"Kau ingin pulang?"

"Ya. Aku akan menelpon Carlos." kataku cepat sambil menempelkan ponsel ke telinga menunggu Carlos mengangkat sambungan ini.

"Aku bisa mengantarmu sekarang."

Aku melihat kejujuran dan ketulusan di mata Harry, tapi Harry bersikap tetap dengan gaya angkuhnya. "Cukup bersikap baik sampai disini. Tetaplah membenciku seperti biasanya."

Carlos mengangkat ponselnya. Dia bilang dia akan tiba dalam lima belas menit.

"Aku akan ke atas." Harry bangkit dari kursinya. Raut mukanya kembali dingin seperti biasa. Dia tak meliriku dan mulai berjalan membelakangiku.

"Terima kasih untuk hari ini." Sahutku tulus tapi Harry tak berbalik. Dia tetap berjalan seakan tak mendengar apapun. Harry sudah kembali menjadi Harry. Ini yang aku inginkan, tapi kenapa aku merasa hampa.

Aku menggelengkan kepala mengeyahkan pikiran aneh itu. Tidak. Aku tak boleh jatuh dalam pesona orang itu. Harry sebaik apapun, dia tetap Harry. Harry Styles yang membenciku. Harry Styles yang senang menghinaku. Harry Styles yang tak segan memakai kekerasan untuk menghukumku.

Aku berjalan keluar. Sepertinya menunggu Carlos dari luar akan lebih baik. Ketiga asisten rumah tangga Harry berniat menemaniku di luar, tapi aku menolak. Aku ingin sendirian sekarang.

Aku melangkah dengan berat ke luar. Rasanya rumah ini terlalu nyaman aku tinggalkan. Ini pertama dan terakhir kalinya aku menjejakkan kaki di rumah ini. Langkahku yang lemah makin melemas setelah melihat sosok pria pirang yang menyandarkan punggungnya di dinding sambil mengesap rokok di tangannya.

Luke kaget melihatku, dia lalu membuang rokok itu ke sembarang arah. Satu lagi hal yang membuatku membenci Luke, dia perokok dan dia tidak mencintai lingkungan.

"Mau kemana kau?"

"Pulang tentu saja." Aku masih marah dengan kejadian tadi siang, jadi sikap dingin masih aku pertahankan. Sebisa mungkin aku tak mau menatap matanya. Aku takut kalau aku melihat wajahnya aku bisa bertindak konyol dengan menampar wajah tampan itu.

"Harry tidak mengantarmu?"

"Tentu saja tidak. Aku tak akan pernah berteman dengan saudara tirimu itu."

"Jadi, dia sudah bilang kalau kita bersaudara?"

"Ya. Tenang saja. Aku takkan membocorkannya kepada siapapun. Aku tak berminat mencampuri urusan kalian berdua."

"Apa lagi yang kalian bicarakan?"

"Tidak ada."

"Apa dia bicara tentang masa lalu?"

Aku menoleh jengah ke arahnya. Mata Luke menyiratkan kepanikan yang tak pernah aku lihat sebelumnya. Selalu masa lalu. Apa sih masa lalu mereka denganku? Aku bahkan belum genap satu tahun bertemu mereka, dan mereka sudah membuatku seperti di neraka selama ini, jadi mana mungkin aku tersangkut pada masa lalu mereka.

"Aku tak mengerti dengan masa lalu apa yang kalian bicarakan. Aku juga tak mau peduli dengan masa lalu itu. Dan jangan harap kalian bisa mempermainkanku karena masa lalu yang bahkan aku tak tahu apa itu. Tolong, jauhi saja aku.. kembalilah menjadi orang yang membenciku. Kembalilah menjadi normal."

"Aku tidak bisa menjadi normal sejak bertemu denganmu. You driving me crazy, woman!"

"Baiklah. Lakukan sesuka hatimu. Aku tak mau peduli."

Hening tercipta di antara kita. Hanya hembusan angin malam yang berdesau. Aku lebih suka suasana seperti ini.

"Cher..." panggilnya tak membuatku menoleh, "Apa mau melukai dirimu karena perlakuanku?"

"Hm." jawabku, singkat, padat dan jelas. Aku tak mau berlama-lama mengobrol dengan orang ini. Aku tak suka cara dia mengasihaniku.

"Maaf. Aku tak bermaksud begitu."

Untungnya aku tak harus berlama-lama berbincang dengan Luke karena Carlos sudah sampai. Tanpa berucap pamit, aku langsung menaiki mobilku. Luke Hemmings terlihat sangat tulus mengucapkan kata maaf, tapi aku belum bisa mempercayainya. Aku tak suka dikasihani. Sorot mata Luke yang tajam selalu nanar menatapku. Ini tidak benar... seorang pembully tak seharusnya punya iba terhadap korbannya.
Ada apa sebenarnya dengan dua pria itu.
Harry dan Luke. Mereka sukses membuatku penasaran. Kalau kata Forrest Gump, mereka persis seperti kotak cokelat. Aku tak tahu apa yang ada di dalamnya sebelum aku mencobanya lebih dulu. Bisa saja isinya pahit atau bahkan manis. Aku tak percaya diriku bisa begitu lama ada di sangkar rumah ular itu.
Bahkan aku sudah mulai menaruh rasa suka pada Harry. Ini gila. Ini tak normal.
Aku harus kembali menjadi Charlotte yang tak disukai siapa pun. Aku harus kembali menjadi Cher yang dibenci. Aku tak mau jatuh ke pesona siapa pun. Kalau sampai aku jatuh, aku takut tak akan tak rela melepaskan dunia ini. Aku takut aku keberaniaanku untuk keluar dari dunia ini akan sulit.
Jadi, menjadi normal kembali bukan sebuah pilihan. Ini sudah keharusan.
Takkan kubiarkan dua orang saudara tiri itu merusak impian yang sudah aku rancang sangat baik. Beberapa bulan lagi aku sudah punya rencana hebat di ulang tahunku yang ke - 17. Semua keinginan orang-orang yang ingin aku enyah di dunia akan kukabulkan di hari jadiku. Hanya hitungan bulan. Aku harus bersabar sampai tiba waktunya. Aku harus menjaga perasaanku sendiri. Dibenci lebih baik daripada dicintai.

***
Beruntungnya Harry kembali menjadi seperti biasa keesokan harinya. Tak ada senyum merekah, tak ada perhatian yang dia berikan kemarin, semua hal yang aku anggap kemarin terlalu indah terkesan tak nyata sekarang.

Harry berjalan diapit oleh Michael dan Cassie dengan gaya angkuhnya. Tak jarang Cassie mencoba menggandeng tangan Harry, tapi tak pernah Harry berikan. Aku tak bisa menahan senyum melihat kejadian itu. Perempuan tak tahu malu,
! Sudah jelas Harry tak menyukainya masih saja terus menempel pada Harry. Mungkin itu taktik Cassie supaya bisa terkenal dan dianggap telah mengencani orang terpopuler di sekolah. Buktinya sudah ada di depan mata, hanya mata orang bodoh yang percaya kalau Cessie benar-benar merajut kasih dengan Harry. Dan percayalah mayoritas isi sekolah ini dihuni oleh anak-anak bodoh.

Cassie yang pertama menyapaku. Dia mendekat dan berasa sekali aroma parfum yang terlalu kuat. Aku tak begitu suka wangi parfum wanita, dan aku lebih tidak suka wanita yang berlebihan memakai parfumnya. Baunya sungguh tak sedap. Sebisa mungkin aku menahan napas saat Cassie mendekat.

"Are you cutting yourself?" tanyanya persis di depan lift. Anak-anak dengan cepat mengerumuni tempat kejadian. Bahkan aku diseret mundur beberapa langkah oleh tangan-tangan itu agar penonton bisa memuaskan dahaganya.

Perempuan tempramental dan laki-laki kasar, kalau harus memilih aku lebih menyukai yang kedua. Aku tak suka mendengar wanita marah-marah, semua itu berpengaruh ke otakku yang langsung menandakan sinyal bahaya, makanya aku hanya bisa diam tergugup seperti sekarang. Mungkin ini ada hubungannya dengan kisah hidupku yang selalu mendapat omelan dari Mom.

Ah, ya... aku lupa menceritakan kejadian tadi malam. Kemarin Mom dari nadanya saja sudah menyiratkan rasa perhatiannya padaku. Tapi kalian tahu apa yang aku dapat ketika aku sudah tiba di dalam rumah? Mom dan laki-laki sialan itu sedang berciuman mesra tak tahu malu, Mom bahkan tak peduli sahutan aku yang mengumumkan soal ketibaanku. Mom terlalu sibuk meladeni nafsu pria itu. Mom tak membalas tatapan mataku barang sekali saja. Dia malah melotot ke arahku dan menyuruhku pergi lewat isyarat tangan. Memang benar kata orang, jangan terlalu tinggi menaruh harapan karena kalau harapan itu tak terkabul akan sakit sekali jatuhnya.

Aku tak menjawab pertanyaan tak bermutu Cassie. Semua orang di sekolah sudah menyaksikan buruknya tanganku, jadi untuk apa dia menanyakan hal yang sudah jelas ia tahu? Kalau untuk pembuktian kenapa tak sekalian saja dia membuka sweater merahku secara paksa sekarang.

"Kau sudah berani sekarang?" Harry mengepalkan tangan di samping tubuhnya, "Kalau ada yang bertanya padamu. Kau harus menjawabnya!" Ini benar-benar Harry yang seratus delapan puluh derajat berbeda dari Harry yang kemarin membuatku sangat nyaman. Kenyamanan yang aku rasakan kemarin sudah tak tersisa lagi, sekarang aku malah kembali takut pada orang ini.

"Yes. I'm cutting my self."

Cassie dan sederet penonton dengan seragam menyoraki kejujuranku. Dia lalu bertepuk tangan dan semakin dekat denganku. Lalu seperti yang aku pikirkan beberapa menit lalu, dia membuka sweaterku dengan sangat kasar. Tanganku kembali terekspos, ada beberapa luka sayatan baru yang aku buat kemarin dan masih berasa sedikit darah yang keluar. "Ugh. Menjijikan." seru Cassie langsung melempar sweaterku persis ke wajahku.

"You should'nt belong here." bisik Cassie tanpa nada. Hanya ancaman yang menjadi dominan di nada suaranya, "Neraka baru pantas untukmu."

Aku tetap diam. Kemudian giliran Michael yang mendekat. Rambutnya sekarang dia beri warna biru langit serta merah muda. Aneh sekali perpaduan warna itu. Dan karena warna rambut yang aneh ini, aku tak bisa serius mendengar apa yang dia ucapkan. Aku sedang berjuang menutupi tawa kerasku saat ini.

"So, apa mungkin tingkahmu itu karena ulah kami?" tanya Michael sangat lembut. Memang di antara anggota 5 SD yang lain, hanya Michael yang lembut dan penuh daya humor. Dia juga jarang melayangkan tangannya ke tubuhku. Pokoknya hanya dia satu-satunya anggota 5 SD yang sangat lembut, ya setidaknya pada perempuan karena bukan rahasia umum kalau dia itu pria paling playboy di sekolah ini. Tapi mana mungkin 'kan dia tertarik padaku? Well, mungkin sikap lembutnya itu hanya untuk menjaga reputasi.

Aku menggeleng pelan. Aku takut kalau aku mengangguk malah membuat keadaan semakin ricuh. Lalu secepat kilat Harry Styles mengambil alih, dia berdiri persis di depanku dengan senyum miring menakutkannya. Tangan dia mengambil aba-aba bersiap melakukan tindakan, aku langsung memejamkan mata. Harry Styles pasti akan memukulku.

Cup!

Suatu yang dingin kembali menjamah pipiku. Aku melotot melihat Harry yang tersenyum miring lalu mengedipkan sebelah matanya padaku. Bukan hanya aku yang terkejut, semua orang membuka mulutnya tak percaya atas tindakan Harry. Yang paling parah adalah Cassie, wajahnya berubah menjadi ungu menahan marah, dalam satu sentakan dia menarik Harry dari hadapanku dan menamparku dengan kekuatan penuh. "Whore!" Serunya tajam lalu mendorongku kencang hingga aku bisa merasakan punggungku menabrak dinding dalam hitungan detik.

Mata Cassie sudah berselimut kabut amarah. Dengan sangat ringan dia kembali menampar pipi kananku berkali-kali hingga aku bisa merasakan darah di ujung bibirku. Aku melihat Harry masih diam di tempatnya sambil melipat tangan. Tak ada satu pun gerakan yang mengisyaratkannya untuk menolongku. Hah, bodoh sekali.... Mana mungkin pula Harry menolongku. Dia manusia yang membenciku. Dan aku bersumpah tak butuh pertolongan siapapun saat ini.

Amarah Cassie makin tak terkontrol. Sekarang dia mulai menarik kencang rambutku dan memukul kepalaku ke dinding berwarna putih. Tak ada rintihan kesakitan atau perlawanan berarti dariku, aku hanya diam meresapi kesakitan yang sudah jelas membuat kepalaku pening. Lima kali dia menyentak kepalaku, lalu dia berhenti begitu saja. Tangan seseorang menahan aksinya dia. Luke datang mendorong tubuh Cassie begitu saja. Cassie mencoba bangun dari lantai, "What the fuck! She's a fucking whore."

"Biar aku yang mengurusnya." kepala Luke menoleh ke belakang, tempat Harry masih berdiri dengan sangat tenang, "Tak boleh ada siapa pun yang menyentuhnya. Hanya aku." tangan Luke mengepal di sisi tubuhnya.

Dengan satu tarikan kencang, dia membuatku pergi dari tempat yang sudah mulai ramai dengan gerombolan orang-orang. Aku tak punya kekuatan untuk membalas tingkah Luke. Kepalaku terlalu pusing untuk melihat semua hal dengan jelas. Pandanganku sudah mulai kabur, kakiku juga gemetar akibat kesakitan dari kepalaku dipaksa untuk berjalan cepat. Aku ingin protes sudah jelas, tapi bagaimana caranya dengan kondisi seperti ini. Aku bahkan yakin dalam hitungan detik, aku akan terjatuh dalam bayangan gelap.

Seakan membaca kondisiku. Luke berhenti berjalan. Dia menatapku penuh rasa khawatir, "Are you okay?"

Aku menggeleng. Otakku sedang tidak beres sekarang. Bagaimana mungkin aku memberitahu kelemahanku sekarang pada musuh nomor satuku ini.

Luke mendesah berat. Sekarang kita di area parkir, tak banyak orang disini. Untungnya Luke tak melakukan apa yang aku pikirkan. Tadinya, aku pikir Luke akan membopong tubuh kurusku, tapi Luke hanya meletakkan tangannya ke bahuku menuntun diriku untuk berjalan. Dia menyelaraskan langkahnya dengan langkah pelanku. Perlakuan Luke sangat lembut, dan aku benci ini. Aku benci dikasihani, aku benci menjadi lemah!

Aku tak sadar sudah ada di depan mobil Buggati merah kepunyaan Luke. Apa lagi ini? Kemana dia akan membawaku?

Aku tetap tak memberi perlawanan saat dia memasukkan diriku sangat lembut ke jok mobil. Aku menghela napas panjang setelah bisa duduk, ini sangat nyaman. Aku memejamkan mata lupa dimana aku sekarang berada, sebelum aku benar-benar lelap dalam kegelapan aku mendengar Luke berkata, "Mulai dari sekarang, aku bersumpah akan menjagamu."

***
Renee's notes:

Lagi bernafsu banget buat lanjutan cerita ini.
So guys, what do you think?
Alurnya kecepetan, kelamaan, apa normal? Mohon bantuannya buat membuat cerita ini jadi layak dibaca.

Aku nggak minta banyak. Aku cuma mau kalian Voment cerita aku. Karena dengan begitu aku tahu berapa banyak orang yang suka cerita ini, dan ini bisa meningkatkan antusias aku buat nulis .
Kalau mau lanjut ceritanya, di voment ya.
Nanti kalau responnya bagus aku bakal update bab lainnya nggak lama dari hari sekarang.
Pokoknya , sampaikan aja unek-unek kalian tentang cerita aku. Bilang aja dimana letak keganjilan di cerita ini, supaya aku bisa diperbaiki.

Tolong bantuannya ya guys.

Maaf kalau cerita ini gak sesuai ekspetasi kalian. Aku hanya menyalurkan daya khayalku lewat tulisan, dan aku bukan penulis matang. Aku juga masih belajar.

Terima kasih sudah baca cerita ini, semoga kalian suka.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro