Chapter 5 : Beautiful Disaster
'cause I don't know
I don't know what he's after
But he’s so beautiful
Such a beautiful disaster
(Beautiful Disaster - Kelly Clarkson)
Seakan semuanya tak bertambah buruk, belum habis rasa sakit hatiku atas kelakuan dua orang pria aneh itu, secara berturut-turut aku merasa sangat tak dibutuhkan di dunia. Aku senang Mom pulang ke rumah. Dalam bulan ini Mom sering sekali pulang, ini rekor terbaru. Di luar semua rasa sakit hatiku karena wajah Mom yang tak pernah memancarkan sinar bahagia kepadaku, aku tetap senang melihat Mom dari dekat.
Tapi tidak untuk kali ini. Mom datang tidak sendiri, dia membawa seorang pria muda tampan sekali. Pria berambut pirang itu membopong Mom yang pulang dalam keadaan mabuk.
Saat Mom melihatku yang panik dengan keadaannya, Mom malah menghempaskan tanganku kencang sekali. Lalu satu tamparan mendarat di pipiku, "Mind your own damn business, you little fucking bitch!" aku memang sudah sering mendengar semua kalimat ini dari banyak anak-anak di sekolah, tapi ketika Mom yang mengatakan hal ini, rasa sakit itu seribu kali lebih menusuk.
Kalau pria pirang bodoh itu mengaku laki-laki sejati, seharusnya yang dia lakukan sekarang adalah melerai pertikaian ini. Tapi pria itu malah tersenyum licik dan makin mengeratkan tangannya di bahu telanjang Mom. Pertanyaan tentang siapa pria lancang ini dijawab begitu Mom membelai kepala pria yang aku yakin umurnya di bawah Mom, lalu satu lumatan bibir mesra Mom pamerkan di depanku. Semua hal yang ada di depan aku sangat menjijikan, aku tak mau muntah di tempat ini jadi aku putuskan untuk segera pergi.
Mom punya pacar lagi, tapi kenapa Mom tidak pernah benar mencari kekasih?! Skemanya selalu seperti ini. Mom pamer kemesraan dengan laki-laki baru, mereka kasmaran, lalu dalam hitungan minggu setelah mereka resmi di mata hukum, sang pria pujaan akan membuka topeng aslinya. Semua pria yang ada di dekat Mom hanya mengincar harta Mom, termasuk pria tadi. Jam tangan bermerk yang harganya mahal itu sudah membuktikan semuanya. Aku pernah melihat Mom membungkus kado jam tangan itu, dan aku mendengar obrolan ringan Mom dengan Helen yang membicarakan kekasih baru Mom. Entah Mom terlalu bodoh atau laki-laki itu sangat beruntung, aku tak berhak menilai. Bagi Mom, aku hanya akan selalu menjadi biang masalah yang mencemarkan hidupnya. Mom membenciku. Satu patah kata keluar dari mulutku, maka aku akan dihadiahi beragam cacian menyakitkan. Selalu.
Sungguh tak ada gunanya aku hidup kalau semua yang terjadi pada hidupnya tak berguna begini. Aku mengambil sesuatu di laci kamarku. Silet yang aku letakkan di bawah kertas-kertas agar Helen tak curiga. Helen sering sekali mengecek keadaan benda tajam di kamarku untuk menjaga agar aku tidak melakukan hobiku lagi. Tapi sayang Helen lupa, aku bukan gadis bodoh. Semakin gencar dia menentangku, maka aku semakin semangat melancarkan gerakan menyakiti tubuhku. Seperti memakai narkoba, aku merasa melayang saat melihat darah keluar dari sayatan yang aku buat. Aku merasa tenang dan sekelilingku tak lagi menjadi beban. Aku ada di titik ternyamanku ketika melakukan itu. Aku bahagia melakukan tindakan itu. Seharusnya kalau Helen sayang dengan aku, Helen membiarkanku bebas melakukan self harm atau bahkan membantuku mewujudkan cita-citaku. Bunuh diri dan mati.
Aku memasang headphone dan menyetel lagu Welcome To My life dari Simple Plan dengan volume super kencang. Lagu itu sudah mendeksripsikan semua hal yang sesuai dengan jalan hidupku, dan dengan mendengarkan lagu itu aku semakin terpacu untuk menyayat pergelangan tanganku. Aku tak pernah diinginkan dan dengan sangat menyesal aku akan mengucapkan'welcome to my fucking life' bagi yang sudi mendengar cerita menyakitkanku.
Lagu berputar kencang sekali, telingaku seperti berdenging karena intensitas yang kuat itu dan jantungku berdetak semakin cepat dari yang seharusnya terjadi. Aku sudah melakukan sayatan pertama, tak ada darah yang keluar. Percobaan kedua pun belum ada darah yang keluar, hanya bekas sayatan yang kontras dengan lengan pucatku. Dengan penasaran bercampur tekad yang kuat aku menekan silet dua kali lebih kencang, dan aku berhasil! Darah keluar dari lenganku.
Aku tersenyum senang tapi air mata menggenang di pipiku. Aku tahu ini salah. Aku tahu ini tak normal. Aku tahu aku tak pantas melakukan hal ini. Ini tak normal, aku benci menjadi tak normal. Sayatan selanjutnya semakin dalam aku buat, semakin banyak darah yang keluar. Ini hukuman buatku... ini hukuman akan sikapku yang tak normal.
Sayatanku terhenti sejenak saat ponselku kini memberhentikan lagu favoritku dan berganti dengan nada panggilan telepon. Pertanyaan yang paling tepat bukan kenapa menelponku selarut ini, tapi siapa yang sudi menelponku?
Aku membiarkan ponsel terus berdering dan tetap melanjutkan aksi ganjilku. Tapi ponsel itu tetap berbunyi, karena dilanda rasa penasaran aku geser ikon berwarna hijau di ponselku.
Aku tak langsung menjawab, aku membiarkan diam yang menjadi sumber utama suara yang aku keluarkan. Tak ada yang tahu nomor ponselku karena tak ada yang mau bertanya, jadi siapa yang punya nomor ponselku? Aku mau tahu jawabannya... jadi aku biarkan diam mengisi suara dulu. Aku berharap suara di ujung telepon yang berbicara lebih dulu.
Sambil menunggu ada sahutan aku masih melanjutkan tingkah konyolku. Kali ini tangan kanan yang menjadi korban. Aku bersandar di dinding tepat di bawah jendela yang terbuka, angin malam membuat luka sayatan itu semakin nikmat. "Ah..." aku tak bisa mengontrol erang kenikmatan tindakanku ini. Aku bahkan lupa aku masih berhubungan via suara dengan orang yang misterius itu.
"Cher... what the fuck you're doing?" Mataku terbelalak terbuka mendengar suara itu. Suara itu sangat familiar. Tak mungkin 'kan orang itu yang menelpon?
"who is it?"
Tawa berat di seberang terdengar, "Your enemy, i can tell."
Musuhku ada banyak sekali, tapi ada satu suara yang paling cocok dengan pria ini. "Luke?" aku bahkan menganga tak percaya dengan kejadian langka ini.
"Yes i am. Sekarang beritahu aku apa yang tadi kau lakukan?!" mungkin pendengaranku agak sedikit buruk karena aku mendengar nada panik di sana. Seorang Luke panik akan eksistensi aku yang ingin dia lenyapkan, bahkan orang terbodoh pun masih bisa membedakan kenyataan dan mimpi konyol.
"Darimana kau dapat nomor ini?" aku tak bisa menahan rasa penasaranku.
"Bukan urusanmu!" sahut Luke kencang, "Sekarang beritahu aku apa yang tadi kau lakukan?"
Alisku mengerut heran, buat apa Luke menanyakan hal tak sepenting ini. Ingin sekali aku jawab pertanyaannya dengan suara lantang sama seperti yang tadi ia lancar kan kepadaku, tapi aku tak setolol itu untuk mendapat serbuan tamparan, cacian, hinaan, dan lemparan sampah dari seluruh penjuru sekolah ketika tahu sang pangeran yang mereka puja aku bentak. Jadi aku memilih untuk menjawab jujur, lagipula aku tahu ini yang dia inginkan dari dulu.
"Hanya sedang menikmati keindahan hidup yang membuat orang bahagia."
"Maksudmu?"
"Tunggu sebentar lagi... Aku akan buat impianmu dan kawanmu itu terkabul. Aku butuh waktu yang tepat. "
"Shit! Apa yang ingin kau katakan sebenarnya!"
"Tunggu saja. Aku yakin waktunya sudah dekat. Aku yakin Tuhan akan menyerah menyelamatkan aku. Tapi aku mohon beri aku waktu."
"Kau seperti orang sedang mabuk. Apa kau minum? Atau kau memakai drugs?"
Aku menggeleng, tak sadar dia tak bisa melihat gerakanku, "Ada cara yang lebih bersih dari cara itu. Aku memang benci tubuh ini, tapi aku tak mau mencemarinya."
"Cher... apa pun yang kau lakukan atau kau akan lakukan hentikan sekarang! Kau harus mendengarku... kau... kau .. " aku tersenyum karena perkataan terbata-batanya. Dia saja tak bisa menyelesaikan kalimat berbau positifnya, mungkin itu efek terlalu banyak hal negatif yang keluar dari mulutnya.
"Aku menyedihkan. Ya. Aku tahu itu." kataku dengan nada lemah. Aku rasa darah yang keluar dari lenganku sudah mulai bekerja. Aku merasa pening sekali, dan mataku semakin lama semakin berat. Aku tak punya cukup konsentrasi mendengar apa yang Luke katakan, yang aku tahu kegelapan sudah menyambutku.
---
Sebenarnya aku malas melangkahkan kaki ke sekolah hari. Di luar tubuhku yang masih sangat lemas, aku sadar diri aku tak diinginkan hadir di tempat itu. Kalau Helen tak memaksa dan untuk menutupi kecurigaan Helen,maka aku tak punya pilihan selain terpaksa pergi ke neraka dalam dunia itu.
Aku mengenakan sweater navy blue kesayanganku untuk menutupi luka sayatan yang tak aku olesi obat setetes pun. Aku masih merasakan perih akibat apa yang aku lakukan semalam tapi itu sensasinya. Aku senang merasakan perih di tangan ini.
Seperti biasa, ketika aku datang semua mata memandangku tajam dan beberapa di antaranya membuat lelucon dengan menjadikanku sebagai tempat sampah. Saat aku berjalan semua cemooh kembali terdengar, aku heran apa kosakata itu yang mereka punya untuk menggambarkan diriku. Apa mereka tak bosan menjadikan diriku sumber kesenangan mereka, kapan semua hal menyedihkan ini akan berakhir? Kalau aku memutuskan untuk pindah sekolah, aku yakin situasinya juga akan sama seperti ini. Aku bahkan sudah bisa memprediksi masa kuliah suram akan datang ke diriku. Inti yang mau aku ambil adalah mau kemanapun aku melangkah tetap kebencian yang akan mereka pancarkan. Mungkin punggungku tertulis kata 'silakan membenciku'.
"Cher!" teriak suara familiar yang langsung menghentikan langkahku. Anak-anak memandang sosok yang masih berada di belakangku itu dengan kagum. Mereka menantikan pertunjukan di pagi hari.
Tapi ada yang salah. Aku tak pernah dipanggil dengan nama kecil di tempat ini. Aku selalu dipanggil dengan makian kotor, tapi kenapa pria yang kemarin menelponku ini malah mengumumkan nama panggilan ke seluruh mata siswa-siswa di sini seakan kita berdua sudah sangat dekat. Lebih herannya, tak ada satupun orang yang sadar dengan keganjilan itu. Mereka tetap bersemangat melihat ke arahku menantikan satu pertunjukan penghiburan bagi mereka. Bahkan hampir setengah manusia-manusia ini sudah mengarahkan ponsel mereka untuk merekam kejadian yang setiap hati mereka lihat.
Aku tak mau menoleh ke belakang. Aku juga tak bisa keluar karena aku dijebak oleh lingkaran siswa yang sudah mengelukan nama Luke, wajah mereka sadis semua. Aku kasihan dengan ibu mereka, aku yakin orangtua mereka membesarkan mereka dengan cinta tapi mereka malah menghadiahi orangtua mereka sikap yang tak ubahnya seperti tindak kriminal. Bandingkan saja dengan diriku, aku tak pernah mendapat kasih sayang dari ibuku dan aku dihadiahi pula oleh kebencian dari hampir semua manusia yang melihatku.
"I want ask you one thing, follow me..." secepat kilat tangan kekar Luke membawa diriku keluar dari lingkaran pertunjukan ini. Banyak anak yang kecewa karena keinginannya tak terkabul, tapi di antaranya berteriak senang karena mengira Luke akan menghukumku lebih kasar dari yang biasa. Dan aku sepemikiran dengan orang-orang itu. Aku yakin Luke akan melakukan hal-hal yang lebih kasar dari yang biasa dilakukan.
Eratan Luke di lenganku sangat kencang membuat bekas luka sayatanku yang masih basah semakin perih dua kali lipat. Rasanya sakit sekali. Aku meringis berkali-kali tapi tidak ditanggapi oleh Like. Luke berjalan cepat sekali, tak memperdulikan orang-orang yang melihat dia curiga.
Luke membawaku ke atap gedung sekolah. Dia baru melepaskan eratan di tanganku ketika kita berdua sudah sampai ke pinggir atap gedung. Aku melihat ke bawah sekolah penuh dengan minat. Ini hari yang Luke tunggu dan ini hari yang aku cita-citakan. Aku akan dibunuh oleh Luke. Aku yakin sekali.
Aku memejamkan mata ketika tangan Luke terlepas dari tanganku. Bekas eratan Luke memperparah lukaku. Aku bisa merasakan luka sayatanku kembali terbuka dan mengalirkan darah.
"Buka bajumu!"
Aku melotot tak percaya. Luke tak ingin membunuhku tapi dia ingin memperkosaku. Jelas aku tak akan memberikan apa yang dia inginkan itu. Aku masih punya harga diri. Aku menggeleng penuh keyakinan.
"Aku takkan melakukan apa yang ada di pikiran kotormu itu, percayalah. Lagipula apa yang mau aku lihat dari tubuh kurus sepertimu." ejeknya yang tertuju pada dadaku. Secara reflek aku langsung menutup dadaku dari pandangannya.
"Lalu kau mau apa?"
Matanya menyipit, dia melipat tangannya dan memainkan tindikan di bibirnya. Kepalanya dimiringkan seperti posisi memikir, "Hanya ingin melihat sesuatu."
"Kau bilang tak tertarik denganku, lalu kenapa kau ingin melihat badanku?"
Aku terdengar sangat bodoh saat mengatakan hal itu. Luke tertawa sambil menggelengkan kepala. "Sampai seratus tahun pun aku takkan tertarik pada badanmu yang tak berisi itu."
"Lalu untuk apa kau ingin aku membuka bajuku?" aku menaikan nada di suaraku.
Mata Luke mengeras. Dia mendorongku ke tembok balkon yang hanya sampai ke bahuku. "Aku tak ingin banyak membuang waktuku. Sekarang cepat buka baju itu, " aku tetap bergeming di tempat tak mengindahkan perintah penuh tuntutan dari pangeran di sekolah ini. "Atau kau mau aku yang membukanya?"
Aku tetap tak bereaksi tapi aku sudah jelas ketakutan. Aku menggigit bibirku untuk meredakan pacuan di jantungku. Aku tak mengerti jalan pikiran Luke.
Luke memutar matanya kesal, "Oke... kalau kau tak mau melakukannya. Aku saja!" serunya dan aku langsung mengambil gerakan defensif yang bisa aku lakukan. Aku menutup daerah dadaku erat, tak membiarkan Luke mendapat apa yang dia inginkan.
"Fuck... bisakah kau diam sebentar saja. I swear to God that i won't toch you dreadful body."
Aku tetap tak menyerah dengan pertahananku tapi tetap saja tenaga Luke yang jauh lebih besar membuatku menyerah juga. Aku menutup mata merutuki diriku yang sangat lemah ini.
Luke menahan tangan kiriku kencang, luka itu semakin terbuka dalam dan itu sangat perih. Aku mencoba menahan ringisanku. Tangan kiri Luke sudah membuka retsleting sweaterku dengan mudah, aku bersyukur aku masih mengenakan kaus saat ini.
Aku menunggu hal lain yang dia akan lakukan, tapi Luke tak melakukan apapun. Dia hanya membuka sweaterku dan tak melanjutkan aksinya. Aku membuka menyadari kalau Luke memang tak tertarik dengan tubuhku yang jauh dari wanita ideal, Luke menatap luka sayatan di lenganku dengan tatapan mengeras.
"Apa ini?" tanyanya mengangkat kedua lenganku dengan hati-hati. Ini perlakuan terlembut yang pernah orang lakukan padaku tapi aku membenci ini. Aku menghentakkan tangan Luke dari tanganku dengan kasar.
Secepat kilat aku berlari dari tempat ini. Aku benci ditatap dengan mata penuh iba seperti itu. Lebih baik dia membenciku daripada mengasihani diriku. Aku tak butuh sumbangan iba dari siapa pun. Aku bisa mengatasi diriku sendiri.
Aku berlari secepat yang aku bisa, tak menyadari kalau aku hanya memakai kaus putih dan memamerkan banyak luka sayatan di lenganku. Orang-orang melihatku tertarik. Mereka berbisik dengan orang terdekat mereka sambil tersenyum miring menatapku. Mereka tak iba denganku, aku yakin mereka senang dengan luka yang aku buat. Sikap seperti mereka lebih baik daripada tatapan iba dari orang yang sudah jelas membenciku lebih daripada siapa pun.
Aku menelpon Carlos, supir pribadiku yang juga suami Helen untuk segera datang ke sekolahku. Aku sungguh tak ingin ada di sini sekarang. Aku ingin merasakan ketenangan. Kamar dan silet. Hanya dua bahan itu yang aku butuhkan untuk membuat diriku tenang.
Carlos bilang dia akan tiba dalam lima menit. Mau tidak mau aku harus menunggu, ini sama saja dengan mendengar ocehan para murid lain. Mereka mengelilingiku dan mulai menjejalkan makian menyakitkan dengan jari menunjuk ke arahku. Tak jarang mereka meludah tepat ke arahku.
"Baguslah kalau kau sadar diri untuk melukai dirimu sendiri, jadi tak perlu mengotori tangan orang lain untuk menyadarkan dirimu kalau kau tak layak ada di dunia ini."
"Self harm. Kenapa tak sekalian kau bunuh diri saja!"
"Kau saja tak menyukai dirimu sendiri. Menyedihkan."
"Baguslah kalau kau sadar diri."
"Kenapa kau menunjukkan ini kepada kami, kau kira luka itu tak menjijikan?"
"Menyedihkan. Menjijikan. Memuakkan."
Semua ocehan itu kembali terhenti karena tangan orang lagi-lagi mengeluarkan aku dari kepungan manusia ini. Aku kira Luke yang kembali melakukan tindakan ganjil ini, tapi sekarang yang menggenggam tanganku adalah Harry Styles. Bisa kau bayangkan itu. Harry yang biasanya memukulku kini menyelamatkanku dari serbuan mulut keji murid-murid lain, atau ini malah sengaja dia lakukan. Dia ingin menarik ku keluar dari sangkar macan dan menjebloskan diriku ke lubang neraka galiannya.
Aku tak memprotes tindakannya. Aku terlalu bingung dengan semua kejadian sial yang menimpaku hari ini, well, dari kemarin sebenarnya. Sikap Luke dan Harry di luar dari akal sehat. Mereka pasti sudah gila atau hal yang paling memungkinkan adalah mereka merencanakan sesuatu padaku.
Aku tahu itu!
Mereka pasti ingin menjadikanku bahan taruhan. Kalau aku berhasil jatuh ke pangkuan Luke atau Harry, mereka akan menang dan aku akan terpuruk. Picisan seperti biasanya.
Harry menarikku hingga dia berhenti di depan lamborgini hitam miliknya.
"Masuk." sahutnya yang sudah membukakan pintu mobil mewah itu untukku.
"Apa yang mau kau lakukan?"
"Damn! Masuk saja ke mobilku dan jangan berkata lagi."
"Carlos akan datang menjemputku."
Harry memutar matanya sebal, dia lalu mendorongku masuk ke mobilnya secara paksa lalu dia berlari kecil untuk duduk di kursi pengemudi. Harry menyalakan mobilnya. Aku gugup sudah jelas. Ini semua tak masuk akal.
Dia menoleh ke arahku, "Pakai seatbeltmu." titahnya yang langsung aku turuti. Begitu seatbelt sudah terpasang Harry langsung tancap gas. Jantungku terpacu kencang karena baru kali ini aku naik mobil dalam speedometer yang sekencang ini. Tapi aku tak bisa membohongi diriku. Aku menyukai sensasi kebut-kebutan ini. Rasanya sebanding dengan luka sayatan. Aku serasa diajak terbang di darat oleh bantuan angin. Aku merasa bebas dan lepas. Aku tersenyum senang. Sensasi ini terlalu menyenangkan untuk diakhiri.
Aku tak mau peduli dengan sikap aneh Harry atau sahabatnya itu. Yang jelas aku sangat berterima kasih pada Harry karena ini membuatku merasa sebebas ini dalam enam belas tahun aku ada di dunia. Aku tak memikirkan hal logis tentang kemana Harry akan membawaku pergi, aku sudah terhipnotis oleh kenikmatan ini.
Baru setelah sampai ke tempat tujuan, aku tercengang bukan main. Aku tiba di rumah yang di depan pagar tertulis kediaman Styles. Rumah besar ini adalah rumah Harry Styles. Buat apa dia membawaku ke rumahnya?
"Simpan pikiran kotormu itu. Aku berjanji takkan tertarik pada tubuh mengerikan itu."
Sudah dua orang berbeda yang mengatakan kalimat sama padaku, dan dua orang itu sama-sama membenci diriku dengan segenap hati mereka. Mereka kompak sekali bisa menurunkan kepercayaan diriku yang sudah rendah menjadi tak berdasar. Kalau ada penghargaan tentang orang-orang yang sukses menjatuhkan mental seseorang, mereka sudah pasti jadi juara. Mungkin jika situasinya aku ada dalam kesendirian sudah pasti aku akan memilih untuk bunuh diri. Kalimat Luke ataupun Harry secara tak langsung menghipnotis aku untuk terjun bebas dari lantai tiga puluh.
"Buat apa -"
"Sstt." Harry mendekat dan melepas seatbeltku. Jarak antara aku dan Harry sangat tipis. Aku bisa menghirup aroma mint dari tubuhnya. Aku bisa merasakan napas panasnya membelai pipiku. Sudah dua kali aku sedekat ini dengan Harry dan aku masih merasakan keanehan pada detak jantungku. Aku yakin ini bukan karena gugup, ada sesuatu yang lain yang tak bisa aku jelaskan dengan kata-kata.
"Jangan banyak bicara. Kau hanya harus menuruti apa yang aku minta."
"Tapi-"
"Sttt..." bisiknya lagi, "Aku mohon jangan bicara. Aku muak mendengar suaramu."
Aku menurut. Tatapan mata hijau Harry sudah membuaiku. Entah kenapa aku merasa nyaman ada di dekat dia, aku bahkan menghilangkan semua pikiran negatif tentang keburukan dan sisi gelap dia. Mungkin ini kiat Harry. Tatapan tajam ditambah senyum manis yang menampilkan dua lekungan tajam di pipi, siapa wanita yang tak meleleh? Apalagi cara Harry berbicara selalu dengan penuh penekanan tapi lembut di sisi lain. Aku harus mengaku kalau Harry Styles memang juara menghipnotis wanita, pantaslah sederet wanita cantik mengejar cintanya.
Harry tak membawaku duduk di ruang tamu. Tapi dia menarikku untuk masuk ke kamar seseorang yang bergaya maskulin. Kamar itu hanya terdiri dari dua warna putih dan hitam, dinding dipoles putih semua dan ada beberapa poster mobil sport terpasang, dan semua barang yang ada di kamar ini mayoritas berwarna hitam. Bahkan seprai dan selimut berwarna hitam mutlak.
Hanya melihat saja aku sudah tahu ini kamar siapa. Kenapa Harry Styles membawaku ke kamarnya?
"Tunggu disini dan jangan kau ubah barangku barang semilimeter pun. Aku tak suka barangku disentuh. Pokoknya kau hanya perlu duduk diam di kasurku tak sampai lima menit. Kau mengerti?"
Aku mengangguk. Harry Styles keluar terburu-buru meninggalkan aku yang menganggumi semua interior dari kamar bergaya minimalis ini. Kamar ini setipe dengan kamarku. Tak terlalu ramai dengan hiasan tak berguna dan memakai warna netral. Sekali lagi Harry Styles berhasil membuatku menyukai apa yang dia suka. Kebut-kebutan dengan mobil sport, kamar bergaya minimalis yang nyaman sekali, nanti apa lagi yang bocah itu berikan?
Tak sampai lima menit Harry kembali datang. Dia membawa sebuah kotak di tangannya. Kotak itu dia jatuhkan ke lantai dan dia duduk berlutut di depan kakiku. Apa yang mau dia lakukan?
"Mana tanganmu?" belum sempat aku bereaksi, tanganku sudah diambil oleh tangannya. Dia membuka kotak putih itu dengan tangan lainnya dan mengeluarkan cairan yang sudah sangat aku hapal. Cairan antiseptik yang selalu Helen berikan padaku setelah dia tahu aku melakukan tindakan favoritku.
"Kau menyedihkan." serunya sambil mengoles luka itu dengan kapas. Usapannya lembut tapi cairan itu membuat lukaku semakin perih.
"Aku tahu."
"Baguslah. Setidaknya kau sadar diri."
"Aku memang sudah sadar dari dulu, tapi aku hargai kalimatmu yang kembali menyadarkan aku untuk secepatnya pergi darisini."
"Aku tak berniat mengusirmu."
Aku memutar mata kesal. Orang ini sangat tak peka."Bukan seperti itu. Maksudku makna disini itu luas, tak hanya terpaku pada rumah dan kamarmu saja."
Harry memajukan bibirnya sambil menaikkan alis,"Apa itu artinya kau nyaman ada di tempat ini?"
"Kau bisa melihatnya sendiri." kataku dengan kalimat menggantung. Kalau secara eksplisit aku ingin mengatakan dengan lantang aku sangat amat nyaman ada di rumah ini, tapi tak mungkin aku mengatakan itu pada musuh yang membenciku. Aku tak mau menebar api di tanah yang penuh dengan bensin.
Cairan antiseptik selesai dia oleskan. Dia lalu menaburkan obat tetes merah ke luka-lukaku yang sudah terbuka. Wajahnya serius sekali memandang luka-luka ini, dia sangat telaten mengobati diriku. Aku yakin sekali pria di hadapanku ini bercita-cita menjadi dokter.
Harry melilit bekas sayatan yang aku buat dengan perban putih. "Sudah berapa lama kau melakukan ini?"
"Aku tak pernah peduli pada hal kecil itu."
Harry selesai dalam lima menit. Dia menaruh kotak p3k ke bawah tempat tidurnya, lalu duduk tepat di sampingku. Kedekatan dengan Harry yang ketiga kalinya dalam kondisi seperti ini. Sensasinya masih berasa. Aku jadi takut kalau suatu saat aku jatuh pada pesonanya.
Tidak boleh! Itu tak boleh terjadi. Hidupku sudah menyakitkan tak perlu lagi beban hidup seperti jatuh dalam pesona Harry Styles.
Renee's note :
Seneng akhirnya bisa update cerita ini lagi. Agak gambling sih soalnya udah lama gak buat. Tapi tiba-tiba menemukan gagasan baru yang jauh banget dari ide awalnya. Tak apalah... yang penting saya senang.
Voment, kritik, dan saran dipersilakan.
Makasih ya buat seluruh orang yang udah baca cerita ini.
Merci Beaucoup
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro