Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 18 : I Have No Choice

What's wrong, what's wrong now?

Too many, too many problems.

Don't know where she belongs, where she belongs.

She wants to go home, but nobody's home.

It's where she lies, broken inside.

With no place to go, no place to go to dry her eyes.

Broken inside.

(Nobody's Home - Avril Lavgine)

***
"Mom tanya sedang apa kau disini!!!"

Aku memaksa kakiku yang begitu lemas berdiri menopang berat badanku, "Kenapa Mom tidak pernah bilang tentang Cassidy dan Dad!" Aku balas berteriak. Aku yang lebih berhak marah sekarang.

"Jadi kau sudah tahu semuanya?"

"Iya! Aku tahu Mom. Kenapa Mom tidak pernah bilang tentang mereka padaku?"

"Kau sudah tahu semuanya? Kau tahu kalau Cassidy sakit?"

Tatapan Mom berubah nanar. Aku merasakan kesedihan tak berujung dalam manik matanya. Aku beberapa kali melihat Mom melamun dengan pandangan seperti ini tanpa tahu alasannya tapi sekarang semua sudah jelas. Mom sedih karena Cassidy. Dad bunuh diri juga karena Cassidy. Luke dan Harry mendekatiku juga karena Cassidy. Semuanya memusatkan diri pada Cassidy. Aku benci dengan Cassidy. Demi Tuhan, dia sudah mati! Tapi kenapa semua orang tidak ada yang berpaling darinya.

"Dulu Mom yang memilihmu untuk dirawat karena kau yang paling sehat. Cassidy sering sakit dan merepotkan. Mom tidak akan fokus bekerja kalau Mom merawat dia. Keputusan itu Mom sesalkan sampai sekarang... seharusnya Mom membawa Cassidy... dia lebih butuh Mom."

"Lalu, apa Mom pikir aku tidak butuh Mom?" perkataan Mom sungguh membuatku sakit hati. Mom tidak tahu saja kalau aku juga sedang sakit, aku sakit secara mental karena perlakuan Mom. Berkat Mom aku jadi manusia rendah diri seperti ini. Mom yang membentuk diriku menjadi diriku yang sekarang.

"Dia lebih butuh Mom!!! Lihat saja apa yang Mom dapat setelah merawatmu... kau selalu membuat masalah. Kau bersenang-senang. Sementara kakak kandungmu sakit dan menderita. Kalian saudara kembar, kalau yang satu kesakitan, yang satunya juga harus merasakan kesakitan itu."

"Mom gila!"

"Mom memperlakukan kalian secara adil!"

Aku tertawa mengejek, "Ini tidak adil sama sekali buat aku, Mom! Aku masih hidup... aku anak Mom juga. Kalau yang satunya meninggal, harusnya Mom memperlakukan aku lebih baik."

"Itu tidak adil buat Cassidy."

"CASSIDY SUDAH MATI, MOM! AKU YANG MASIH HIDUP! AKU JUGA BUTUH PELUKAN MOM DAN KASIH SAYANG MOM! CASSIDY SUDAH MATI."

Satu tamparan kencang menyentuh pipiku, kilat amarah Mom pancarkan. Tatapan kegemaran Mom---sebuah kebencian, yang selalu Mom arahkan padaku, "Kau lancang sekali! Dia kakak kembarmu! Kau harus hormati dia."

"Buat apa? Dia sudah mati dan dia membuat kebahagiaanku lenyap semua. I hate her, I really hate her and I'm grateful that she's dead."

Kali ini satu tamparan serta jembakan di rambutku yang Mom berikan. "Kau anak kurang ajar yang tidak tahu diri! Dia itu kakakmu sendiri!"

"Mom... perlukah aku ingatkan kalau aku anak Mom juga? Aku juga anak Mom. Aku anak Mom." isakku merasakan perlakuan Mom yang sangat tidak adil. Aku seperti bukan anak Mom sendiri.

"Dan kau anak kurang ajar!"

"Sakit Mom. Sakit. Ini sakit sekali." jeritku pilu. Bukan tarikan rambut Mom yang sakit tapi hatiku... hatiku serasa tercabik-cabik. Aku benci dengan semua hal ini.

"Sakit? Itu juga yang Cassidy rasakan! Dia lebih sakit daripada kau. Dia merenggang nyawa karena kesakitannya dan kau juga harus merasakan hal itu."

"Mom gila!"

"Iya. Mom gila karena sangat menyayangi anak Mom."

Aku menarik napas sedalam yang aku bisa, hidungku tersumbat oleh tangisku yang perih tapi aku memaksa untuk berbicara, "Oke. Oke. I get it. Aku akan kabulkan permintaan Mom. Mau mau aku mati juga, kan, seperti Cassidy? Baik... aku akan mengabulkan permintaan Mom."

Tarikan rambut Mom mengendur, dia mundur perlahan jatuh terduduk di lantai dengan kepala yang tertekuk sejajar dengan lututnya. Isakan Mom kencang sekali. "Keluar! Keluar! I said get the hell out!"

Baiklah atas permintaan Mom aku keluar dari ruangan itu dan juga aku akan keluar dari hidup Mom selamanya. Aku tidak bisa bahagia, tapi aku bisa membuat Mom bahagia dengan kematianku.

***
Aku membuat janji temu dengan Luke. Saat ini sudah pukul delapan malam, aku mengendarai sendiri mobilku di jalanan yang licin akibat hujan badai yang akhirnya sudah berhenti. Aku mengendarai mobil seperti orang kalap, aku bahkan akan sangat bersyukur kalau aku bisa tabrakan di jalanan ini.

Hujan memang sudah berhenti tapi cadangan air mataku masih melimpah. Aku menangis terus, tidak tahu bagaimana cara untuk menghentikannya. Sungguh aku ingin berteriak di depan Tuhan, aku ingin marah pada Tuhan karena membiarkan aku hidup seperti ini. Semua ini serba tidak adil. Lelucon sekali pepatah yang bilang Tuhan tidak akan memberi cobaan di luar batas kemampuan hamba-Nya, cobaan yang Tuhan beri padaku terlampau berat untuk selalu aku pikul. Aku letih.

"Cher... what's wrong? Why are you crying?" tanya Luke khawatir setibanya aku di sebuah restoran. Dia membawaku dalam pelukan hangatnya. Sesaat terasa seperti berada di surga tapi aku tahu kalau Luke adalah neraka yang sebenarnya.

"Lepaskan." kataku menjauhkan diri dari Luke. Aku tak berani menatap ke dalam matanya. Aku tidak mau lagi luluh lantak dalam setiap bualan yang dia berikan.

"Tell me... tell me what bothering you."

"You."

"Me?"

Aku mengangguk, "Aku mau kita putus."

"W-what?"

"Aku mau kita putus."

Lega sekali bilang ucapan ini. Tidak sesulit apa yang aku pikirkan. Aku bahkan berani menatap ke dalam mata Luke yang kaget bukan kepalang. Pintar sekali aktingnya. Mungkin dia harus jadi aktor. Dia punya kemampuan.

"Tapi kenapa?" tanyanya setelah satu menit membisu.

"Karena kau bersalah."

"A-apa maksudmu?"

Okay, bahkan, dia tidak mau mengakui kesalahan yang dia ciptakan. Tak masalah. Dia tidak mengaku, aku bisa mengatakannya sendiri.

"I know everything. I mean everything." Satu tetes air mata lagi mengalir, harap dicatat tangisku ini bukan untuk meratapi kisah cinta pertama musibah ini, aku menangisi hidupku yang tragis. Seperti biasa.

"Aku tahu kau membuat taruhan dengan Harry. Aku tahu kau tidak mencintaiku. Aku tahu kau masih cinta dengan Cassidy."

"Harry yang memberitahumu, kan? Jangan percaya dia, Cher. Dia itu pembual brengsek."

Aku mendengus, dia juga adalah seorang pembual. Lebih brengsek karena dia berhasil mencuri hatiku yang kosong.

"Aku mendapat informasi dari sumber terpercaya dan dia bukan Harry."

"Katakan siapa bajingan itu? Aku bersumpah akan membuat hidupnya seperti di neraka. Kau jangan percaya apapun yang dia katakan. Dia hanya ingin merusak hubungan kita!"

Aku tertawa kecil, "Hubungan kita? Aneh mendengarnya. Hubungan ini cuma sandiwara busuk ciptaanmu! And the worst part of this... I'm in love with you."

Luke menggenggam tanganku erat, matanya berbinar tak jelas, "I do love you too, Cher. I really love you."

Aku menggelengkan kelapa menyangkal. Sungguh hati kecilku berharap kalau pernyataan cinta Luke tulus. Aku berharap terlalu besar untuk mendapatkan cinta dari seseorang.

"Hentikan! Aku bukan Cassidy. Cassidy saudara kembarku dan dia sudah mati!"

Luke langsung bungkam. Dia kaku bagai seorang patung ditambah muka pucatnya yang menggenaskan. Reaksi wajar. Dia masih cinta dengan Cassidy, dia belum bisa menerima kenyataan ini. Mungkin saja dia akan membentakku dan bilang kalau ucapanku itu bualan. Bukankah biasanya saat orang tengah sedih, emosi dia bisa menggebu-gebu?

Tapi Luke tidak seperti itu, Luke masih diam selama beberapa menit bahkan hampir sepuluh menit. Jiwa dia seolah pergi ke alam lain. Saat aku berusaha memecah keheningan dengan memanggil namanya karena aku ingin ijin pulang lebih dulu. Luke malah gelagapan dan memilih untuk berlari menjauh dari restoran ini. Baiklah, aku ditinggal pergi begitu saja. Sekali lagi. Seperti biasa. Tujuan aku untuk hidup adalah untuk ditinggalkan.

Mataku mengalihkan pandangan kesekelilingku, ada banyak sekali orang yang tertawa bersama pasangannya bahkan orangtuanya. Tawa mereka mengejekku. Tawa mereka membuat batinku menggila. Aku bahkan tidak sadar kalau aku menggenggam pisau kecil di meja restoran dengan kencang.

"Hentikan!" seru seseorang di dekatku. Harry melepas pisau itu dari tanganku. Dia marah besar. Untuk apa? Karena bukan tangan dia yang menyakitiku?

"Apa maumu?"

Harry tak menjawab, dia langsung duduk di tempat yang tadi diduduki Luke, "Kau menyedihkan sekali. Kau putus dengan Luke, eh? Tipikal gadis seperti biasa. Menyakiti diri setelah Luke pergi karena sudah bosan."

"Kau salah. Aku bahkan sudah suka menyakiti diri sebelum aku jatuh cinta pada pria itu. Tapi memang benar alasan aku menyakiti diri adalah karena dia. Menyedihkan sekali hidup ini..." Aku menunduk menyembunyikan tangisanku. Aku tak mau menangis di depan Harry. Aku tidak mau terlihat lemah di hadapan dia.

"Kau tahu aku punya saudara kembar? Saudara kembarku itu merebut semua cintaku. Dia sudah mati tapi dia masih dicintai semua orang. Aku yang masih hidup malah dibenci semua orang. Menyedihkan bukan?"

Harry menganga, "Maksudmu saudara kembar ---"

Aku mengangguk membenarkan, "Cassidy. Aku juga baru tahu tentang dia hari ini. Untung dia sudah mati kalau tidak mungkin aku yang akan membunuh dia."

"Mati?"

"Kau juga sedih kan? Seperti semua orang! Mom bahkan... bahkan menyakitiku karena Cassidy. Dad bunuh diri karena Cassidy. Aku juga anak mereka tapi mereka tidak peduli. Mereka anggap anak mereka cuma Cassidy saja. Mereka tak menyadari keberadaanku. Aku juga sakit..." Aku meletakkan tanganku di dada, merasakan jantungku menderu hebat, "Sakit disini" sementara tangan kanan aku bawa ke daerah pelipis, "Dan disini. Semuanya sakit dan tidak ada yang peduli. Cuma Cassidy yang mereka pikirkan! Cassidy yang sudah mati itu! Aku benci sekali dengan orang itu. Sungguh."

Napasku tersenggal-senggal. Badanku sangat lemas sekarang. Mungkin kalau bukan pelukan Harry yang tiba-tiba itu aku pasti akan jatuh bagai orang bodoh di lantai dan menjadi bahan tertawaan orang.

"Aku benci dia. Sepenuh hatiku. Sungguh." isakku dalam dekapan Harry. Usapan tangan Harry di punggungku membuat aku begitu nyaman dan tenang bahkan tangisku pun berhenti juga.

Pelukan ini sungguh nyaman. Aku ingin mati di pelukan ini. Aku tidak ingin melepasnya. Sebentar saja aku merasakan kedamaian di hidup kelamku tidak akan masalah, bukan?

"Aku juga benci dia karena sudah membuatmu seperti ini."

Entah dia bohong atau tidak. Aku tidak peduli. Aku hanya tahu kalau berada di pelukan orang ini sangat hangat. Harry memang brengsek tapi setidaknya dia tidak membuatku jatuh cinta.

"Cher!"

Seruan atau kau bisa katakan sebagai bentakan itu melepaskan diriku dari tubuh hangat Harry. Di depanku berdiri Luke yang sedang marah besar. Dia menarik paksa badan lemasku untuk berdiri sejajar dengan dia.

"Jadi karena ini kau ingin putus dariku? Kau selingkuh dengan Harry, kan?
Dia yang memberitahumu tentang Cassidy dan taruhan bodoh itu, kan?"

Luke mengguncang bahuku kencang, kepalaku yang masih pening makin berputar. Rasanya aku ingin pingsan detik ini juga tapi dengan sisa tenaga secuil itu, aku berusaha terlihat kuat dan membalas tuduhan tak berdasar Luke.

"Kau boleh berspekulasi apapun, aku tak peduli."

Bagaikan barang, aku kembali ditarik oleh Harry tapi tidak dengan kekasaran seperti Luke. Harry nenarikku sangat lembut seolah aku adalah barang rapuh.

"Dia tidak menyukaimu lagi, terima saja kenyataan itu!"

Luke kalap, dia membuat keributan besar. Dia jatuhkan meja makan yang cukup besar itu hingga jatuh terbalik. Semua orang sekarang fokus memandang ke kejadian ini. Harry makin merapatkan badannya padaku tapi atas permintaanku aku melepas tubuh Harry.

Dengan lemas aku berjalan mendekat ke arah Luke, "Aku bukan Cassidy! Hentikan sandiwaramu itu! Kau tidak menyukaiku, kau masih mencintai Cassidy. Aku bukan pelampiasan Luke, aku masih punya hati. Aku bukan mainanmu. Aku juga ingin dicintai tapi kau... kau malah membuat semuanya kacau. Sadarlah aku bukan Cassidy."

"Aku tahu! Aku tahu! Dan aku mencintaimu."

"Hentikan. Jujurlah pada dirimu sendiri. Kau masih mencintai Cassidy. Aku bukan Cassidy. Aku Charlotte yang menyedihkan. Cassidy sudah mati dan aku senang dia mati!"

Tak kuduga satu tamparan kencang mendarat di pipiku. Luke menamparku, lagi-lagi karena Cassidy! Sama seperti Mom. Aku tak tahu bagaimana jadinya kalau Cassidy hidup, dia pasti akan menertawakan hidupku yang malang.
Tangan Luke gemetar setelah melakukan kekerasan fisik padaku, dia mendekat tapi aku dengan tangisan menyedihkan ini berlari kencang. Yang aku tahu sebelum aku menjauh adalah Harry sudah berada di atas tubuh Luke dan beberapa security mulai datang berlarian ke tempat kekacauan itu.

Baiklah. Sekarang waktunya untuk pergi selamanya dari dunia ini. Sudah cukup masa menyedihkan aku hidup di dunia ini. Aku muak ada di dunia ini. Siapa tahu ketika aku mati hidupku tidak akan penuh derita seperti sekarang.

Aku mengarahkan mobilku ke salah satu jurang terdekat. Aku sudah siap. Mati adalah pilihan terbaik. Aku bahkan tidak takut saat kedalaman jurang di bawahku. Aku tidak takut pada siapapun. Sekarang aku manusia bebas. Dan tanpa buang waktu aku terjun ke bawah. Merasakan diriku menjadi burung selama beberapa waktu. Merasakan nyanyian angin merdu yang akan membawaku keluar dari kehidupan menyakitkan ini.

Sebelum aku menutup mata karena benturan kencang di kepala dan sekujur tubuhku mengambil alih, aku tahu bahwa mati itu sama sekali tidak menyakitkan.

Aku senang aku mati.

Aku senang aku bisa bebas.

Aku bahagia.

***

A/N : Sorry if you all dont get the feel like I do when I'm writing the scenes (especially the Cher and her mother moments). Idk, I got emotionally intimate with Cher. Damn, why I make her so pathetic like that?!
Life's so unfair to her!

Sorry for the late updates. Two years! Fiuh... I feel so relief... so happy... no words can describe it. Although my story so bad or sucks (you can called names), I'm happy because I make this with full of my heart.

Btw, thanks for spending your time to read my story even my crazy babbling.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro