Chapter 12 : What Should I Do?
Chapter 12 :
All this talking to you
I don't know what I'm to do
I don't know where you stand
What's inside of your head
(Stop Standing There - Avril Lavgine)
***
Kilauan ombak menerjang mataku. Panasnya matahari menyengat kulitku, sensasi yang luar biasa. Seperti aku disengat oleh kehidupan. Tidak ada hal lain yang aku pikirkan selain bahagia.
Aku berlari kesana kemari, menyapu pasir putih di bawah kakiku, merasakan kehangatan yang berbaur dengan kedinginan ketika ombak kecil datang menyerang mata kakiku.
Aku tertawa terbahak, lalu kembali berlarian. Kembali ke istana seseorang yang luruh lantak oleh ombak kecil itu beserta dengan tulisan orang itu di pasir yang tersapu bersih. Orang itu menangis hebat, entah kenapa tangis itu menyentuh hatiku. Tangisan itu seperti berasal dari diriku juga.
Mom datang padaku dan berhasil menangkap badanku. Aku kaget, dan memeluk Mom dengan sangat bahagia.
"Mom... I love you." kataku tulus sekali.
Mom membelai rambut panjangku sayang, "I love you more than anything, honey." Ucapan yang berarti surga untukku.
***
Dalam sekejap kebahagiaan langka yang aku dapat dalam alam mimpi mendadak menjadi neraka saat aku bangun, sekali lagi aku merasa kehampaan.
Aku bahkan tak peduli keadaan sekitarku yang asing dan alasan kenapa aku ada di tempat serba putih itu. Aku kembali menutup mata berharap mimpi itu bisa terulang lagi. Kebahagiaan itu sungguh terasa nyata, aku tak tahu apa itu benar-benar memoriku atau hanya anganku yang tervisualisasi lewat mimpi, aku tak tahu dan tak mau peduli. Yang aku tahu aku bahagia dalam mimpi itu dan Mom... Mom memeluk tubuhku, mengatakan dia cinta padaku. Surga dunia dalam mimpi. Aku harus mengulang kembali mimpi itu.
Sialannya, kenapa pula setiap hal bahagia sulit sekali untuk datang dua kali? Usahaku sia-sia... aku frustasi mencoba beragam posisi tidur agar mataku bisa kembali terpejam. Tapi cara itu tidak mempan. Mataku tetap terjaga. Itu semua membuatku frustasi sungguh, dan lagi-lagi aku menangis. Menyedihkan sekali hidupku... Semua orang mencari kebahagiaan di dunia nyata tapi aku? Aku malah mencarinya dalam lantunan mimpi.
Pintu kamar terbuka tiba-tiba. Pria jangkung masuk membawa nampan berisi air putih dan sandwich segitiga.
"Kau sudah bangun?" Luke tanpa buang waktu langsung duduk di pinggir kasur.
Tangan lebarnya menyentuh dahiku sangat hangat, aku pun baru sadar kalau sepanjang putaran kepala di dahiku ditutup oleh perban. Ingatan tentang gempuran kencang Britt dan rencanaku untuk memainkan Luke pun datang menyerbu.
"Apakah masih sakit?" kini tangannya beralih pada pipiku, menyapu bersih sisa-sisa air mata yang berjatuhan.
Aku membiarkan itu semua terjadi. Makin Luke iba padaku makin bagus.
"Siapa yang melakukannya?"
Jawabanku adalah gelengan. Aku tidak mau Britt diserang oleh Luke, aku tidak mau alatku menuju kesakitan dihalangi oleh alatku menuju pembalasan dendam.
"Kau tahu, aku sungguh kalap saat Mike datang membawamu? Sungguh tadi lukamu sangat berbahaya. Aku tadi memanggil dr. Andres untuk memeriksamu di rumah, kau tidak suka rumah sakit bukan?"
Aku mengangguk dan memaksa sebuah senyum tipis, "Terima kasih."
Luke lalu membawaku dalam pelukannya, aku bisa merasakan irama jantung dia berdetak tak karuan seirama dengan detak jantungku.
"Aku khawatir sekali padamu, sungguh."
Aku mendengus pelan. Mungkin dia amnesia, dia lupa kalau dulu dia sering menyiksaku dan kini dia bilang dia khawatir akan luka-lukaku? Apakah sikap seseorang bisa berubah sedrastis itu dalam hitungan minggu? Manusia normal tentu tidak akan percaya. . . untunglah aku sudah punya rencana sendiri.
Luke melepas pelukan itu. Untuk pertama kalinya aku merasa ada yang kurang saat pelukan itu lepas, setan gila dalam diriku bilang ingin terus memeluk cowok itu sampai mati. Luke membagi senyum yang memperlihatkan sebuah lekuk manis di pipinya, aku suka senyuman itu, sayang itu punya iblis.
"Kau makan dan minumlah dulu." kata Luke membawa air mineral tepat di depanku.
Awalnya aku curiga makanan dan minuman itu sudah diberi racun tapi Luke menyadari ketakutanku. Dia mengambil sandwich itu dan menggigitnya sebagai pembuktian dan meminum sedikit air di gelas itu juga sebagai bukti kalau tidak ada racun dalam dua asupan itu.
Tidak ada waktu untuk gengsi. Aku lapar sekali. Segera saja dalam beberapa lahap sandwich itu sudah habis.
"Kau sungguh lucu ketika makan. Aku suka melihatnya." kata Luke sambil tertawa. Yang membuat aku terkejut adalah Luke merekam tindakan makanku yang rakus di ponselnya. Aku tidak sadar sama sekali aku sedang direkam.
"Maniak dasar." candaku dan kami berdua pun larut dalam tawa. Situasi yang langka.
"Boleh aku menyimpannya?"
"Silakan saja. Anggap sebagai kenangan dan ketika aku tidak ada kau bisa puas melihatku."
Senyum Luke hilang. Rahangnya mengeras. Aku kira dia akan marah dan emosi padaku tapi dia malah keluar kamar dengan membawa nampan berisi piring kotor dan gelas kosong itu keluar.
Luke tak kunjung datang selama sepuluh menit. Mungkin saja dia benar marah dan butuh pelampiasan. Aku tidak tahu dan tidak mau peduli.
Daripada mati bosan duduk di ranjang empuk itu, aku berjalan menuju jendela seluas tembok yang ada di sisi kanan ranjang tadi. Sungguh desain kamar itu indah sekali. Simple tapi menghanyutkan.
Lewat jendela itu aku bisa melihat view kota Sydney tapi tidak secara keseluruhan. Yang paling menyita mataku hanyalah Sydney Tower Eye. Indah sekali dipandang walaupun hari masih sore, pasti bakal lebih indah lagi ketika malam hari.
"Pemandangan yang bagus, huh?"
Suara Luke mengagetkanku, dia mendekat dan berdiri di sisi jendela yang berlawanan denganku, "Kau mau pergi kesana?"
"Hah?" Aku sungguh tidak mengerti.
Luke mengambil tanganku dan membawanya tepat di bayangan Sydney Tower Eye."Kesana, kau mau?"
Bagai anak kecil yang baru diberi jutaan permen warna warni, aku mengangguk. Seperti permen yang walaupun enak tapi merusak, aku tahu ajakan Luke akan merusakku tapi sungguh aku sudah buta oleh semangat membara. Aku sudah cukup lama tinggal di Sydney tapi belum melihat kota ini dengan mata telanjangku sendiri dan tawaran kemudian datang dari dekatku, siapa yang tega menolak coba?
***
Di mobilnya Luke menawarkan perjalanan yang luar biasa. Dia bilang aku dan dia akan ke STE di malam hari saja dan sambil menunggu senja berubah jadi malam dia mengajakku berkeliling di Circular Quay, tempat yang memiliki pemandangan yang luar biasa menentramkan. Aku berjalan dengan laut di seberangnya dan tentu dengan kapal kita bisa menyebrang menuju Sydney Opera House sebuah teater yang dipuja oleh warga Sydney maupun para wisatawan. Luke menawarkan agar aku masuk ke SOH tapi aku menolak. Aku lebih suka melihat keong raksasa itu dari tempat ini, aku suka melihat orang-orang yang berjalan penuh nikmat di sekitarku, sungguh aku bahagia.
"Kau tidak berhenti senyum. Aku suka."
Senyumku lenyap. Pria ini selalu sukses membuat moodku hilang. Tangan Luke tiba-tiba menyentuh ujung bibirku, ibu jari kedua tangannya membelai halus bibirku, aku lupa bagaimana caranya bernapas. Luke sangat dekat dengan wajahku. Apakah dia akan menciumku? Apakah aku akan menerima ciumannya? Oh, apa yang harus aku lakukan?
"Tersenyumlah." sahutnya yang menarik ujung bibirku ke atas. Dia tertawa melihat wajahku. "Kau lucu sekali." sekarang dia mencubit gemas pipiku.
Aku menghempaskan tangannya sebal, "Wajahku bukan mainanmu."
Entah kenapa aku kesal. Aku tidak tahu. Jangan tanya lebih lanjut. Aku benar-benar tidak tahu.
Luke kembali berjalan di sisiku, kita diam untuk beberapa saat sebelum dia kembali bertanya, "Kau ada urusan apa tadi dengan Harry?"
Aku menghentikan langkahku berbalik menghadapnya, aku senang melihat muka risihnya saat menyebut nama Harry, seperti dia tengah cemburu padaku. Cemburu arti suka, bukan? Apa mungkin Luke sudah suka padaku?
"Kenapa kau ingin tahu sekali?"
"Jauhi Harry. Aku punya firasat buruk."
"Oh ya? Firasat apa?"
"Entahlah... sesuatu seperti dia akan menyakitimu."
Aku tersenyum. Dia khawatir Harry akan menyakitiku? Kenapa dia banyak sekali kekhawatiran pada siapapun yang akan menyakitiku? Kenapa dia tidak mencemaskan dirinya juga, pada akhirnya dia juga akan memberi luka pada hatiku, bukan?
"Tenang saja... Aku hanya meminta tolong sedikit bantuan dengan Harry."
"Aku dengar Harry akan membuat pesta untukmu."
"Ya, semacam itulah."
"Harry dan pesta itu bukan kombinasi yang bagus. Kau harus menjauhi dua kata itu."
"Tenanglah. Aku yakin tidak akan terjadi hal buruk apapun."
"Aku tidak akan percaya. Aku akan ikut ke pesta itu."
"Jangan!" Aku berteriak tiba-tiba. Luke tidak boleh datang. Di pesta itu aku akan menggoda Harry, Luke tidak boleh melihatnya dulu. "Ehm... beri waktu aku bebas. Aku janji akan mengabulkan tiga permintaanmu."
Aku tahu ini klasik dan penuh drama tapi aku sedang tidak bisa berpikir jernih untuk memberi alasan yang logis.
"Tiga permintaan ya?" dia tampak berpikir sejenak, "boleh saja. Tapi..." dia memegang pundakku dan menatap dalam ke mataku begitu erat, "Kalau terjadi hal yang buruk hubungi aku. Aku akan datang menyelamatkanmu."
Sekali lagi aku mengangguk seperti terkena hipnotis. Belum apa-apa kenapa aku merasa aku akan kalah dari Luke? Dia punya pesona yang meluluhkan... dan itu bahaya.
***
Karena aku tidak ingin pulang terlalu larut karena akan menimbulkan banyak masalah. Aku dan Luke naik ke puncak Sydney Tower Eye saat pukul tujuh. Banyak sekali pasangan yang juga berbondong untuk naik. Bukannya lelah karena mengantri cukup panjang, aku justru dibuat sangat nyaman oleh Luke karena dia selalu membuatku tertawa. Dia punya bakat humor yang sangat tinggi, percayalah.
Setengah jam mengantri barulah aku tiba di atas. Napasku tertahan melihat ke sekelilingku. Jutaan lampu berkelap-kelip di banyak bangunan. Aku bisa melihat dengan jelas pemandangan Sydney yang luar biasa. Indah sekali.
Dan yang membuat malam itu kian sempurna. Luke memeluk tubuhku dari belakang, membenamkan kepalanya di leherku dengan tangan bertahan di perutku. Sungguh perpaduan yang membuat jantungku akan meledak. Aku bahkan tidak bisa mengontrol diriku lagi. Luke membuat segala rencanaku babak belur.
"Cher..." Suara berat itu makin menimbulkan efek yang luar biasa pada tubuhku.
"Hm?"
"Can I kiss you right now?"
"You better do." Aku sudah bilangkan kalau aku sedang tidak waras sekarang? Atau aku lupa bilang? Iya... aku sedang tidak waras. Buktinya aku menerima ajakan ciuman dari musuhku sendiri. Ciuman yang memabukkan. Aku dibuai oleh waktu... tidak ingin ciuman itu berhenti.
Aku benar-benar gagal di tahap awal. Sekarang aku rasa akulah yang sudah jatuh dalam kukungan Luke, sekarang apa yang harus aku lakukan lagi?
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro