Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 10 : I'm In Here

Pilihan salah untuk kembali ke rumah. Mom sedang di rumah dengan kekasih barunya. Seperti biasa kalau Mom sedang dilanda cinta, dia bahkan lupa prioritas pekerjaan yang selalu dia junjung tinggi. Perfeksionis hanya menjadi kata panggilan tanpa bentuk realisasi.
Seperti biasa aku pura-pura tak melihat ke arah Mom dan orang itu. Toh, sudah biasa aku hidup diacuhkan. Tak ada yang sudi menjatuhkan pandangannya pada kotoran manusia ini.

"Bukankah kau seharusnya masih sekolah?" tanya Mom melepas pangutan mesranya setelah melihat aku berjalan lesu di belakang mereka.

Aku langsung terdiam. Walau nada Mom saat ini mengindikasikan kalau Mom sedang marah, tapi aku sungguh terharu. Bagi anak lain mungkin ini tidak berarti apa-apa, tapi bagiku yang tak pernah hadir di hati Mom, ini sungguh luar biasa.

"Aku sedang tidak enak badan."

Mom melepaskan diri dari kekasih barunya menuju ke tempatku. Tatapan matanya begitu tajam membuat aku tak berani membalasnya. Mom bukan monster tapi lebih dari itu... tatapan dia bisa membunuh. Percayalah.

Aku mengatakan yang sejujurnya tentang badanku yang sangat lesu sekarang, kepalaku pun berputar pening tapi bukannya mendapat pelukan hangat dari Mom atau paling tidak sebaris kata-kata menyuruhku istirahat dan minum obat, Mom malah melayangkan satu tamparan keras ke pipiku. Sangat kencang. Badanku yang lemas tidak bisa menopang berat tubuhku, aku jatuh terduduk memelas karena tamparan ibuku. Sekali lagi.

"Kau tidak enak badan, huh? Lalu kau langsung lemah dan pulang karena kau tidak enak badan? Kau sungguh manusia tidak berguna!"

Sekali lagi Mom mengatakan hal yang menyakitkan.
Sekali lagi aku jadi objek kemarahan tanpa sebabnya.
Sekali lagi aku mengeluarkan air mata yang tidak dia peduli kan.
Sekali lagi aku aku tahu Mom membenciku hingga ke nadi nya.
Sekali lagi aku berpikir untuk mengakhiri masa baktiku menginjak bumi ini.

Tak ada alasan bagiku untuk tetap tinggal. Percayalah dibenci itu menyakitkan, apalagi dengan ibumu sendiri. Untuk apa aku tetap hadir di depan Mom kalau hanya melihatku saja Mom ingin muntah, bukankah lebih baik agar aku mati saja. Agar Mom bisa tertawa senang. Agar Mom bisa lepas dari makhluk tak berguna ini.

Aku berusaha bangkit, air mataku masih mengalir. Sekarang aku berdiri menantang mata Mom. Setidaknya sebelum mati aku harus membela diriku sendiri, "Kenapa Mom tidak pernah suka denganku? Kenapa Mom melahirkanku kalau aku hadir untuk dibenci? Salah aku apa, Mom? Aku anak kandungmu... aku muak dibenci. Apa aku tidak layak dapat setetes saja rasa sayangmu? Apa aku sebegitu menjijikkannya buatmu?" aku berteriak histeris. Mom kaget melihat lonjakan amarahku bahkan beberapa pekerja rumah pun langsung berkumpul selayaknya menonton drama picisan gratis.

"Mom... aku anakmu..." lanjutku dengan nada yang kini memelas, aku mengambil tangan dingin Mom dalam genggamanku. Aku ingin memegang tangan Mom, membawa Mom dalam pelukan, menghirup harum tubuh Mom, merasakan kedekatan dengan Mom tapi semua itu tidak akan pernah terealisasi karena kebencian Mom yang begitu dalam.

Genggaman tanganku terlepas, Mom mendorongku, lebih kencang dari sebelumnya. Harapanku agar Mom bisa luluh padaku musnah sudah, Mom mutlak membenciku. "Kalau kau mau aku anggap sebagai anak, bertingkahlah seperti anakku!"

Tanpa memperdulikan tangisku di lantai, Mom dengan kekasihnya melenggang pergi. Tak ada belas kasih sama sekali. Kebencian sudah menguasai mata hati Mom, tidak ada yang bisa mengubah itu. Malang sekali nasibku, lahir untuk dibenci oleh ibuku sendiri, bahkan aku tak tahu siapa ayah kandungku. Alasan itu sudah cukup normal bukan untuk melakukan aksi bunuh diri?
Kalau Tuhan tak mau mengambil nyawaku, aku bisa melakukannya dengan tanganku sendiri.

Frekuensi tangisku semakin kencang saat Mom tidak ada. Menangis meraung seperti orang gila. Aku bahkan tidak peduli pada pekerja rumah yang mungkin berpikir kalau aku ini gila. Aku sudah tidak peduli apa-apa lagi, aku sekarang hanya butuh menangis. Kalau bisa menangis hingga mati.

"Bangkitlah." suara lembut Helen membuat aku mendongak. Miris... hanya orang ini yang masih menganggapku manusia. Hanya orang ini yang tulus melihatku sebagai manusia, apa mungkin Helen juga tidak tulus. Dia bekerja denganku, perlakuan dia memang sudah pantasnya menghormatiku.

"Jujur saja, Helen. Kau membenciku juga, bukan?"

"Kau sedang emosional. Sekarang bangkitlah dan berbaringlah di kamarmu."

Aku tertawa dramatis, "Ya, aku memang sedang emosional. Aku sedang gila. Aku gila karena tidak ada satu pun orang yang menyayangiku. Semuanya membenciku. Semuanya! Kau juga membenciku, 'kan?"

"Tidak... aku menyayangimu seperti anakku sendiri."

"Pembual! Ayolah, mengaku jujur saja. Kau benci padaku juga, 'kan? Tentu saja kau benci padaku... kau berhak benci denganku. Aku selalu merepotkanmu... aku selalu bertindak tidak wajar. Aku selalu berulah. Kau layak untuk membenciku."

"Cher, hentikan!" Helen mengguncang bahuku, "Kau sekarang sedang emosional. Hentikan omong kosongmu itu... aku tidak membencimu. Aku tidak akan pernah membencimu!"

"Bohong! Semua orang membenciku... semuanya... kau mengatakan hal ini hanya untuk menghiburku saja, 'kan? Aku tidak butuh rasa ibamu, aku mau kau berkata jujur. Kau dan semua pegawai ini membenciku, 'kan?"

Para pekerja rumah pun secara kompak mengelilingi tempatku, mereka ikut berlutut. "Kami tidak membenci anda, nona. Kami semua tidak akan pernah bisa membenci anda." Carlos yang menjadi perwakilan.

Tawaku makin kencang, lucu sekali situasi ini. Mereka berbondong-bodong datang untuk mengatakan kalimat bualan yang menjijikan. Aku memang manusia yang sering disakiti, tapi aku tidak bodoh. Mustahil mereka tidak membenci sikapku yang sangat amat terlalu ganjil. Selalu murung, selalu diam, bahkan suka menyakiti diri sendiri.

"Kalian iba padaku. Ya, aku memang pantas dikasihani. Kalian lihat tadi bagaimana ibu kandungku memperlakukanku?" aku tertawa kencang menutupi ledakan sakit di ulu hatiku, "Aku selalu berharap dia itu ibu tiri kejam yang layak untuk dibenci, tapi orang yang kalian tadi saksikan itu ibu kandungku! Hahaha... miris sekali, bukan? Pantas kalian iba denganku."

Helen membawaku ke dalam pelukan hangatnya. Rumah ternyaman selama aku ada di rumah ini hanyalah pelukan Helen. Tidak peduli dia berpura-pura baik denganku atau memang dia tulus membantuku, yang jelas pelukan Helen sangat nyaman. Pelukan ini seperti pelukan seorang ibu pada anaknya, tindakan yang tidak akan pernah bisa aku dapatkan dari ibu kandungku sendiri.

"Tenanglah, Cher. Emosimu sedang tidak stabil. Tenanglah..." usapan tangan Helen di rambutku membuatku tidak sekalut tadi, "Kita ke kamarmu?"tanyanya masih dengan nada lembut dan sangat perhatian. Aku mengangguk bersamaan dengan satu tetes air mata yang kembali jatuh.

***
Hari sudah larut tapi aku masih terduduk di kasurku dengan mata lebar. Tidak ada kantuk sama sekali, pikiranku berkelana kemana-mana. Aku sungguh ingin menyayat nadiku lagi, sungguh sekarang cara yang ampuh untuk meredakan sakit di hatiku adalah lewat tubuhku yang lain. Tapi Helen sudah menggeledah seluruh kamar tidurku, dia sudah menemukan silet dan pisau kecil dan benda-benda cukup tajam dari tempat persembunyianku yang paling ampuh. Helen bahkan membawa pensil, pulpen, dan hal-hal lain yang menurutnya berbahaya ada di dekatku. Dia juga tak beranjak dari kamarku, tapi kemudian aku membuat perjanjian akan makan kalau Helen pergi dari kamarku. Helen setuju dan kini aku sendirian meresapi kamar sepiku.

Aku melirik ponsel yang sudah ada di pangkuanku. Sudah banyak sekali missed call dari Harry dan Luke beberapa jam belakangan ini. Tadinya aku bersumpah tidak akan mau menjawab atau membiarkan mereka mengoyakku dalam permainan mereka lagi, tapi situasi berubah ketika tengah malam datang. Entah kenapa aku ingin berbicara dengan salah satu dari mereka. Ya, sebut aku gila... karena memang aku sudah gila!

Aku memutuskan untuk menghubungi salah satu dari mereka. Jam sudah menunjukkan angka dua pagi. Agak mustahil panggilan aku terjawab dan ternyata memang tidak berhasil. Orang itu tidak mengangkat. Mungkin dia sudah tidur terlelap, memimpikan aku yang sukses menjadi bahan mainan mereka atau mungkin merencanakan hal baru untukku.

Dering ponselku menyahut tak lama kemudian. Orang yang tadi tidak menjawab panggilanku balas menelponku. Nama Luke terpampang jelas di layar ponselku.

"Kau tidak apa-apa?" akting yang brilian sekali. Aku bisa mendengar nada panik dalam suaranya.

"Aku mau bertanya sesuatu padamu."

"Malam menjelang pagi buta begini kau hanya ingin bertanya? Apa hal ini begitu penting?"

"Ya, tentu saja ini penting untukku dan sangat tidak berguna untukmu."

"Jadi, apa yang mau kau tanyakan?"

Aku terdiam sesaat, genggamanku pada ponsel canggih makin mengencang, "Apa alasanmu membenciku?"

"Cher... lupakan masa lalu. Aku tidak membencimu."

"Baiklah... aku akan ganti pertanyaan. Apa kau senang melihat orang yang kau benci menderita?"

"Pertanyaanmu sangat tidak berbobot. Ada apa denganmu?"

"Baiklah... Aku akan ganti pertanyaan. Apa kau pernah setidaknya kasihan dengan orang yang kau benci?"

"Cher!" Luke sudah mulai naik darah, "Hentikan omong kosongmu! Ada apa denganmu? Ceritalah, jangan berbelit-belit."

Aku tertawa dalam hati, menceritakan isi hatiku dengan musuhku sendiri? Tidak... itu sama saja bunuh diri. Ah, tapi... bukannya aku memang mau bunuh diri?

"Apa aku sebegitu menjijikkannya di dunia? Semua orang membenciku, semua orang mengacuhkanku. Mereka tidak pernah peduli padaku. Yang lebih menyakitkan mereka membenciku tanpa alasan, seolah aku lahir memang untuk dibenci. Apa aku memang benar-benar tidak layak disukai?"

"Kau layak, Cher! Kau layak untuk disukai siapa pun."

"Ya, semestinya begitu tapi semesta tidak berpihak padaku."

"Cher, kenapa kau tiba-tiba berbicara seperti ini? Apa kau sedang ada masalah? Apa Harry menyakitimu tadi?"

"Bukan hanya Harry... tapi semua orang... termasuk dirimu."

"Cher... aku sudah minta maaf atas kejadian itu."

"Maaf yang terucap tidak akan pernah bisa menutupi rasa sakit masa lalu."

"Lalu kau ingin aku melakukan apa? Aku rela melakukan apapun agar kau bisa memaafkanku."

"Apa kalian senang kalau aku mati?" tanyaku pada akhirnya.
Terdengar sahutan dan teriakan dari seberang, tapi segera saja aku tutup ponselku. Kematian adalah satu-satunya cara agar aku bisa bahagia, aku sudah terlalu letih menanggung kebencian di dunia ini. Menunggu hari ulang tahunku pasti akan lama tapi tak apa... aku harus mati saat hari ulang tahunku, sesuai rencana.
Lalu apa yang akan aku lakukan berbulan-bulan sebelumnya?

Entahlah... mungkin saja aku akan meladeni permainan Luke dan Harry lagi. Atau biar lebih menarik, bagaimana kalau aku buat saja dua orang itu suka padaku? Aku akan menggagalkan permainan yang mereka buat... ketika mereka jatuh cinta padaku, ketika itu pula aku akan buka topengku sebenarnya dan ketika itu pula aku bisa dengan tenang melaksanakan impian terbesar dalam hidupku. Setidaknya aku akan mati menyisakan dua orang yang menyukaiku.
Bagaimana cara agar mereka suka padaku adalah hal yang akan aku pikirkan lain waktu... kalau pun mereka tetap tak tertarik padaku, tak akan jadi masalah besar. Pada akhirnya aku tetap akan mati, bukan?

***
A/N :
Sumpah cerita nya makin melenceng dari apa yang saya rencanakan dulu. Aku bener-bener kehabisan ide... di kepalaku selalu muncul ide akhir cerita ini bukan pertengahannya. Apa aku tamatin aja, ya? Tapi nanti malah nggak nyambung 😑😑😑

Btw, menurut kalian ini masih bisa diterima nggak? Atau memang udah gak nyambung? Tell me the truth please...

Oh, ya itu di mulmed aku kasih lagu enak banget sumpah. Judulnya I'm in here dari Sia... ini lagu Sia yang udah lumayan lama. Aku lagi seneng denger lagu itu, karena entah kenapa rasanya cocok sama situasi Cher. Dengerin deh, sedih lagunya.

Btw, thanks udah baca.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro