939: HALUSINASI
ADA banyak pilihan cara mencari jati diri di dunia ini. Bahkan, alam terang-terangan menunjukkan salah satunya melalui aktivitas yang kita kenal sebagai: Pendakian. Orang bilang, Mendakilah, maka kamu akan tahu bagaimana berambisi dengan dialektika.
Namun, di balik petuah bijak para peraih puncak, tahukah kamu bahwa setiap pendakian memiliki misterinya sendiri? Dari fenomena dan eksperimental mistis, hingga peristiwa anomali yang tak dapat ditangkap nalar manusia. Dan jangan lupa, misteri tetaplah misteri, kisahnya disebar eksklusif dengan hanya segelintir yang tahu bagaimana kebenarannya di lapangan. Ini juga berlaku untuk pendaki sang Lawu, gunung yang sering dijadikan para kopassus berlatih.
Sebagai pendaki yang baru lahir, alasan Indra ikut mendaki ke gunung Lawu sebenarnya sebatas kulturalisme. Indra takut mati gaya dari orang-orang, dan tak bisa menolak ikut-ikutan tren mendaki di kalangan kampusnya. Akhirnya, bersama teman-teman dan sang kekasih, mereka menerobos jalur tambak ketika rinai hujan belum sempurna menghalangi pemandangan. Semua berjalan normal, hingga kumandang gamelan terdengar sepanjang area menuju Pasar Setan.
Entah bagaimana kronologi rincinya, mereka terpisah satu sama lain. Ingatan Indra pecah, satu-satunya petunjuk yang didapat, hanyalah teriakan-teriakan meminta pertolongan. Bersahut-sahut tak henti-hentinya.
Itu suara sang kekasih! "Sil?" desisnya bermonolog. Kakinya otomatis memutar haluan, mengikuti jalur tempuh si sumber suara. Ia berlari menyusuri himpitan semak-semak, semakin dekat hingga teriakan itu terdengar kian lantang.
Tiba di sana, lampu sorot di kepalanya mempertontonkan fenomena mencengangkan. Suara-suara yang ia pikir titik terang keberadaan sang kekasih, nyatanya hanyalah manipulasi dan delusi dari entitas yang mengerikan. Di mulut gua, Indra berdiri mematung dengan wajah pucat pasi. Sedang teriakan kekasihnya terus menggema dan berputar berulang seperti kaset rusak.
Beberapa detik, Indra terpaku pada entitas terduga reptil. Dirinya seakan dipaksa mengidentifikasi mandiri, dan mengingat anatomi yang tampak dari monster itu. Kulit merah bening layaknya hewan terkukus hidup-hidup, kepala panjang dengan gerigi taring sepekat darah, hingga tinggi tubuh melebihi para atlet basket—simpelnya dalam otak Indra, tak pernah ia ingat varian dinosaurus ini setiap kali menonton Jurassic Park.
Reptil itu membalik, menolehkan satu muka dan menunjukkan sisa-sisa mangsa terkoyak di gigi-giginya. Benar, makhluk itu meniru suara sang kekasih. Namun, ada lagi satu kebenaran miris yang kini mencuat. Sebuah gelang rajut panjang, memeluk lengan—nyaris tak berbentuk—yang terjatuh dari mulut monster itu. Indra yakin benar, potongan tubuh itu milik sang kekasih.
Lelaki itu menahan embun di sudut mata yang hampir terjatuh, keberadaannya terendus si monster. Meski ia dirundung duka, wajib hukumnya untuk tetap selamat dengan berbagai cara. Ia berlari, menyusuri hutan di Lawu tanpa rahu arah mata angin.
Sambil tergopoh-gopoh, lampu sorot di kepalanya mulai redup, menjelma bagai ruang penuh kejutan akan sesuatu yang akan ia hadapi di depan. Pikirannya kacau menanti. Rasanya ia cukup berliku lama, tetapi tak kunjung menepi garis finis.
"Hah!" Sepersekian detik, napasnya terperangah. Ia nyaris tergelincir, terpaksa membuang waktu agar bisa kembali setimbang, insting pun refleks mengintip ke belakang. Kosong! Kabar baik, tetapi belum saatnya untuk berhenti.
Indra menebasi vegetasi tiap penghalang jalur. Matanya mencari-cari palang besar berukir: Pos Aruh. Nihil, hanya ada cabang-cabang penuh tali rafia yang sudah berkali-kali ia lihat sebelumnya. Lawu berusaha menyesatkannya, dan kini berusaha membuatnya gila dengan melantunkan gamelan pemecah rombongannya kembali.
"Astaghfirullahaladzim," keluhnya tipis, mencengkram kedua lutut.
Jika saja sempat untuk mengeluh, ia ingin protes pada para pendaki di bawah yang tak kunjung muncul berpapasan dengannya. Atau pada para penghuni gunung yang sedari tadi tak bosan mempermainkannya. Apa? Penghuni gunung? ia terbahak dalam sisa kewarasan dalam pikiran. Sejak kapan si paling eksakta ini, menjadi skeptis dan percaya pada paham orang-orang gangguan halusinasi? Seperti halnya nilai-nilai mistik?
Hanya beberapa detik, Indra terlena dalam perdebatan diri. Aroma dari sumber kesialan itu mulai menyerbak, membangkitkan adrenalin, mendegungkan irama jantungnya. Brengsek! Berisiknya ranting terinjak, mewakili teriakan batin lelaki itu. Ia berlari tak karuan, sembarang memilih rute di antara cabang persimpangan, tersandung akar-akar, berguling kemudian, sampai akhirnya menghantam sebuah pohon pinus besar.
Dalam hening, tangisnya pecah. Darah merembes dari pelipisnya, dan ia tak mampu melakukan apa pun untuk menghentikannya. Bahkan, berusaha mencoba bangkit duduk pun hanya memperparah bunyi-bunyi remukan tulang—entah dari bagian tubuh mana. Lampu sorotnya padam—tepatnya hancur, kini ia hanya mengandalkan remang rembulan untuk penglihatan.
Ini ketetapannya. Ia akan berakhir mati sekarang, atau mungkin besok—jika beruntung. Lelaki itu tertawa kecil dengan tersendat-sendat. Lantunan gamelan dan teriakan fana dari monster yang kian mendekat, mereka akan menjadi jadi lagu pengantar kematian dirinya.
Benar, seharusnya kita pilih jalur lain, Sil. Demi edelweiss, kita keras kepala melewati Tambak, melawan aturan cuaca ekstrim ini.
Tak perlu menanti lama, akhirnya mereka muncul. Indra terkepung dan tak ada lagi kesempatan untuk melepaskan diri. Monster-monster itu mendekat, begitu dekat hingga ia dapat melihat liur kental bertumpahan dari taring-taring yang berhasil membuatnya bergidik ngeri. Sebelum mengekspresikan ketakutan terakhir, makhluk itu melompat dan membungkam paksa lelaki itu.
***
"Iki bocah sing ditemokake pos Kelban? (Ini anak yang ditemukan di pos Kelban?)" Seorang pria paruh baya berlari ke gerbang pendakian. Pakaiannya kasual berikut jaket tebal, dengan jari mengapit sebatang rokok menyala. Di sana, ia dan teman krunya berjongkok menganalisis keadaan seorang korban yang sedari tadi menatap kosong—dengan luka-luka cukup parah.
Nahas sekali, pemuda itu bertahan hidup dengan kondisi mengenaskan. Sorot netranya kaku, pupilnya membulat sempurna terpaku satu titik—cerminan fiksasi dari puncak rasa syok. Bercak darah dimana-mana, berlapis lendir nyaris menutupi seluruh bagian tubuhnya. Aura sekitarnya panas, kontras bersama udara dingin di kaki gunung. Seperti lelaki ini baru saja direndam hidup-hidup di Kawah Condrodimuko.
"Kowe wis ngubungi pusat bantuan? (Kamu sudah hubungi pusat bantuan?)"
"Wis. lagi ing dalan! (Sudah. Mereka sedang dalam perjalanan!)" Pria itu mengernyitkan wajah, ia menyorot wajah pemuda itu—sang korban—dengan senter. "Eh ini rombongan berempat yang pergi daki ba'da isya? Teman-temannya mana?"
"Dia ditemukan sendirian. Ndak ada yang lain."
"Kalau begitu, langsung bawa aja ke bawah dulu. Memangnya benar-benar tidak bisa diajak bicara?" Pria itu membuat kontak mata dengan korban, tak ada respons berarti dari interaksi tanpa kata itu.
Belum sempat mereka mengangkut sang pemuda, beberapa orang berbadan tegap datang mengerubungi, berpakaian variatif seperti para medis khusus dan tim SAR.
"Kami dapat perintah resmi untuk menangani lelaki ini," ucap salah satunya, menunjukkan sebuah berkas dan tanda pengenal. "Biar kami yang mengurusnya."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro