Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

939: FIKSIONAL


"Goblok!" Seorang pria tampilan menuju umur emas, memukul keras meja reyot hingga penyangganya nyaris runtuh. "Mana Adam!" kesalnya beralih mengangkat cangkir berisi kopi hitam panas, kemudian mengecup bibir cangkir, lalu batal menyeruput isiannya. "Nyaris dua hari kita prokastinasi, bisa-bisa jejaknya cepat terhapus!"

Usai makian itu menggelegar satu ruang kantor, para pekerja refleks menyibukkan diri di meja masing-masing. Mengetik sembarang, entah tugas mana, terpenting terhindar cacian yang dikhususkan bagi pemakan gaji buta. Percayalah, ini naluri alamiah buruh pada umumnya.

Tiba-tiba pintu utama terbuka, memunculkan seorang pria dewasa yang menarik atensi seisi kantor. Pakaiannya urakan, jambangnya menyuarakan kemalasan sang pemilik yang melewatkan waktu bercukur selama dua bulan lebih, dan rambut berminyaknya menjadi kesimpulan akhir bahwa lelaki ini sama sekali tak bersiap diri sebelum keberangkatannya.

Seakan merasakan tensi panas dalam ruangan, pemuda itu terdiam sejenak, paham betul dirinya datang di waktu tidak tepat. "Ada masalah?" ucapnya tanpa merasa berdosa.

Seketika seluruh manusia di sana memicingkan pandangan tajam pada lelaki itu. Raut mereka tak bersahabat, mulut diam membungkam dan serentak melempar telepati yang mungkin isinya: Iya! Kamu itu masalahnya di sini!

"Adam!" Pria tua tadi susah payah bangkit dari posisinya, bahkan perut buncitnya sempat membentur pembatas kolong meja. "Darimana saja kamu ini, bodoh!" Kumat lagi temperamennya. Ia menghampiri Adam yang tercenung dan langsung menarik kerah kemeja kusut pemuda itu, kemudian membawanya berjalan ke luar—detilnya, ruang pertemuan pribadi dengan fasilitas menjamin intimasi serta sekuritas kerahasiaan dalam tiap diskusinya.

Setibanya di dalam, terlihat seorang pemuda sebaya Adam, tengah duduk manis menghadap proyektor aktif menampakkan cahaya biru. Pria sinting, pikir Adam nyaris menggigil. Bisa-bisanya ada manusia yang tahan berdiam diri dalam ruang gelap, dengan bau kebocoran filter AC murahan yang menyeruak kesana-kemari.

Menyambut kedatangan Adam, pemuda itu berdiri menampakkan senyum simpul. "Senang bertemu dengan Anda, Tuan Adam. Sedikit banyak saya mendengar tentang Anda," ucapnya ramah, menawarkan tangan kanan untuk berjabatan. "Perkenalkan, nama saya Budi. Kedepannya, kita akan menjadi partner dalam memecahkan masalah."

"Adam," sahut Adam menjabat tangan dengan canggung. Pasalnya, ia bertanya-tanya dalam benak, Apa yang Budi dengar tentang dirinya? Lekat dengan profesi pengangguran sejak lulus, rasanya tak ada hal spesial yang layak dikorek. "Tidak perlu formal, Budi. Sepertinya, aku yang anak baru di sini."

Budi menoleh pada satu-satunya pria tua di antara mereka, kemudian memberi aba-aba berupa senyum tipis dan anggukan kecil. Tak butuh negosiasi lebih, orang tersebut peka dan pamit undur diri, menyisakan hanya Budi dan Adam di dalam ruangan.

"Ku pikir, kita bisa langsung membahas intinya untuk mempercepat waktu," ajak Budi memecah keheningan. Tangannya dengan sopan menarik kursi di sisinya, dan mempersilakan Adam untuk menempatinya.

"Kasus Gunung Lawu itu?" sahut Adam mendudukkan dirinya, "sejujurnya, ini membuatku bingung. Aku tidak punya latar di bidang penyelidikan atau detektif semacam itu. Bukankah lulusan IT sepertiku lebih cocok bekerja di kantor seperti orang-orang di depan?"

"Jadi, itu alasanmu menunda-nunda pertemuan dengan kami?"

"Salah satunya. Dan waktunya sangat terbatas, aku pasti hanya akan mengacau ke depannya. Makanya aku sempat menolak berkali-kali."

"Tapi pada akhirnya, kamu tetap menerimanya." Budi senyum sumringah, mendekatkan posisinya pada Adam, seakan perbincangan semakin otentik kerahasiaannya. "Surel itu, aku yang mengirimnya. Aku menjanjikan identitas yang sudah lama kamu lupakan, kamu akan menemukannya di sini, Adam. Kasus ini permulaannya, ini bagianmu." Lelaki itu beranjak dari tempatnya, memungut pakaian resmi dari loker besi, dan menyerahkan tumpukan tertimpa sebuah buku besar pada Adam.

"Bersiaplah, tampilanmu berantakan sekali," ucap Budi menyentil kesadaran Adam, dan berhasil membuat lawan bicaranya mawas diri. "Kita mulai bekerja hari ini, Adam."

***

Tepat sore hari, mereka tiba di lokasi kejadian. Sepanjang perjalanan tadi, Budi mengeluhkan awan mendung dan prediksi hujan dari notifikasi gawainya. Nyatanya, kini cuaca memamerkan saturasi tinggi nan cerah, beserta udara lembut mendukung kegiatan investigasi. Persis seperti sugesti terhadap langit, yang terucap dari bibir Adam.

"Kita tidak menengok korban selamat dulu? Dimana dia?" tanya Adam memecah fokus perjalanan keduanya. Pertanyaan cukup tolol, baru dilontar setelah lumayan jauh mereka mendaki.

"Indra? Ia tadinya bisa dijadikan saksi, tapi malah ikut hilang juga," ungkap Budi seraya menyelaraskan langkah Adam, "setidaknya, ketika hendak diangkut, dia masih sempat meracaukan beberapa kata termasuk bocoran lokasi penting." Budi menunjuk sebuah gua cukup menjorok, destinasi yang hampir mereka raih jaraknya.

"Bukankah dia sudah diamankan pihak medis?"

"Justru itulah alasan kita melakukan penyelidikan, Dam. Ada banyak keanehan di sini. Mereka yang menjemput Indra itu berbohong. Mereka sama sekali bukan bagian badan pencarian atau badan resmi nasional lainnya. Sampai sekarang pun belum ada yang berhasil tracking siapa orang-orang itu. Itu sebabnya, hilangnya Indra dianggap serius sampai harus mengutus pelacak seperti kita, karena memang bukan kasus biasa." Budi menghela napasnya, menoleh pada Adam dengan tatapan menahan kesal. "Kumaafkan kebodohanmu, karena salahku juga, yang kurang detail menjelaskan laporan terbaru dari kasusnya."

"Terdengar seperti menyalahkanku, setelah menyeretku tiba-tiba pada masalah genting tanpa memberi waktu untuk mencerna," cibir Adam. "Sudah begitu, menawari kerja sama dengan paksaan pula."

Budi terkikik, kemudian menganalisis cepat perawakan Adam dari atas hingga bawah. "Ku pikir kamu ini manusia yang tak pernah berolahraga, tapi aku belum lihat tanda-tanda lelah darimu."

Adam memutar bola matanya, sadar Budi sengaja mengalihkan topik demi terhindar disalahkan lebih jauh lagi. "Yang kualat enerjik dan banyak berbicara itu kamu, Budi. Sepertinya, sedari tadi, tidak ada satu pun manusia yang terlewat kamu ajak berbincang."

"Benar juga."

Akhirnya, langkah mereka serempak berhenti, di depan rangkaian garis polisi yang mengelilingi gua besar yang dikenal Gua Inten. Penjagaannya sangat ketat, terlihat sebaran titik atas kawalan lelaki berseragam militer, lengkap dengan senjata api. Tak ingin membuang waktu, Budi menunjukkan identitasnya pada satu dari antara mereka dan menerobos masuk tanpa merusak pita-pita tersebut, kemudian diikuti Adam di belakangnya.

Impresi pertama, gelap dan lembap. Itu sebabnya, kedua pemuda itu masing-masing mengenakan senter kepala dan sepatu boots. Mereka berjalan hati-hati tapi pasti, karena ruang gerak dari mulut hingga masuk ke dalam, terhimpit bebatuan besar. Belum lagi dengan isu-isu mistik dan kepentingan pertapaan, semakin menambah aura mencekam dan insting kewaspadaan.

"Apa ini?" ucap Adam, menyorot sebuah jejak besar di tanah dalam posisi berjongkok. "Memangnya ada hewan reptil sebesar ini ya di gunung ini?" imbuhnya lagi, menerawang sekeliling. Tak disangka, ia menemukan kejanggalan lain. "Bekas liur, aneh sekali. Liur ini menolak kering setelah berada di sini sejak insiden kemarin." Dengan tangan terlindung latex hitam, dirabanya konsistensi cairan lengket bercampur tanah itu.

"Janggal bukan?" sahut Budi mengeluarkan tabung sampel kosong, mengisinya dengan liur yang akan diteliti ahlinya di lab nanti. "Adam, kupikir makhluk besar yang menyerang para pendaki ini, bukan hewan liar biasa yang bisa kita abaikan eksistensinya. Mereka pasti ada hubungannya dengan oknum yang membawa kabur Indra."

Adam tertegun. "Aku pun berpikir hal yang sama. Untuk apa mereka repot-repot mengambil Indra yang notabene hanya warga sipil biasa, jika bukan untuk menutupi bukti lebih lanjut soal hewan-hewan ini?"

Budi tersenyum dan mengangguk pelan, mendekat pada Adam, lalu jongkok menghadap lelaki itu. "Tepat sekali! Indra hanya memiliki satu masalah besar dalam hidupnya, dan itu karena bersinggungan dengan hewan yang mungkin merupakan aset dari individu atau kelompok tertentu," ucapnya antusias.

Kembali, Adam tertegun. Tak tahu bagaimana harus merespons dengan keterbatasan pengetahuan dan minimnya petunjuk. Hening mendominasi keadaan selama beberapa detik, hingga terdengar vibrasi panggilan dari sebuah gawai. Milik Adam.

Cepat-cepat Adam memeriksa layar kontak yang menghubunginya. "Dokter berisik itu lagi," keluhnya menekan tombol merah, sengaja menolak panggilan.

"Psikiater yang menanganimu?" selidik Budi. Ia ingat betul, Adam sempat menjelaskan keadaan psikisnya yang mudah terguncang di waktu tak terduga. Belum lagi, lelaki itu masih harus bergantung dengan obat-obatan untuk menghilangkan suara-suara di kepalanya.

"Benar," jawab Adam mematikan layar gawai, bersiap menaruhnya kembali di dalam kantong jaket. Namun, aksinya terhenti kala mendapati benda itu tiba-tiba menampilkan notifikasi pesan baru. Berisi singkat nan ambigu: Lelaki itu berbahaya, Adam. Logikanya, tidak mungkin ada instansi detektif yang merekrutmu tanpa seleksi, terlebih dirimu masih terkukung gangguan delusi. Nama pengirimnya sangat jelas, itu Eva—psikiater pribadinya.

Tengkuk Adam menegang. Bukan karena isi dari peringatan itu—ia sudah mempertimbangkan segalanya sebelum menerima tawaran Budi—melainkan cara dokter itu selalu mengetahui gerak-geriknya, bahkan tanpa diberitahu olehnya. Perasaannya kini mulai berkecamuk dalam guncangan, ia berkeringat, tetapi merasakan dingin. Jika dibiarkan, suara-suara itu pasti kembali kumat menyerang isi kepalanya.

"Lupakan, lagipula dia pasti sibuk dengan pasien-pasiennya sekarang," sambung Adam, kali ini suaranya bergetar, kentara berusaha keras menetralkan psikisnya. "Aku sudah sangat menjaga jarak dengan wanita itu."

"Sudah tepat kamu menuruti nasihatku, dia hanya akan menjadi batu sandungan untukmu nanti," balas Budi tersenyum, menepuk pundak partnernya. Sadar atau tidak, afirmasi itu malah menjerumuskan Adam pada dilema. Dua orang bertentangan, saling menuduhkan niat jahat pada satu sama lain. Mana yang harus dipercaya?

Budi bangkit berdiri, berjalan perlahan semakin memasuki gua—tanpa lepas dari pengamatan Adam yang kini dalam posisi berpijak. Langkahnya cukup lebar hingga perwujudannya melebur dalam gelap, tersisa sorot dari senter—yang mengarah pada rolling gate besar. Siapa pun desainer dan teknisi yang merancang lapisan dari gerbang pembatas itu, patut diapresiasi melalui kenaikan upah. Sebab, butuh waktu lama dalam fokus penglihatan, untuk menyadari penyamaran gerbang yang sangat menyerupai warna dan tekstur berbatu dari dinding-dinding gua.

"Adam!" ucap Budi setengah berteriak, "kamu pasti sudah dapat gambaran dari predator di kasus kita bukan?" sambungnya dengan tinggi suara sama. "Entah kamu telah menebaknya atau mungkin malah mengingatnya!" serunya memberi Adam aba-aba ajakan untuk mendekat, kemudian menekan beberapa tombol pengendali hingga terdengar suara peringatan berisik yang menggema seisi gua ini.

Adam mengernyitkan dahinya, dalam ragu, ia melangkah munuju Budi. Adam, tidak sadarkah tingkahnya itu sangat mencurigakan? Suara itu, kini mulai meracau lebih jernih, menghambat langkahnya dan menjadikannya patung berkeringat yang menatap sendu Budi.

Gerbang itu semakin terbuka lebar. Dari dalamnya, nampak hamburan silau kehijauan yang memaksa menerobos kegelapan gua. Hanya butuh sekian detik, untuk menampakkan keselurahan bagian dari sumber cahaya tadi. Melihat pemandangan itu, mata Adam seketika membulat.

"Ayolah puzzle Semesta, perbarui ingatanmu. Kembalilah pada jalan kami, kali ini dengan cara dan niat baik!"

Teriakan ambigu Budi menggema hingga lapisan terdalam kesadaran Adam, membentuk potongan film deja vu terasa nyata. Napasnya kini tercekat, ia sadar akan terbawa arus menuju palung realitas dan fiksional rancangan otaknya sendiri. Dan mungkin, akan kehilangan kendali atas dirinya ... sekali lagi.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro